Bisa dimengerti jika suara tetesan air dari keran yang tak tertutup sempurna—bagi sebagian orang bisa terdengar seperti denting musik. Ia menciptakan efek kecipak yang indah, meski sebenarnya ia lahir dari gema yang di dalamnya tidak selalu menyanyikan keindahan. Bahwa ia terbuang dalam kesia-siaan, tanpa sempat termanfaatkan sebagai air yang bisa dimasak untuk minum, untuk mandi, dan untuk memenuhi beragam kebutuhan manusia untuk kehidupan yang layak.
Saya mendengar gema itu dari kamar mandi saya sendiri. Kebetulan keran air di dalam kamar mandi saya rusak, dan saya belum ada waktu untuk memperbaikinya. Entah sejak kapan keran air itu tidak bisa menutup sempurna, saya tak begitu memperhatikan. Mungkin sudah lebih dari tiga bulan. Yang jelas, di waktu-waktu yang hening—seperti ketika menjelang tidur di waktu malam, suara tetesannya terdengar jernih, dan air menetes terus dari keran, sepanjang malam, sepanjang hari.
“Suara tetesannya terdengar tak berbahaya, bahkan kadang merdu dan ritmik. Tes…. Tes… tes…”
Di Papua, harga air bersih sangat mahal, seperti halnya bahan bakar. Seorang blogger Kompasiana menyebut, air termasuk barang eksklusif di Papua. Sebagian menyebut, air adalah karunia Tuhan. Di Papua, sampai saat ini air sungai banyak yang belum bisa dimanfaatkan untuk mandi karena keruh dan biayanya mahal bila hendak disaring dan dibuat bening. Hal yang bisa mereka lakukan adalah melakukan penghematan dalam penggunaan air agar setiap keluarga tidak kekurangan air bersih.
Hujan gerimis turun di Kawasan Kuningan Jakarta Selatan. Meski Jakarta mulai memasuki musim hujan, banyak daerah lain di Indonesia yang terus berada di dalam kondisi kekeringan dan mengalami krisis air bersih. |
Di kota-kota besar di Indonesia, permasalahan dengan air sedang berproses untuk menemukan solusinya sendiri. Setidaknya penduduk tidak perlu membawa jerigen berpuluh kilometer untuk mengambil air seperti yang dilakukan oleh penduduk di Nusa Tenggara. Unicef menyebutkan warga di kepulauan Alor, NTT tidak memiliki banyak pilihan untuk mengatasi krisis air bersih yang mereka alami. Hujan adalah sumber air minum utama disana, namun hujan ternyata hanya turun selama 4 bulan, membawa mereka dalam deretan tantangan hidup yang lain. Ketika waktu produktif penduduk dirampok beberapa jam setiap harinya untuk berjalan kaki sejauh lima kilometer dengan membawa jerigen berkapasitas 20 liter. Meski kadang-kadang, penduduk (yang memiliki uang) bisa membeli air dari truk tangki yang berkeliling di pulau tersebut.
“Di Jakarta, jika hujan, penduduk berdiam diri di dalam rumah, menghindari basah kuyup kehujanan. Di Alor, hujan bukan waktu untuk mencari kehangatan di dalam rumah. Ketika hujan, mereka semua sibuk, menampung air dalam bak. Sebab, mereka tidak tahu kapan hujan akan turun lagi.”
Melestarikan Sumber Air Bisa Dimulai dari Kamar Mandi!
Setelah sekian lama, barulah saya sadar untuk meletakkan ember di bawah keran yang tak tertutup sempurna di kamar mandi saya, untuk menampung air yang menetes tersia-sia. Ukuran ember itu kecil saja, sehingga dalam beberapa jam, air yang menetes terkumpul, mengisi ember bahkan luber dan akhirnya terbuang tak termanfaatkan. Jika dalam sehari bisa terbuang lebih dari 1 ember kecil, berapa liter air terbuang dalam satu minggu, dalam satu bulan, satu tahun? Bagaimana kalau ternyata banyak keran-keran rusak lain di kamar mandi-kamar mandi lainnya? Pertanyaan-pertanyaan ini membuat saya teringat artikel-artikel surat kabar dan tayangan-tayangan televisi yang diproduksi untuk menyebarkan pesan untuk sudah waktunya berbuat sesuatu demi kelestarian sumber air bersih.
Memang kadang sukar untuk membayangkan suatu permasalahan jika ia tidak berada di depan mata sendiri. Orang bilang believing is seeing. Tinggal di Jakarta, akses kehidupan yang layak hanyalah dibatasi sumber daya yang kita miliki. Air minum mudah didapatkan, cepat dan tersedia di mana-mana. Jika kita bekerja di perkantoran, tidak ada anjuran atau panduan untuk bagaimana memanfaatkan air di kamar mandinya. Air seperti sesuatu yang niscaya, untuk tidak mengatakannya sebagai sesuatu yang hampir tak berharga.
“Kapan kita terakhir kali menemukan semacam anjuran di kamar mandi perkantoran untuk lebih bijaksana menggunakan air? Barangkali semacam stiker sederhana bertuliskan kata-kata bijak singkat yang ditempelkan di cermin di dekat wastafel sehingga semua orang bisa membacanya?”
Penduduk kota metropolitan seperti Jakarta juga telah terbiasa dengan fasilitas umum lain seperti mal dimana air kamar mandinya dipergunakan secara bebas. Para member pusat kebugaran juga tidak pernah dianjurkan untuk lebih bijaksana menggunakan air ketika mandi setelah berolahraga. Mereka bisa mandi berkali-kali seolah-olah sedang menikmati fasilitas spa atau tempat pemandian umum air panas di pegunungan. Tidak pernah ada larangan-larangan, bahkan sebuah mekanisme sederhana untuk mengingatkan bahwa ketika menggosok gigi, jangan lupa untuk mematikan keran air. Barangkali membiasakan sistem dual flush juga perlu, agar sistem pembilasan bisa dipilih sesuai kebutuhan: buang air besar, atau buang air kecil.
“Kelihatannya masih rendah sekali level clean water conscious pada sebagian besar masyarakat. Tapi, jika kita tidak melihat dan merasakan masalah ini, apakah ini menjadi jaminan bahwa kita tidak akan mengalaminya? Bahwa permasalahan tersebut benar-benar ada dan mengintai kita?”
Waktunya Untuk Berbuat Sesuatu!
Ketika kita minum segelas air, kita memasukkan sesuatu dari perut bumi ke dalam tubuh kita. Sumber mata air yang ideal untuk tubuh kita tentu saja yang berada di pegunungan, dari dalam perut bumi tersebut. Mata air di pegunungan pada umumnya memiliki kualitas yang baik, karena mengandung mineral yang diperlukan tubuh sekaligus tidak mengandung unsur pencemar yang berbahaya.
Namun, tidak semua orang bisa memiliki akses yang mendukung untuk mengkonsumsi air minum yang berasal dari mata air pegunungan. Populasi perkotaan yang padat membuat letak sumur yang airnya dipergunakan untuk kebutuhan sehari-hari, terlalu dekat dengan sumber pencemaran, misalnya tempat sampah, buangan limbah industri, atau septic tank. Hal ini patut diwaspadai karena jika tidak diolah dengan baik sebelum dikonsumsi, air bisa mengancam kesehatan orang yang mengkonsumsinya.
Meski demikian, seperti air yang terus mengalir secara filosofis, riset untuk meningkatkan kualitas air minum juga terus berkembang. Ada usaha-usaha agar kita bisa mengkonsumsi air yang layak minum di tengah keterbatasan akses terhadap sumber mata air yang ideal. Unilever menjawab tantangan ini dengan menciptakan Pureit, teknologi pemurni air revolusioner yang bisa digunakan rumah tangga, tanpa menggunakan gas dan listrik. Sebuah water purifier.
Pureit memberikan donasi ke sebuah sekolah dasar untuk menyediakan air yang aman dan terlindungi dari kuman berbahaya penyebab penyakit. |
Pureit membawa isu penyediaan air layak minum ke dalam sebuah harapan baru, bahwa sebuah perusahaan—dalam hal ini Unilever, bisa berkontribusi untuk menciptakan kehidupan masyarakat yang lebih berkelanjutan, sekaligus meningkatkan kualitas hidup mereka. Pureit mampu menyediakan air layak minum setelah melalui empat tahap yang masing-masing bertujuan untuk menghilangkan semua kotoran yang terlihat, menghilangkan pestisida dan parasit berbahaya, menghilangkan bakteri dan virus berbahaya dalam air, dan menghasilkan air yang jernih, tidak berbau, dengan rasa yang alami.
“Kini, ibu rumah tangga tidak perlu memasak air dari ledeng hanya untuk membunuh kuman. Tidak perlu menunggu air yang panas sampai turun suhunya untuk bisa diminum, karena Pureit sudah menghemat banyak proses yang dilalui untuk mengkonsumsi air layak minum. “
Kehidupan telah berjalan dengan mekanisme tertentu untuk mendukung keberlanjutannya sendiri. Hutan—yang didalamnya tumbuhan hidup, menyiapkan air tanah yang terus mengalir tanpa kita lihat, sampai ke daerah-daerah yang kita tidak banyak melihat pepohonan tumbuh: pemukiman, perkantoran, mal. Air sangat krusial untuk hidup yang terus berlanjut dan di bawah tanah di dalam gedung-gedung tersebut, terdapat air tanah, disedot terus menerus untuk kepentingan manusia, meski kadang hanya untuk dihambur-hamburkan. Air itu berasal dari hutan di tempat yang jauh, yang kadang kita tidak ketahui dan pedulikan. Saat ini, berapa banyak dari kita yang memikirkan hutan, khususnya hutan Indonesia yang terus menerus berkurang, karena illegal logging, atau oleh sebab-sebab apapun?
"Hutan di bumi sedang terus menderita. Di dalam segelas air yang kita minum, semestinya kita mampu melihat itu terpancar, sebab air jernih juga bisa menjadi cermin."
Secangkir Kopi yang Tak Sama Lagi!
Beberapa bulan yang lalu saya mendapat tugas dari kantor untuk membuat naskah sebuah iklan layanan masyarakat yang diproduksi bersama sebuah yayasan. Dalam pengerjaannya, saya kemudian menemukan sebuah video dari World Widlife Fund (WWF) yang menjadi salah satu inspirasi. Durasi video ini hanya 1 menit 31 detik, namun memiliki pesan yang kuat dan tidak mudah untuk dilaksanakan, sebab video ini mengajak kita untuk berubah. Semua orang akan setuju kalau berubah itu tidak akan mudah.
Ini videonya:
"Untuk membuat secangkir kopi latte, berapa liter air yang dibutuhkan? 400 cc? seperempat liter air?"
Sebelum saya melihat video ini, saya tidak pernah menyangka bahwa ternyata dibutuhkan 200 liter air hanya untuk membuat secangkir kopi latte--200 liter air itu setara dengan 5 galon air, sekali lagi hanya untuk membuat secangkir kopi latte. Mungkin ini terjadi karena saya termasuk orang yang hanya melihat dari permukaan, dan belum berpikir mendalam bahwa bersamaan dengan air dalam secangkir kopi yang saya lihat banyak hal-hal lain dalam secangkir kopi latte itu yang juga menggunakan air dalam pembuatannya.
Air juga dibutuhkan dalam proses untuk membuat cangkir kopi, sedotan, gula, susu, dan untuk perkebunan kopi itu sendiri! Pemenuhan kebutuhan air untuk orang-orang di seluruh dunia yang butuh minum kopi latte saja tanpa bisa dihindari akan membuat bumi tertekan.
"Jadi, haruskah kita berhenti minum kopi, untuk berpartisipasi dalam melestarikan sumber air minum?"
Kampanye WWF tersebut ternyata tidak mendorong kita untuk berhenti minum kopi. Satu-satunya yang perlu kita ubah adalah cara kita melihat sesuatu sesuai peran masing-masing. Petani kopi bisa mulai melihat kembali cara menghasilkan kopi dengan menggunakan lebih sedikit air sebagaimana kita sendiri, para peminum kopi yang perlu lebih bijak untuk tidak menghambur-hamburkan air. Perubahan juga bisa dilakukan di level pebisnis yang pasti membutuhkan air untuk beroperasi. Bahkan tidak ada pihak manapun yang tidak berkelindan dengan air dalam kehidupannya masing-masing. Pesannya adalah, kita bisa melakukan lebih justru dengan berusaha mengurangi.
Owa Jawa dan Regenerasi Air Tawar di Jawa
Owa Jawa (Hylobates moloch) adalah salah satu primata paling langka di dunia, dan hanya hidup di Indonesia, tepatnya di Pulau Jawa. Sejak tahun 1986, International Union for Conservation of Nature (IUCN) memasukkan Owa Jawa dalam red list, sebuah daftar berisi flora dan fauna di seluruh dunia yang berada di ambang kepunahan (endangered). Yang memprihatinkan, status endangered Owa Jawa meningkat menjadi “Critically Endangered” sejak tahun 1996, dan catatan terakhir menyebut populasi Owa Jawa tersisa sebanyak 2500 ekor saja, dan terus berkurang karena perusakan habitat aslinya.
Owa Jawa termasuk hewan arboreal, yang menghabiskan sebagian besar hidupnya di pepohonan, seperti halnya koala dan sloth. Owa Jawa hidup di hutan-hutan tropis, dengan ketergantungan yang begitu tinggi terhadap pohon tempatnya hidup. Namun, hidup mereka terus terancam seiring laju pengurangan luas hutan yang semakin nyata terjadi di Pulau Jawa!
Owa Jawa, yang terancam punah akibat deforestasi besar-besaran di Pulau Jawa. (foto: www.silvery.org.au) |
Yang lebih memprihatinkan, deforestasi di Pulau Jawa terjadi secara dramatis dalam dua puluh tahun terakhir, bahkan Owa Jawa telah kehilangan 96% habitatnya. Kini, Owa Jawa hidup semakin terfragmentasi, terpojok oleh ratusan juta penduduk Pulau Jawa yang semakin bertambah saja setiap tahunnya. Jakarta Post menyebut laju deforestasi berada pada rentang 2,500 ha pertahun atau sejumlah total 0,2 persen dari seluruh luas hutan Indonesia yang harus kehilangan 1,17 juta ha hutan pertahunnya.
Seolah belum cukup untuk membuat Owa Jawa berada semakin dekat ke arah kepunahan, ada pula praktek perburuan yang dilakukan orang tak bertanggungjawab untuk membunuhi induk Owa Jawa untuk mengambil anaknya. Di hutan, Owa Jawa jantan yang ditinggalkan kemudian akan mengganggu ketenangan keluarga Owa Jawa yang lain, ketika berusaha mencari pasangannya yang baru.
“Owa Jawa termasuk binatang yang setia hanya kepada satu pasangan saja. Seperti burung merpati.”
Laporan IUCN menyebutkan eksistensi Owa Jawa adalah salah satu indikator kesehatan hutan. Owa Jawa juga dapat membantu memperluas areal hutan dengan menyebarluaskan biji-biji tanaman hutan yang mereka makan. Hutan yang semakin berkurang ini, dipastikan akan mengancam keberlangsungan hidup semua mahkluk termasuk manusia, karena jika hutan berkurang, berkurang pulalah ketersediaan air tawar di dalam tanah.
“Bayangkan hidup tanpa air bersih?”
Namun, selalu lebih baik menyalakan lilin, daripada sekadar mengutuk kegelapan. Jika tergerak kita bisa berpartisipasi mencegah hal ini terjadi dengan mengadopsi Owa Jawa.
The “NatGeo” Dream
Saya tidak sabar menunggu datangnya tahun 2013. ^_^
Pada 4 Januari 2013, rekan saya akan bertemu dengan tim dari National Geographic di Singapura untuk membicarakan kerjasama pembuatan film dokumenter bertemakan Green Building di Indonesia. Persiapan berupa pengembangan cerita sudah kami lakukan sejak dua bulan yang lalu, bahkan rekan saya sudah mengambil beberapa footage dari site pembangunan sebuah komplek perkantoran di Jl. TB Simatupang, Jakarta Selatan.
Komplek perkantoran di Jl. TB Simatupang ini memang kami jadikan sentral cerita karena mengklaim diri sebagai gedung perkantoran komersial pertama di Indonesia dengan konsep 100% green. Saya pribadi merasa sangat kagum karena masih ada pihak developer yang idealis dan berani mendesain sebuah gedung perkantoran dengan konsep hijau yang berkelanjutan, dan tidak hanya menggunakannya sebagai sekadar gimmick. Sebab, gedung perkantoran, apalagi di lokasi strategis seperti di Jl. TB. Simatupang pasti akan cepat diminati dan lalu mudah terjual, meski tanpa embel-embel “green”. Oleh karenanya, ada motivasi dan hikmah yang perlu diungkap, dan film adalah medium yang tepat untuk mengungkapkannya, apalagi ide ini lahir di tengah kekisruhan Jakarta, sebuah big durian, yang tajam dan berbau menyengat, namun toh tetap memiliki magnet tersendiri.
Tak lama lagi, Jakarta akan memiliki gedung komersial pertama dengan konsep 100% green, dengan konsep pengelolaan air yang lebih baik. |
Untuk mendapatkan sertifikasi sebagai green building, setidaknya ada 10 point yang harus dipenuhi. Dua diantara point tersebut adalah rainwater retention scheme, dan water consumption. Saya membayangkan jika berkantor di gedung yang rencananya akan selesai dibangun pertengahan tahun depan ini, saya bisa minum air dari keran di wastafel kamar mandi. Seperti ketika kita pergi ke Singapura dan minum air langsung dari keran, dan tidak merasa sakit perut sesudahnya. Well, it’s about the time for this country to have such this building. ^-^
Perkantoran di Jakarta adalah penyedot air tanah paling rakus. Pakar Lingkungan Universitas Indonesia, Moh. Hasroel Thayib menyebut adanya kaitan antara pembangunan antara gedung bertingkat dengan kekeringan yang kerap melanda Jakarta ketika musim kemarau. “Saat ini kawasan terbuka hijau hanya tinggal 8 persen, yang lainnya kemana?” kata Thayib seperti dikutip dari Antaranews.com.
Pertemuan rekan saya dengan tim National Geographic adalah langkah untuk mewujudkan mimpi bagi saya dan teman saya, bahwa suatu saat kami sangat ingin film yang kami buat bisa ditayangkan di jaringan TV tersebut. Selain itu, melalui dua film dokumenter yang pernah kami buat sebelumnya, saya mulai memahami bahwa film bisa digunakan sebagai medium untuk menyampaikan pesan. Kini, dunia perlu tahu bahwa di tengah semrawut kota Jakarta, tetap ada pihak-pihak yang berusaha memberikan kontribusi demi pelestarian lingkungan, dan pada akhirnya mengarah pada usaha pelestarian sumber air minum.
“Ada yang berusaha menyebarkan gagasan melalui secangkir kopi, ada yang mengajak untuk mengadopsi Owa Jawa, ada yang membangun gedung, ada yang memasarkan water purifier. Semuanya baik. Sebab mereka tidak diam saja dan benar-benar melakukan tindakan nyata.”
Jadi demikianlah. Saya tidak ahli membetulkan barang-barang yang rusak, dan akhirnya saya memanggil tukang untuk membetulkan keran air yang rusak di dalam kamar mandi saya. Kini, saya bisa meninggalkan rumah dengan perasaan tenang. Bahwa tidak ada setetes airpun keluar dari keran saat saya pergi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar