Di mygoodmaid.com.my, seseorang di Malaysia
bisa memilih pembantu rumah tangga seperti sedang berbelanja di toko
online. Ada empat kolom di halaman muka
website itu yang bisa digunakan calon majikan untuk menemukan pembantu rumah
tangga yang sesuai dengan keinginannya. Kolom tersebut adalah nationality,
gender, religion dan marital status.
Setelah itu, mereka tinggal klik ‘search’, lalu akan muncul foto-foto
calon pembantu rumah tangga yang tersedia saat itu untuk mereka pilih dan
pekerjakan di rumah mereka.
Jika kita mengklik “Indonesia”,
“Female”, “Muslim”, dan “Married”, besar kemungkinan kita akan melihat ini:
maid list dimana para TKW asal Indonesia tersebut berfoto dengan latar belakang
kain berwarna merah, memakai kaus putih berkerah biru dan bercelemek hijau.
Mereka kelihatan awkward dengan ekspresi wajah yang kaku, dan kedua tangan
diletakkan sedikit di atas perut.
![]() |
Diberi kode "ERS 0154" di www.mygoodmaid.com.my, perempuan Indonesia ini bernama Nurhasanah, berusia 34 tahun dan berasal dari Karawang. |
Sampai tahap ini, calon majikan belum
tahu nama mereka, sebab hanya kode tertentu yang tertera di bawah foto masing-masing
calon PRT disertai asal negara, agama dan status. Jadi kita akan melihat entah
siapa yang diberi kode ERS 0154, ERS 0172, ERS 0183, dan sebagainya. Nama dan
detail lainnya baru akan ditampilkan jika kita mengklik foto mereka.
Setelah menemukan yang cocok, calon
majikan bisa menghubungi maid agency tersebut, untuk kemudian membayar sejumlah
biaya termasuk agency fee. Besarnya bisa mencapai MYR 16000 (sekitar Rp 57 juta), termasuk untuk membuat
working permit. Lalu setelah semua proses selesai, pembantu terpilih akan
diantarkan ke rumah majikan tersebut, dan bisa mulai bekerja.
Namun pada prakteknya, menjadi seorang
pembantu rumah tangga bisa menjadi sebuah proses hidup yang panjang, berliku,
bahkan menyakitkan. Tak jarang, banyak orang Indonesia yang rela menjadi “orang
kosong”, istilah untuk mereka yang bekerja kasar di Malaysia tanpa mengantongi
working permit, alias hanya berbekal visa turis, dengan masa berlaku hanya 30
hari. Mereka dapat ditemukan sedang berkumpul di KLCC (Kuala Lumpur City Centre) Park pada Minggu sore
yang sering kali hujan, terutama di musim pancaroba seperti sekarang ini. Di
sana mereka akan berbagi cerita mengenai benang kusut kehidupan masing-masing
dan bagaimana mereka berusaha sekuat tenaga menyikapinya.
Meski sering dituduh
sebagai kaum dengan bargaining position yang lemah, tinggal jauh dari keluarga
tidak hanya membuat perempuan-perempuan itu menjadi tough, tapi juga kreatif.
Mereka misalnya akan lebih memilih bekerja freelance daripada menetap di rumah majikan
tanpa bisa melakukan apa-apa lagi. "Freelance" adalah istilah mereka untuk
bekerja di lebih dari satu tempat dengan masing-masing waktu bekerja yang
pendek. Misalnya di rumah Mr. A selama 4 jam, dan di rumah Encik B untuk 4 jam
lainnya, pada hari yang sama. Dengan cara ini, mereka yakin bisa mengirim
Rupiah lebih banyak untuk sang anak yang sedang menunggak uang sekolah atau suami
yang ingin mencicil sepeda motor di kampung.
Di Malaysia, selain bekerja sebagai
pembantu rumah tangga, buruh migran Indonesia juga banyak bekerja sebagai kuli
bangunan, menjadi pelayan restoran, bekerja di pabrik, dan lain-lainnya yang
dikategorikan sebagai pekerjaan 3D. Ini bukan singkatan untuk 3 Dimensi, tapi
Dirty, Dangerous, dan Demeaning. Hal ini membuat mereka terancam resiko ganda,
tidak hanya di tempat mereka tinggal, tapi juga di tempat kerjanya.
Tak ada habis-habisnya kita mendengar
bermacam-macam derita yang yang dialami buruh migran Indonesia. Banyak kasus
terjadi seperti penipuan, ancaman disertai kekerasan fisik dan psikologis,
penganiayaan, pemerkosaan, terjebak dalam lingkaran prostitusi, bahkan sampai
pada pelanggaran HAM yang lebih berat. Di sisi lain, masyarakat dan negara
menganggap buruh migran adalah pahlawan devisa, namun tanpa adanya pelayanan
menyeluruh demi kehormatan dan martabat mereka. Ini membuat penghargaan
tersebut terasa semu.
Studi tentang buruh
migran juga dirasa kurang, padahal studi yang layak barangkali bisa mencegah
persoalan buruh migran dijadikan komoditas politik musiman, dan memperbaiki paradigma berpikir untuk menyelesaikan isu-isu yang terjadi. Namun, persoalan
buruh migran memang kompleks, sehingga upaya untuk memahaminya seperti mengurai
benang kusut. Disinilah dibutuhkan gagasan-gagasan kemanusiaan untuk mengembalikan
mereka sebagai manusia, apalagi mereka adalah manusia-manusia yang dikelilingi
oleh ancaman-ancaman, baik buruh migran yang legal maupun yang "kosong".
"Orang kosong" harus menyiapkan mental lebih untuk menghadapi ancaman-ancaman tersebut. Bagi mereka, gaji yang tidak dibayar bukan satu-satunya yang melahirkan penderitaan, tapi juga ancaman deportasi. Di Malaysia, Rela (ekuivalen dengan Satpol PP di Indonesia), akan mendapat upah RM 80 jika berhasil menangkap seorang tenaga kerja asing ilegal, dan melaporkannya pada Polis Diraja Malaysia. Aparat hukum di Malaysia sendiri, terkenal gencar menangkapi para pekerja yang melanggar aturan keimigrasian, dengan antara lain melakukan razia, terutama di daerah yang dihuni banyak pekerja asing. Namun, banyak kasus terjadi, "orang kosong" diperas oleh oknum-oknum, membuat ‘korban’ harus membayar mahal demi ketenangan hidup mereka di negara ini.
"Orang kosong" harus menyiapkan mental lebih untuk menghadapi ancaman-ancaman tersebut. Bagi mereka, gaji yang tidak dibayar bukan satu-satunya yang melahirkan penderitaan, tapi juga ancaman deportasi. Di Malaysia, Rela (ekuivalen dengan Satpol PP di Indonesia), akan mendapat upah RM 80 jika berhasil menangkap seorang tenaga kerja asing ilegal, dan melaporkannya pada Polis Diraja Malaysia. Aparat hukum di Malaysia sendiri, terkenal gencar menangkapi para pekerja yang melanggar aturan keimigrasian, dengan antara lain melakukan razia, terutama di daerah yang dihuni banyak pekerja asing. Namun, banyak kasus terjadi, "orang kosong" diperas oleh oknum-oknum, membuat ‘korban’ harus membayar mahal demi ketenangan hidup mereka di negara ini.
Selain oleh kehadiran para Pendatang
Asing Tanpa Izin (PATI) ini, citra buruh migran Indonesia juga kerap tercoreng
oleh para kriminal. Mereka yang memang penjahat, sering menyamar sebagai buruh
migran, tapi di Malaysia mereka berkomplot, menyewa informan, dan setelah
melakukan kejahatan, lalu segera kembali ke Indonesia. Begitu mudahnya orang
Indonesia bisa menyeberang ke Malaysia, dan membuat tidak semua pendatang ini
bisa dideteksi. Para penjahat kerap memanfaatkan hal ini. Mereka juga
tahu, tidak harus dengan pesawat terbang mereka bisa datang ke Malaysia, tapi
bisa juga dengan perahu sederhana, yang sebenarnya beresiko tinggi. Warga
Indonesia di pesisir pantai yang berbatasan dengan Malaysia kerap menemukan lembaran
Ringgit yang terhanyut, yang diduga berasal dari perahu yang terbalik entah di
suatu tempat. Perahu tenggelam yang memakan korban jiwa juga bukan berita baru.
Kecuali mengancam keselamatan, buruh
migran Indonesia juga terancam tidak lagi menjadi dirinya sendiri setelah
tinggal dan bekerja di negara lain. Di Malaysia, hal ini terjadi ketika banyak
buruh migran yang beralih menjadi penutur Bahasa Melayu dan harus merelakan Bahasa Indonesia mereka perlahan pupus, baik secara kosa kata, maupun secara aksen. Lalu ketika
mereka kembali ke Indonesia, yang terdengar adalah aksen Melayu lengkap dengan
kosa kata Bahasa Melayu, menciptakan kebingungan di tengah-tengah keluarga dan
teman-teman yang mengenal mereka sebagai orang Jawa, orang Sunda, orang Madura,
orang Lombok, dan orang Indonesia. Bagian penting dari identitas mereka kini telah
terkikis, baik disengaja atau tidak.
Buruh migran Indonesia adalah sekumpulan
manusia dengan karakter, nasib maupun ambisi yang berbeda-beda. Namun di
Malaysia, semuanya kerap kali dengan sempit diidentifikasi sebagai “Indon”. Mereka bisa bertahun-tahun lamanya tinggal di negara yang bukan tanah air mereka, beranak pinak, dan melahirkan keturunan-keturunan yang karena alasan kepraktisan, lebih memilih paspor merah, dibandingkan paspor berlambang burung garuda. Mereka tidak pernah ambil pusing atau tersinggung jika dipanggil "Indon", sebab tidak ada ruang untuk marah atau sensitif. Jika di Indonesia, mereka bisa cenderung lebih santai, di Malaysia, mereka menjelma pribadi yang tekun, bersemangat, dan menyimpan ambisi yang tak jarang melahirkan keberhasilan dan kemakmuran.
Di titik ini muncul pertanyaan, kapankah mereka kembali, dan apakah yang membuat seorang buruh migran mau kembali ke tanah air? Kapankah mereka pulang? Atau apakah "pulang" bermakna berbeda bagi mereka?
Robertus Robet, Dosen Sosiologi Universitas Negeri Jakarta, dalam pengantarnya untuk novel "Pulang" karya Leila S. Chudori menyebut apa yang dikatakan Ernst Bloch dalam "The Principle of Hope". Katanya, ada dua jenis "pulang": pulang sebagai "a return", dan sebagai "exodus". Kita bisa sedikit menghela nafas lega jika bagi mereka pulang ke Indonesia adalah sebuah "a return", dan bukan "an exodus", sebab artinya mereka masih menganggap Indonesia sebagai sebuah rumah, sebuah negara yang menjadi tujuan dan bertemunya harapan-harapan, dan bukan sebaliknya: Malaysia adalah "rumah" dimana mereka menemukan harapan-harapan itu.
Jadi, wajah buruh migran seperti apakah yang kita kenal selama ini? Seorang pejuang? Seorang yang melanggar hukum? Seorang yang mengalami krisis identitas? Seorang pekerja keras yang terdorong oleh keadaan? Seorang yang ingin menemukan kesempatan-kesempatan baru? Seorang dengan posisi tawar lemah?
Pertanyaan ini tak mudah kita jawab, sebab masih banyak wajah-wajah lainnya yang tersembunyi dalam beragam ekspresi mereka. Namun yang pasti, mereka adalah ayah, ibu dan anak dari seseorang di Indonesia. Ayah, ibu dan anak yang niscaya selalu harap-harap cemas menunggu kabar tentang mereka dari negeri seberang.
Di titik ini muncul pertanyaan, kapankah mereka kembali, dan apakah yang membuat seorang buruh migran mau kembali ke tanah air? Kapankah mereka pulang? Atau apakah "pulang" bermakna berbeda bagi mereka?
Robertus Robet, Dosen Sosiologi Universitas Negeri Jakarta, dalam pengantarnya untuk novel "Pulang" karya Leila S. Chudori menyebut apa yang dikatakan Ernst Bloch dalam "The Principle of Hope". Katanya, ada dua jenis "pulang": pulang sebagai "a return", dan sebagai "exodus". Kita bisa sedikit menghela nafas lega jika bagi mereka pulang ke Indonesia adalah sebuah "a return", dan bukan "an exodus", sebab artinya mereka masih menganggap Indonesia sebagai sebuah rumah, sebuah negara yang menjadi tujuan dan bertemunya harapan-harapan, dan bukan sebaliknya: Malaysia adalah "rumah" dimana mereka menemukan harapan-harapan itu.
Jadi, wajah buruh migran seperti apakah yang kita kenal selama ini? Seorang pejuang? Seorang yang melanggar hukum? Seorang yang mengalami krisis identitas? Seorang pekerja keras yang terdorong oleh keadaan? Seorang yang ingin menemukan kesempatan-kesempatan baru? Seorang dengan posisi tawar lemah?
Pertanyaan ini tak mudah kita jawab, sebab masih banyak wajah-wajah lainnya yang tersembunyi dalam beragam ekspresi mereka. Namun yang pasti, mereka adalah ayah, ibu dan anak dari seseorang di Indonesia. Ayah, ibu dan anak yang niscaya selalu harap-harap cemas menunggu kabar tentang mereka dari negeri seberang.