Divina sayang,
Ketika aku melihat bulan purnama bersinar dengan jelas malam ini, aku teringat pada lagu kesukaanmu, “Di bawah sinar bulan purnama”. Kamu selalu suka kalau aku menyenandungkan lagu itu, dan bahwa aku tidak pernah bisa hapal pada lirik lagunya yang begitu panjang.
Aku melangkah masuk ke dalam sebuah rumah ibadah bersama temanku yang membawa kamera besarnya. Ia letakkan kamera di tengah ruangan ketika misa dimulai. Umat khusuk mendengarkan pendeta, di sela-sela lagu-lagu yang dipernyanyikan. Genta berbunyi tiga kali, dipukulkan dengan lembut, dan menghasilkan bunyi nyaring yang sedikit meninggalkan gema. “Sanchai,” katanya tiga kali.
Aku duduk di bagian belakang, kadang-kadang temanku menemani, ketika ia tinggalkan kameranya untuk merekam saja.
Aku menunggu sampai selesai ketika bulan purnama diluar semakin indah, dan umat bernyanyi-nyanyi dalam lagu-lagu sederhana yang membekaskan kenangan di telingaku. Melodi itu, melekat bersama aroma dan rasa yang lezat pada sepiring lontong yang segera tandas dalam beberapa kejap.
Betapa enaknya masakan itu, betapa kuingin membaginya bersama kamu. Namun ku tetap terngiang lagu itu, “dibawah sinar bulan purnama.” Betapa magical. Cap Go Meh, malam ke-15. Malam bulan purnama.
Dan lalu kudapatkan lirik lagunya:
Di bawah sinar bulan purnama
air laut berkilauan
berayun-ayun ombak mengalir
ke pantai senda gurauan
Di bawah sinar bulan purnama
hati susah tak dirasa
gitar berbunyi riang gembira
jauh malam dari petang
Beribu bintang taburan
menghiasi langit hijau
menambah cantik alam dunia
serta murni pemandangan
Di bawah sinar bulan purnama
hati susah jadi senang
si miskin pun yang hidup sengsara
semalam itu bersuka
air laut berkilauan
berayun-ayun ombak mengalir
ke pantai senda gurauan
Di bawah sinar bulan purnama
hati susah tak dirasa
gitar berbunyi riang gembira
jauh malam dari petang
Beribu bintang taburan
menghiasi langit hijau
menambah cantik alam dunia
serta murni pemandangan
Di bawah sinar bulan purnama
hati susah jadi senang
si miskin pun yang hidup sengsara
semalam itu bersuka
Setelah itu, aku pulang dalam diam. Namun hatiku terasa sangat bahagia….
Catatan:
Pada Cap Go Meh 2011, saya berkesempatan mengabadikan ritual perayaan penurutupan tahun baru imlek di sebuah desa di Tangerang, sebagai bagian dari film documenter “The Last Confucian” yang sedang saya garap. Kami—saya dan rekan, mengikuti sepasang suami istri yang berangkat dari rumahnya selepas senja, menuju rumah lain—sebenarnya tempat beribadah khusus umat Khonghucu.
Disana kami disambut umat khonghucu di desa itu yang pada umumnya keturunan tionghoa baik itu totok atau peranakan. Ritual sembahyang berjalan kurang lebih satu jam, diiringi nyanyian (seperti pada kebaktian di gereja), ditutup dengan jamuan makan lontong cap go meh yang lezat!
Tulisan di atas adalah “interpretasi romantis” dibalik proses pengambilan gambar yang terjadi pada malam itu. J
Tidak ada komentar:
Posting Komentar