Selasa, 03 Januari 2012

Memperkenalkan Banten Melalui Film







“Dear Gio, ini adalah suratku yang terakhir untukmu. Hari ini adalah hari dimana aku akan melangkahkan kakiku pada sebuah perjalanan. Ketika orangtuaku menuntunku dalam doa-doa mereka, sebelum aku menjadi istri seseorang, tapi ia bukan kamu. Dan bersamanya, ku akan mengurangi kehidupan. Sebuah kehidupan yang sepenuhnya dibangun diatas fondasi cinta, rasa percaya dan kesetiaan.”

Ketika saya menuliskan narasi ini, saya tidak membayangkan “Gio” untuk dihidupkan oleh aktor manapun, karena saya sedang tidak membuat film fiksi. Gio adalah sosok laki-laki imaginer yang saya bayangkan sebagai cinta pertama seorang perempuan asal Desa Ranca Kelapa, Tangerang yang pada hari itu akan menikah. Sebagaimana yang dilukiskan dalam filmnya (bisa anda temukan di YouTube), perempuan berdarah Tionghoa itu menikah dengan adat Khonghucu, sebuah ritual yang berusia ratusan tahun dengan keaslian tatacara yang masih terjaga sampai saat ini.

Sebagaimana yang terjadi di hampir semua budaya, sebuah ritual perkawinan pasti diikuti dengan pesta baik itu yang diselenggarakan dengan bersahaja, maupun yang mewah. Tapi di Ranca Kelapa, urutannya terbalik. Pesta diadakan pada siang hari, setelah itu, ritual yang disebut “Cio Tao” diadakan pada diniharinya, lengkap dengan tradisi menyisir rambut, saweran, dan saling menyuapi.

Pesta perkawinan masyarakat keturunan Tionghoa yang seringkali disebut sebagai warga China Benteng ini sendiri adalah warisan budaya yang sangat menarik. Pesta tidak jarang dilakukan selama tiga hari tiga malam, dengan hiburan “Gambang Kromong”, salah satu kesenian akulturasi budaya lokal dan Tiongkok, yang kini semakin terpinggirkan. Saat pesta, makanan melimpah dilengkapi dengan papan petunjuk untuk membedakan antara makanan Tionghoa dan makanan Indonesia.

Saya menangkap eksotisme-eksotisme ini dalam sebuah film dokumenter yang berjudul “Cerita Sehari di Ranca Kelapa”. Sebagai putra daerah yang lahir di Tangerang, Banten, sudah sejak lama saya berkeinginan untuk mengabadikan kekayaan budaya Banten melalui sebuah film. Kesempatan itu akhirnya terwujud ketika saya berhasil merampungkan film-film dengan setting China Benteng, termasuk film “The Last Confucian” dan “Cerita Sehari di Ranca Kelapa”, pertengahan 2011 lalu. Alhamdullillah, pada bulan November 2011, “Cerita Sehari di Ranca Kelapa”, terpilih sebagai Juara Harapan II Festival Cipta Film Pemuda Tingkat Nasional 2011 yang diadakan Kementerian Pemuda dan Olahraga Republik Indonesia.

Setelah menulis hampir tiga puluh film televisi yang ditayangkan stasiun TV nasional, saya beruntung menemukan jalan untuk menggarap film dokumenter mengenai kekayaan seni dan warisan budaya Banten, meski saat ini baru terbatas untuk wilayah Tangerang. Film dokumenter, dalam pemahaman saya, bisa menjadi sarana pendokumentasian warisan budaya yang kuat, selain yang mungkin sudah ditempuh melalui fotografi dan sastra.

Dalam perjalanan menuju apa yang sedang saya cita-citakan tersebut, pada bulan April 2011, saya menjadi pembicara workshop terbatas untuk Komunitas Love Our Heritage, dengan salah satu materinya mengupas mengenai pembuatan film dokumenter. Kepada para penggiat komunitas budaya yang berbasis di Jakarta itu, saya berbagi pengalaman mengenai documentary filmmaking, serta peran penting film dokumenter dalam upaya pelestarian dan pengenalan budaya-budaya, terutama jika budaya tersebut mulai hilang atau terpinggirkan.

Banten sebagai salah satu propinsi dengan sejarah peradaban tertua di Indonesia, tentu saja kaya dengan hasil warisan budaya tersebut. Namun selama ini, saya belum mendengar, atau mungkin belum ada sebuah usaha untuk memperkenalkan dan mendokumentasikan kekayaan seni budaya tersebut melalui sebuah film, baik itu dokumenter atau fiksi. Padahal potensi seni budaya di Banten sangat tinggi. Tidak hanya China Benteng saja yang menyimpan sejarah dan warisan budaya yang perlu dilestarikan, namun tentunya Banten juga memiliki Suku Baduy, komunitas unik dengan sejuta tabu yang tentunya potensial menjadi destinasi wisata, dengan warisan budayanya yang pasti menarik bagi dunia. Dan agar dunia mengetahui mengenai kearifan lokal mereka yang tak ada duanya, film bisa menjadi salah satu mediumnya.




Tapi, tentu saja Banten jauh lebih kaya daripada ‘sekadar’ China Benteng dan Baduy. Kekayaan budaya adalah suatu nilai lebih Banten, namun jika kita telaah lagi, banyak aspek-aspek potensi lain dari propinsi Banten yang bisa diperkenalkan melalui film. Hal ini termasuk potensi wilayah laut yang terletak di jalur lalu lintas yang strategis, daya tarik Gunung Krakatau yang sudah terkenal seantero dunia, potensi pariwisatanya, sejarahnya yang terkait peradaban kerajaan-kerajaan masa lampau, sampai kekhasan budaya yang tidak dimiliki propinsi lain, seperti Pencak Silat dan Debus.





Banten juga memiliki potensi sebagai destinasi wisata yang belum tergarap dengan maksimal, sehingga dalam hal ini film bisa menjadi wahana promosi yang efektif. Salah satunya adalah Taman Nasional Ujung Kulon, yang merupakan salah satu daerah konservasi alam dunia yang dicanangkan UNESCO sebagai world heritage site. Sebagaimana kita ketahui, wilayah hutan taman nasional ini merupakan habitat dari badak bercula satu yang hampir punah.




Pantai Carita, Tanjung Lesung dan Pulau Umang yang terletak di daerah Serang dan Pandeglang juga merupakan salah satu tujuan wisata favorit bagi wisatawan. Berbatasan dengan beberapa wilayah laut termasuk Selat Sunda dan Samudera Indonesia, Banten memang memiliki pantai-pantai cantik seperti Pantai Sawarna di Banten Selatan, yang sangat cocok untuk olahraga selancar.




Namun, membicarakan Banten dengan populasi lebih dari 10 juta jiwa takkan lengkap tanpa mengupas mengenai infrastruktur penunjangnya, termasuk sarana transportasi, akses jalan dan sebagainya. Selain sebagai propinsi dimana Bandara Internasional Soekarno – Hatta berada, tentu saja sebagai kawasan yang sedang terus berbenah, Banten terus memperbaiki akses jalannya, sehingga mempermudah proses pembangunan. Akses ini penting karena di Banten termasuk salah satu kawasan industri di tanah air.

Di samping itu, karena posisinya yang berada tidak jauh dari ibukota Jakarta, sebagian daerah Banten menjadi penyangga kawasan yang bernilai sosial ekonomi, termasuk menyimpan potensi kependudukan yang tinggi. Dalam hal ini, dikaitkan sebagai fungsi film sebagai medium pendidikan, isu-isu ini tentu saja bisa dielaborasi menjadi tema fim yang mendidik, mencerahkan sekaligus mengadvokasi terbentuknya tatanan masyarakat yang lebih baik.

Merupakan mimpi bersama bagi masyarakat yang tinggal di kawasan ini, untuk melihat daerahnya lebih baik dan lebih dikenal melebihi batas geografis, sekaligus menghasilkan pertumbuhan yang menguntungkan. Setiap masyarakat bisa melakukan cara-cara independen dan kreatif seperti berkomunikasi melalui media film. Oleh karena itu, saya berpendapat, upaya memperkenalkan Banten perlu ditunjang oleh bersatunya komunitas pembuat film di Banten, yang berkomitmen untuk membuat film, dari dan untuk Banten.

sumber foto: http://bantenculturetourism.com

Dari Blogger Untuk Banten

1 komentar:

  1. Mantaaap... Keren.. inilah karya anak bangsa yang peduli akan pelestarian budaya Indonesia.
    Banten adalah salah satu Daerah yang mempunyai bervariasi Budaya dan lokasi Pariwisata yang tidak kalah indahnya dengan daerah lain yang ada di Indonesia.

    Mudah2an dengan kegiatan seperti ini akan memperkenalkan Banten dan mempromosikan Banten ke Manca Negara.

    Suksess dan tetaplah berkarya.....

    Two thumbs for u...

    BalasHapus