Saya
suka datang ke suatu tempat sebelum fajar menyingsing, dan menyaksikan matahari
perlahan muncul dan membuat dunia terang. Seperti ketika bis yang saya tumpangi
berhenti di last stop Rantau Panjang, yang sudah dekat sekali dengan Thailand.
Hari itu Jumat, 5 Februari 2016, untuk pertama kalinya saya traveling di
Malaysia, tanpa membawa paspor, sebab kantor sedang membutuhkannya untuk
memperpanjang working permit. Bismillah saja, kata saya dalam hati. Mudah-mudahan
tidak terjadi apa-apa.
Tetapi
menumpangi bis malam ternyata menyebabkan masalah lain: saya kedinginan. Sebab
saya hanya memakai celana pendek, kaus tipis dan sandal jepit. Saya tidak
membawa sarung untuk melawan dinginnya AC, tapi saya membawa handuk. Jadilah
saya menyelimuti tubuh saya dengan handuk, sementara penumpang yang duduk di
sebelah saya (wanita berjilbab) sudah terlebih dahulu menyelimuti seluruh
tubuhnya (termasuk kepala) dan tertidur selama lebih dari 7 jam perjalanan.
Bis
Transnasional itu sempat berhenti dua kali (jika saya tidak salah ingat), dan
menjelang pemberhentian terakhirnya di Rantau Panjang, seorang berpakaian
tentara masuk ke dalam bis, “IC, paspor,” katanya sambil menuju deretan tempat
duduk paling belakang. Saya mencoba menenangkan diri, untuk tidak panik, sampai
tiba giliran saya untuk ditanya. (Tuhan, lindungi saya).
Bis
tiba di Rantau Panjang rupanya tak lama setelah adzan subuh terdengar. Saya
masih agak limbung dan mengantuk sebab saya merasa tidak benar-benar tidur
sepanjang perjalanan. Saya menemukan sebuah musholla dengan aksara Thailand dan
Bahasa Melayu di toiletnya. Saya sholat subuh dan lalu mencari taksi untuk
melanjutkan perjalanan ke Kota Bharu.
Terminal Bis di Kota Bharu. Perhatikan bahwa apapun di sini akan punya aksara arabnya, termasuk nama-nama tempat, bahkan merek produk. |
Sopir
taksi itu tidak mengatakan apa-apa lagi setelah dia bilang ongkosnya 40 Ringgit
(sekitar Rp 130 ribuan). Ia menurunkan saya tak jauh dari Stesen Bas Kota
Bharu, lalu saya melanjutkan perjalanan untuk menemukan Timur Guesthouse.
Rupanya letak hostel backpacker itu agak tersembunyi sehingga saya mengalami
kesulitan untuk menemukannya.
Seorang
pria Melayu bernama Mat menyambut saya. Bahasa Inggrisnya impeccable dan itu
bisa bermakna capable dalam industri hospitality. Saya sudah booked selama 4
malam di hostelnya via hostelworld, tapi saya bilang kalau saya ingin menginap
2 malam saja, sebab mungkin saya ingin pindah hostel atau melakukan hal yang
lain. Saya lalu membayar RM 51, menambah deposit yang sudah saya bayar
sebelumnya via online.
Saya
lalu meletakkan ransel saya di kamar dan mulai mengeksplor kota ini. Mat sudah
membekali saya dengan peta dan menjelaskan kalau Kota Bharu tidak besar, semua
tempat yang menarik perhatian turis akan bisa didatangi dalam waktu 6 menit saja. Saya jelaskan bahwa sebenarnya
saya ingin snorkeling tapi dia ragu kalau saya akan diizinkan menyeberangi ke
Pulau Perhentian sebab cuaca sedang tidak bersahabat.
Tempat
pertama yang ingin saya datangi adalah Pasar Siti Khadijah, sebab itu adalah
icon Kota Bharu. Hujan turun dan menjadi deras ketika saya tiba di pasar itu.
Di sini, hampir semua penjualnya adalah perempuan dan mereka menjual sayuran,
ikan-ikan, dan semua keperluan dapur termasuk bumbu-bumbu. Ada juga
buah-buahan, dan kue-kue. Setelah saya pikir-pikir, makanan di sini cukup
enak-enak dan akan mengingatkan orang Indonesia pada Yogyakarta.
Pasar Siti Khadijah yang iconic itu! |
Penjual kue di pasar Siti Khadijah |
Saya
menguap beberapa kali, jadi saya putuskan untuk kembali ke hostel untuk tidur
siang. Saya terbangun jam 3 sore, merasa bersalah karena sudah dua minggu
berturut-turut saya skip shalat Jumat...
Wisata Kuliner di Kota Bharu
Gara-garanya
saya nggak menyangka ketika sedang jalan-jalan ke Kuching, menemukan kalau
makanan di sana enak-enak banget! Lalu saya berharap akan menemukan
makanan-makanan yang sama enaknya di Kota Bharu. Makanya, Jumat sore, sambil
payungan karena hujan, saya jalan-jalan, bawa peta mencari-cari orang yang jual
makanan.
Nah,
lalu saya menemukan laksa Kota Bharu ini. Rasanya cukup enak, tapi saya pikir
bisa lebih enak lagi sih *banyak maunya ya*.
Penjual
laksa ini seorang perempuan yang berjilbab, cukup ramah, dan aksennya beda dengan
aksen Melayu yang saya biasa dengar di KL. To be honest, saya lebih suka
mendengar aksen Melayu di sini, meski saya nggak ngerti mereka ngomong apa.
Tapi, itu tetap Bahasa Melayu loh.
Anyway,
di tengah hujan gerimis itu, perjalanan saya berlanjut, sampai saya menemukan
Kampung Kraftangan, Muzium Diraja, dan
Lapangan Merdeka, yang ada gapura besarnya, tak jauh dari sebuah masjid, yang
namanya Masjid Muhammadi. Cukup cantik juga masjid ini dan banyak orang-orang
berpenampilan muslim/muslimah di dalamnya. *iyalah. Kelantan memang salah satu
state di Malaysia yang menerapkan syariat Islam loh.
Hari
sudah mulai sore, tapi saya lanjut jalan ke arah sebuah menara. Ternyata di
belakang menara ini ada sungainya lho! Meski nggak secantik sungai di Kuching, sungai
ini lebar banget ukurannya. Bahkan saya sempat naik ke atas menara di lantai 6
(tiketnya 2 ringgit) demi melihat sungai itu dari atas ketinggian.
Setelah
puas menikmati suasana hujan di sana, saya turun. Sebenarnya seram juga sih,
ada di atas menara sendirian, dan sama sekali nggak ada turis lain. Makanya
saya putuskan untuk menyusuri sungai sampai menemukan ada restoran-restoran dan
kafe yang menjual aneka makanan salah satunya Roti Tempayan.
Didorong
oleh rasa penasaran saya masuk ke restoran yang menjual Roti Tempayan itu. Tapi
kok setelah menunggu setengah jam, yang dipesan belum datang-datang juga?!
Akhirnya saya bilang sama mbaknya untuk cancel aja pesanannya, yah daripada
bête....
Setelah
magriban di Masjid Muhammadi, saya cek peta dan menuju ke foodcourt yang kalau
kata si peta berlokasi nggak jauh dari masjid itu. Akhirnya setelah jalan kaki
selama 10 menit, saya menemukannya! Again, nggak seperti bayangan saya sih,
tapi saya putuskan untuk hepi hepi aja, dan mulai mencicipi makanan yang dijual
di situ.
Makanan yang bentuknya mirip bacang, tapi isinya ikan. |
Ada
beberapa makanan yang namanya baru saya dengar saat itu seperti Somtam, nasi
air dan makanan yang kayak bakcang, tapi dibakar, dan isinya ikan (nggak tahu
namanya apa). Akhirnya saya putuskan untuk coba makan nasi air, yang harganya
RM 4. Ohya, harga makanan di sini, sama kayak di Ipoh, alias lebih murah dari
standar harga makanan di KL.
Ternyata,
nasi air itu sejenis bubur yang dikasuh sup daging dan ditambahin wijen. Nggak
bisa dibilang nggak enak sih, tapi nggak istimewa juga. Saya pernah makan yang
lebih enak dari ini.
Setelah
kenyang, (sebenarnya porsinya sedikit), saya putuskan kembali hostel, tapi
muter-muter dulu sebentar, menikmati charming-nya kota ini di waktu malam. Saya
juga nyari-nyari kedai kopi yang namanya Kedai Kopi Din Tokyo, setelah membaca
turis asing menulis tentang kedap kopi ini di blognya. Tapi ternyata udah tutup
juga!
Kedai
Kopi Din Tokyo ini berlokasi di Jalan Tok Hakim, nggak jauh juga dari stesen
bas, dan Pasar Siti Khadijah. Orang-orang memang biasanya datang saat sarapan
dan bukan menjelang tengah malam, seperti yang saya lakukan semalam sebelumnya.
Ketika
saya datang ke sana besoknya, saya pesan telur rebus dan cakue, minumnya Teh
Tarik. Semuanya 5 ringgit saja! Pak Din nggak sendirian, dia dibantu sama anak
istrinya melayani pengunjung pagi itu. Katanya sih, tempat ini memang nggak
pernah sepi, apalagi Pak Din-nya sendiri sangat ramah. Ia terus saja mengajak
ngobrol orang-orang yang datang, meskipun tidak semua mengerti apa yang dia
katakan. Contohnya, “Sebale” itu artinya “sebelas”. Bayangkan seperti apa kata-kata
yang lainnya. Beda banget kan…
Sarapan di Kedai Kopi Din Tokyo |
Hari Minggu di Kuala Besut
Kota
Bharu adalah ibukota negara bagian Kelantan. Masyarakatnya menyebut Kelantan
sebagai Kelate. Ke-la-te. Tapi tidak jauh dari Kota Bharu, ada pulau terkenal
yang konon bagus banget yang namanya Pulau Perhentian Besar dan Pulau
Perhentian Kecil, yang termasuk dalam negara bagian Terengganu, dan untuk
kesana saya harus naik perahu dari Kuala Besut.
Mat
sebenarnya udah bilang kalau mungkin aja jeti di Kuala Besut ditutup karena
faktor cuaca, jadi nggak ada yang bisa menyeberang ke Pulau Perhentian. Tapi
saya teteup keukeuh mau kesana, bahkan bilang sama Mat kalau saya ubah
arrangement stay saya di hostel, malam kedua akan menjadi malam Selasa, tapi
dia bilang jam checkout sudah lewat! Sigh, akhirnya saya bilang padanya, saya
akan kembali ke Kota Bharu hari Senin, dan akan stay di dorm saja. Terpaksa
saya harus bayar 15 RM!
Akhirnya
saya jalan ke terminal bis dan menunggu bis Cityliner untuk menuju ke Kuala
Besut. Saya sudah booking 1 malam via Agoda untuk stay di sebuah hostel namanya
Yaudin Guesthouse.
Video: Perjalanan menuju Kuala Besut :)
Bis
dijadwalkan berangkat pukul 17.30 tapi baru mulai kelihatan nongol pukul 18.00!
Akhirnya saya tiba di Kuala Besut setelah lewat jam 8 malam dan langsung
mencari yang namanya Yaudin. Nggak susah sih nyarinya, karena hostel di Kuala
Besut nggak banyak dan Yaudin terletak di lantai 2 terminal itu. Kondisi
hotelnya ya gitu deh, dindingnya triplek aja, dan pintunya juga pake gembok! Tapi
lumayanlah, bayar 25 RM tapi bisa dapat kamar privat.
Terminal Kuala Besut |
Kamar hostel saya di Kuala Besut. :p |
Salah satu tempat makan di Kuala Besut |
Kuala
Besut sendiri kota pesisir kecil banget, yang nyaris nggak punya apa-apa selain
terminal bis, jeti sama rumah-rumah penduduk yang bisa dihitung dalam sehari.
Tapi,
ada beberapa spot di sini yang artistik khas orang-orang yang tinggal di
pesisir. Makanan? Saya suka makan mi sup ayam kampungnya!
This is so good! |
Malam di Kuala Besut yang sepi dan berangin kencang |
Perahu yang bersandar di dermaga Kuala Besut |
Pemberlakukan syariat Islam bisa dilihat pada spanduk ini. |
Besoknya,
saya kecewa berat, karena hujan masih aja turun, dan jeti ditutup! Nggak boleh
ada aktifitas ke laut, jadi saya nggak bisa snorkeling dan stay di Pulau
Perhentian! Saya berjalan tak tentu arah di sekitar terminal dan melihat banyak
turis yang juga resah seperti saya. Sama-sama gigit jari, Bayangan seru-seruan
snorkeling seperti waktu di Kota Kinabalu, Lombok dan Bali mulai buyar. Goodbye
Pulau Perhentian!
Di
saat-saat jalan nggak tentu arah itu, ada peta yang menyelamatkan saya.
Bagusnya peta-peta di Malaysia, semua disertai dengan gambar-gambar tourist
attraction di sekitarnya lengkap dengan cara menuju ke sana (rute, bis, dan
lain-lain). Akhirnya saya memutuskan untuk datangin air terjun sama hot spring.
Saya
lalu tanya sana sini, termasuk ke mbak-mbak tour operator yang lagi nenangin
orang-orang yang gagal ke Pulau Perhentian. Dia bilang, nggak ada bis untuk
pergi ke air terjun, jadi harus pake taksi. Wah kebayang pasti mahal deh!
Seorang
sopir taksi mendekati saya yang lagi bingung. Saya menunjuk gambar
yang ada di peta, yang adalah Air Terjun Lata Tembakah dan LA Hot Springs
(dibacanya “La”, bukan El-A). Dia bilang dia bisa anter dengan ongkos RM 100
pp!
Saya
mencoba menawar jadi RM 80, tapi sopir taksi yang sebenarnya ramah itu
menggeleng. No, katanya. Akhirnya saya bilang oke, 100 ringgit asal pulangnya
bisa mampir ke pantai Bukit Keluang yang kalau di gambar, kelihatann keren banget.
Akhirnya
dia setuju!
Special Customer
Tetapi
ada masalah lain. Ketika tiba di Hutan Lipur dimana Air Terjun Lata Tembakah
berada, kami tidak menemukan siapapun di sana, kelihatannya hutan itu sedang
ditutup, bahkan lapak-lapak makanan yang seharusnya ramai oleh penjual dan
pembeli juga tidak menampakkan ada tanda-tanda kehidupan.
Sopir
taksi (yang awalnya menyangka saya orang Singapore), mencoba menelepon ke sebuah
nomer yang tertera di loket, tapi tidak tersambung. Sampai akhirnya 10 menit
kemudian, muncul seorang pria melayu yang sepertinya karyawan Departemen
Kehutanan dan penjaga hutan tersebut. Sopir taksi menghampiri orang itu yang
bilang kalau hutan ini memang ditutup karena debit air sedang besar sehingga
dikhawatirkan akan membahayakan pengunjung.
Tetapi,
saya tidak tahu apa yang dikatakan sopir taksi pada pria itu, sampai kemudian
sopir taksi bilang saya diperbolehkan masuk! Mungkin dia pikir, ngapain nih
orang Indonesia jauh-jauh datang ke hutan Malaysia? Hehehe…
Bahkan
ketika berdatangan beberapa anak-anak muda yang kelihatannya ingin masuk ke
hutan itu, sopir taksi itu bilang saya dibolehkan masuk, tapi harus menunggu
mereka pergi dulu. “You are special customer,” katanya. Saya bersorak dalam
hati, karena bahkan saya nggak dimintain tiket masuk yang seharusnya 3 ringgit
perorang.
Sopir
taksi lalu menemani saya menelusuri hutan lebat itu. Untung saja hujannya tidak
deras, hanya gerimis yang tidak sempat membuat basah kuyup karena saya
dipayungi pohon-pohon yang rimbun. Kami terus berjalan sekitar 45 menit, yang
terasa semakin menanjak. Hutan itu sedikit gelap, sebab tidak ada matahari dan
hari sedang hujan. Mistis.
Sampai
kemudian kami berhenti ketika memang sudah tidak ada jalan setapak untuk
dilalui lagi dan saya melihat air terjun yang arusnya begitu deras dan
bergemuruh. Jujur aja, hati saya jadi ikut bergemuruh, tapi saat itu, untuk
pertama kalinya dalam perjalanan ini, saya merasakan sebuah inner peace.
Saya
beristirahat sejenak sementara sopir taksi juga ikut-ikutan mengagumi keindahan
air terjun itu.
Kalau
arusnya tidak sedang kencang, ingin rasanya saya menceburkan diri di aliran air
terjun itu.
Video: Air Terjun yang gemuruhnya menggetarkan!
Dari
tempat itu, sopir taksi membawa saya ke La Hot Springs. Jaraknya sekitar 45
menit dari Hutan Lipur. Pada saat saya datang ke sana, banyak orang yang sedang
mandi di sungai, mengingatkan saya pada gambar-gambar dari Sungai Gangga.
Ada
beberapa water cluster di sana dan saya mencoba yang airnya paling panas. Saya
melepaskan pakaian saya dan hanya mengenakan celana renang, lalu bergabung
dengan orang-orang yang sedang berendam. Oh, this is nice. Ini yang saya
butuhkan setelah banyak sekali berjalan
kaki di hari-hari sebelumnya.
Tidak
sampai satu jam saya berada di tempat ini. Saya lalu berganti baju, tanpa
sempat mandi, dan lalu meminta sopir taksi membawa saya ke pantai sekaligus
pulang.
Tapi
tidak ada yang istimewa di Pantai Bukit Keluang. Tidak jelek, tapi tidak
membuat saya ingin berlama-lama di sana. Saya malah lebih tertarik membeli
pisang goreng yang banyak dijual di sana.
Pantai Bukit Keluang |
Setelah
itu, saya memutuskan untuk kembali ke Yaudin, keluyuran, makan malam dan tidur.
Saya
tiba kembali di Kota Bharu dari Kuala Besut sekita jam 1 siang. Saya
menimbang-nimbang untuk mencari hostel lain yang lebih dekat dengan stesen bus,
ketimbang kembali ke Timur Guesthouse, tetapi hostel di sekitar stesen bus
rata-rata bertarif lebih dari RM 70 permalam. Sebenarnya ada KB Backpacker House
yang dorm-nya sekitar RM 20, tapi itu tetap lebih mahal dari Timur Guesthouse.
Buat seorang backpacker seperti saya, selisih 5 ringgit itu besar juga lho!
Saya
menghabiskan malam terakhir di Kota Bharu dengan mencari makanan, sampai saya menemukan
penjual kue-kue yang enak di tempat yang sama yang menjual laksa di hari
pertama saya datang ke Kota Bharu. Dinner-nya saya ikutan antri Nasi Kukus Ayam
Berempah, yang lagi-lagi penjualnya mengira saya orang Singapore. Seriously,
what’s in me that makes me looked like a Singaporean?
Ngantri Nasi Kukus |
Di tempat ini, saya disangka orang Singapore! :D |
Ketika
hari menjelang malam, saya kembali ke Kedai Kopi Din Tokyo, lalu memesan
minuman andalan mereka, Halia Telur Puyuh. Ini adalah minuman air jahe panas
yang dicampur dengan telur puyuh mentah. Rasanya cukup enak, dan konon bisa
menambah energi bagi kaum pria.
Halia Telur Puyuh dan pembuatnya :) |
Setelah
itu saya pulang ke hostel. Esok pagi, bis dari Kota Bharu akan berangkat jam
9.45 ke Penang. Perjalanan ini jika dilihat di peta akan seperti memotong
semenanjung Malaysia, melintasi dua negara bagian lain yaitu Perak dan Kedah dan
seharusnya bisa ditempuh dalam waktu 5 jam 26 menit menurut Google Maps.
Di
perjalanan selama lebih dari 7 jam itu, saya tidak ingat melakukan apa. Mungkin
saya tertidur, tapi yang jelas saya merasa sangat bersyukur telah melakukan
perjalanan-perjalanan ini dan menikmati mukjizat-mukjizat kecil yang selalu ada
dimana-mana.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar