Senin, 15 Mei 2017

Laki-laki yang Menantang Nyi Roro Kidul

Kau terbang menuju rumahmu setelah mengetahui kabar itu. Kau ketuk pintu rumahmu seperti orang kesetanan dan membuat ibumu tergopoh-gopoh membuka pintu dan menyambutmu; ia yang sangat merindukanmu, setelah kepergianmu lima tahun yang lalu. Sekarang, kau pulang di ambang petang, dan bahkan kau tak bisa melihat betapa ibumu ingin memelukmu, ataupun kilat di mata ibumu karena begitu senangnya telah melihatmu lagi. 
 “Wirasana, biarkan Ibu memelukmu, Nak”, kata ibumu. Sedetik saja kau memeluk ibumu, sebab kau tidak mau merasa cengeng. Lagi pula kau sudah tak sabar lagi untuk menanyakan sesuatu. 
“Betulkah yang kudengar tentang Nararya?” tanyamu sambil mendekati jendela yang menghadap ke lautan dan memandang ke arah kejauhan. 
Ibumu menghela nafas. “Apa yang kau dengar?” 
“Nararya hilang saat berenang di laut.” 
“Bukan hilang, tapi kami percaya ia diambil Nyi Roro Kidul.” 
“Nyi siapa?” tanyamu, sambil membalikkan badan. 
“Oh Dewata! Kamu tidak pernah mendengar mengenai Nyi Roro Kidul?” 
“Tidak,” katamu. Ibumu kaget, lalu duduk di ranjangnya.
Mendengar jawabanmu, air mataku jatuh menjelma hujan di Laut Selatan. Ombak bergelunggelung, melahirkan suara yang memekakkan telinga dan mengirimkan gemuruh ke telingamu. Demikian kesedihanku karena kau tak pernah mendengar tentangku, seolah pengorbananku tiada artinya, dan hadirku tidak memiliki makna.
Di antara gemuruh itu, ada gemuruh lain, yaitu dari hatimu. Kau begitu muda, kau baru pulang dari petualanganmu, seolah itu keniscayaan di usiamu itu, dan kau merasa bisa melakukan segalanya.
“Aku akan mencarinya, Ibu”. Ibumu terkesiap, masih tak bisa menduga betapa bersemangatnya dirimu.
“Wirasana, Ibu tahu kau telah berteman dengan para pendekar. Kau percaya pada 2 kehebatan dan keajaiban, tapi jika kau berniat mencari Nararya, itu hanya akan menjadi kesia-siaan belaka!”
“Mengapa? Siapa tahu dia terdampar di suatu tempat dan membutuhkan kita, Ibu.”
“Dia telah tak ada di dunia yang sama dengan kita. Relakan dia, Nak.”
 “Tidak! Aku tidak akan menyerah begitu saja, apalagi kalau ini ternyata hanya ulah seorang wanita…”
“Kanjeng Nyi Roro Kidul, Nak.”
Kau mendengus, kau tak bisa menerima kenyataan itu. Akhirnya kau muncul dengan gagasan yang membuat ibumu tercengang. “Kalau begitu aku akan mencari Nyi Roro Kidul dan memaksanya untuk mengembalikan Nararya!”
 “Wirasana, hati-hati dengan apa yang kau ucapkan, nanti kedengaran Kanjeng Ratu!”
Tak kau dengarkah gemuruh ombak di kejauhan? Lalu deru angin yang membawa awan hujan mendekati daratan?
“Aku sama sekali tidak takut!”
“Ibu tidak akan mengizinkanmu. Kau tidak boleh dekat-dekat laut, Kanjeng Ratu gemar mengambil laki-laki yang masih bujangan seperti dirimu.”
 “Ini tidak bisa dibiarkan. Tidak boleh ada apapun yang membuat kita hidup dalam ketakutan seperti itu, Ibu,” katamu.
Namun aku tahu dari dalam lubuk hatimu kau bisa memahami kekhawatiran yang dirasakan ibumu. “Ibu siapkan makanan ya? Kau pasti lapar. Setelah itu, kau lupakan idemu untuk mencari Kanjeng Ratu.”
Kau diam saja, tapi aku tahu sekali justru pada saat inilah kau sedang merancang rencana klandestin di kepalamu untuk menemuiku.
***
Langit di Pajajaran malam itu bagaikan medan pertempuran antara Batara Chandra dan Raksasa Kalaharu. Beberapa kali Kalaharu menelan Batara Chandra, namun karena ia hanya raksasa tanpa tubuh, ia selalu gagal setiap kali ia menelan Batara Chandra. Bulanpun selalu muncul kembali setelah awan hitam itu 3 menelannya beberapa lama, menerangi taman yang indah di sekitar istana kerajaan.
“Nak, mengapa kau tatap langit dalam kemuraman?” tanya Raja Munding Wangi.
“Ayahanda, lihatlah bulan di langit. Sebentar-sebentar timbul, lalu tenggelam. Ketika timbul, sinarnya cerah keperakan seperti taburan kebahagiaan dari angkasa. Tapi ketika tenggelam, malampun terasa gulita dan menyeramkan. Aku yakin seperti itulah yang Ayah rasakan sekarang. Ayah bahagia, tapi ada yang sedang membuat Ayah resah,” kata Dewi Kadita.
Munding Wangi terdiam beberapa saat sebelum berkata lirih. “Nak, aku tidak menyangka akan bisa merasa seperti ini lagi setelah kematian ibumu bertahun-tahun yang lampau. Jika kecantikanmu membuatmu dijuluki Dewi Srengenge, maka Dewi Mutiara laksana bulan yang bisa menemani malam-malam sepi Ayah.” 
“Ayah pasti tahu, apapun akan kuberikan untuk membuat istana kita menjadi taman penuh kegembiraan untuk hidup Ayah.”
Munding Wangi menghela nafas, memejamkan matanya sebentar dan menundukkan kepalanya. Ia benar-benar bersyukur dalam hatinya ketika putrinya memberinya pertanda kalau ia merestuinya untuk menikah lagi. Namun, yang tak diketahui Dewi Kadita, sesungguhnya Munding Wangi ingin menikah dengan Dewi Mutiara untuk bisa mendapatkan keturunan laki-laki yang bisa menjadi penerusnya sebagai Raja Pajajaran.
Kebijaksaaan putrinya merayapi pikirannya seperti langit yang kini mulai dihuni bintang-bintang. Malam telah semakin larut. Debur ombak di laut yang sedang pasang terdengar di kejauhan seolah ingin mengatakan jika hasrat sedang berbicara maka tidak akan ada yang mampu meredam gejolaknya di hati manusia.
“Ayah, tidurlah. Malam tidak akan bisa membawa Dewi Mutiara ke peraduan Ayah, kecuali jika Ayah yang menjemputnya sendiri.”
Munding Wangi tersipu-sipu mendengar perkataan putrinya. Maka disirami dengan cinta yang menggenangi hatinya, ia minta diri, meninggalkan Dewi Kadita sendirian yang lalu diam-diam menangis karena tiba-tiba teringat ibu kandungnya.
Dua purnama setelah percakapan di malam hari itu, daun-daun berguguran dari pepohonan yang meranggas di Pajajaran. Bertebaranlah aroma malapetaka, melengkapi masa paceklik yang sedang terjadi. Ladang para petani mengering, tanahnya pecah-pecah, dan retak-retak di sana-sini.
Namun pada siang itu, Munding Wangi justru sedang menjadi orang paling bahagia. Senyumnya mengembang lebar, ia tebarkan kepada rakyatnya yang berbaris di sepanjang jalan menuju istananya. Mereka kagum melihat keindahan kereta kencana yang dinaiki Munding Wangi bersama Dewi Mutiara.
Meski sebenarnya mereka justru sangat ingin melihat Dewi Kadita yang mereka cintai, yang pada saat itu tidak ikut dalam rombongan menjemput Dewi Mutiara. Bagi Dewi Mutiara, inilah hari yang selalu dikhayalkannya.
Sejak pagi hari, ia sudah mengunyah daun sirih agar nafasnya wangi ketika merayu Munding Wangi. Bibirnya merah karena sekapur sirih, badannya diolesi param, dan bungabunga wiraga ditancapkan ke kondenya yang tergelung dengan indahnya. Gamelan Lokananta menyambut kedatangan mereka di istana.
Dewi Kadita memeluk ayahnya, lalu bersimpuh di hadapan perempuan yang sebentar lagi akan menjadi ibu tirinya. Seisi istana menundukkan kepalanya, tanda kepatuhan pada permaisuri raja mereka yang baru.
Selama tujuh hari tujuh malam berikutnya, istana menggelar pesta. Dewi Mutiara mendengus dalam hatinya, sudah tidak sabar lagi untuk menjadikan tanah Pajajaran ada dalam genggaman tangannya. Namun ajaibnya, bibirnya tetap menyunggingkan seulas senyum, yang selalu siap ia persembahkan untuk Munding Wangi.
Ketika Dewi Mutiara hamil, makin tampaklah perangainya yang sebenarnya. Ibarat buah persik busuk yang dagingnya dihuni ulat, hati Dewi Mutiara ternyata digerogoti kedengkian. Kebenciannya pada Dewi Kadita juga makin menjadi-jadi. Dewi Kadita yang makin hari makin jelita dan sangat dicintai semua rakyat Pajajaran. Sementara ia tahu, sebagai ratu, dirinya tak disukai, titahnya dituruti, namun ia tak pernah mendapat penghormatan dan pengakuan yang diidamkannya.
***  
Kau tersentak dari tidurmu. Kau mendengar bunyi nafasmu sendiri, detak jantungmu tak teratur. Matamu terbuka tapi kau hanya melihat kegelapan menyelimuti peraduanmu. Telah kau dengar yang lebih detail dari ibumu, tentang kereta kencana yang terbang di atas lidah-lidah ombak, ditarik kuda-kuda putih nan gagah. Bahwa mereka melihatku menaiki kereta kencana itu, mengenakan pakaian berwarna hijau, dengan selendang menari-nari ditiup angin. Bahwa kemunculanku selalu menjadi pertanda akan terjadinya sesuatu yang buruk.
Namun kalian yang menginginkan kebenaran tidak akan mendapatkannya kalau kalian hanya bisa menelan bulat-bulat apa yang diceritakan orang. Kau mendengar suara-suara yang memanggil-manggil namamu, sayupsayup dan datang dari arah samudera, lebih jelas dari sahutan jangkrik di dini hari itu. Kau yakin itu suara sepupumu, menunggumu menyelamatkannya.
Semakin lama semakin terdengar jelas di telingamu, dan membuatmu merasa bersalah untuk hanya diam saja. Maka kau berjingkat-jingkat bangun, berkemas seadanya dan memantapkan hatimu. Kau tidak ingin membangunkan ibumu, kau menyayanginya maka kau menanggalkan cincin kecubung yang kau kenakan di jarimu, meletakkannya di atas ranjangmu, agar ibumu tahu bahwa kau pergi, tapi untuk kembali. Kau tiba di negeri yang pernah loh jinawi. Tanah retak dan pecah-pecah, panen gagal, banyak orang meninggal karena wabah penyakit. Pageblug, kata orang.
Kau mencoba mengajak bercakap-cakap orang-orang yang kau temui di jalan. Mereka semua memandangmu dengan tatapan sayu, matahari telah direnggut dari hidup mereka. Di negeri itu, rakyat hidup dalam kemelaratan sementara pemimpinnya bermewah-mewah dalam penjara dunia bernama kuasa. Hanya sepuluh tahun sesudah kepergian Dewi Kadita, Munding Wangi dan Dewi Mutiara kini telah kelihatan begitu renta. Tahta kerajaan sudah dipegang oleh anak laki-laki mereka yang juga tak berdaya karena penjara dunia lainnya: wanita.
Kau geram. Di istana, kesemarakan dan pesta ria berlangsung tak ada habisnya. Raja mungkin telah lupa akan janjinya, mabuk oleh ocehan manis para penjilat di sekelilingnya. Kau telah menerobos masuk dan berbicara pada raja mabuk, tapi para pengawal menangkapmu. “Andai saja ada balatentara sedikit saja menyerang istana saat ini, habislah sudah kalian!” Raja diam saja. Benaknya tak ada di sana, tapi di tempat di mana kenikmatan dunia berada, diterbangkan oleh bergelas-gelas tuak yang telah diminumnya.
Para pengawal menyerbumu, mereka ingin dilihat sebagai yang paling setia, tapi kau telah menguasai ilmu bela diri dari laku yang telah kau jalani bertahun-tahun lamanya, maka gugurlah mereka dalam sebuah perkelahian yang berlangsung sangat singkat. Kekuatanmu bukan tandingan mereka.
Mendengar keributan itu, muncullah Munding Wangi dan Dewi Mutiara, yang terseret-seret dalam langkahnya. Usia telah menggerogoti tubuh mereka. “Siapa kau?” tanya Munding Wangi. “Wahai Paduka, negeri ini pernah dikenal membawa terang di mana-mana, sampai-sampai negeri tetangga seolah ikut menerima pancaran cahayanya. Tapi apa yang terjadi sekarang? Tidak ada lagi kebijaksanaan yang menopang jiwa negeri ini! Negeri ini telah kering kerontang dan bahkan telah menjadikan seorang putri yang cantik menjadi tumbalnya!”
“Lancang sekali mulutmu! Pergi dari sini!”
Kau melihat Dewi Mutiara menghardikmu dengan sia-sia, karena tidak ada siapapun untuk disuruh, tidak ada balatentara untuk diperintah, bahkan anak laki-laki yang sangat diharapkannya ternyata tak berguna dan kelak bahkan namanya tidak pernah dikenal orang.
“Kalian telah buta, sebab negeri ini telah kehilangan mataharinya. Hamba sebenarnya tak peduli, tapi hamba tak terima kalau akibat ulah kalian banyak keluarga yang terenggut kebahagiaannya!”
“Lalu apa maumu?” tanya Munding Wangi.
“Hanya permintaan maaflah yang akan menyelesaikan ini semua, membersihkan kedengkian yang sudah menguasai hati.”
Tetapi kau lalu kecewa sebab Munding Wangi dan Dewi Mutiara lebih memilih untuk tenggelam dalam keputusasaan, menyerah pada keserakahan, dan menghamba kegelapan yang akan membawa Pajajaran terperosok ke jurang.
“Aku akan menyambut kematianku dalam hari-hari yang semakin panjang di dunia. Bahkan jika umurku panjang, itu akan menjadi malapetaka dan penderitaan bagiku, yang lebih getir daripada apa yang kau ketahui,” kata Munding Wangi.
“Aku hanyalah seorang ibu yang mencintai anaknya,” tambah Dewi Mutiara. Anak yang dimaksudkannya sedang tertidur dengan mulut menganga. Kau melihat mereka telah begitu tua, kekuatanmu tak sepadan untuk mereka, barangkali mereka akan mati lebih dulu sebelum mencapai samudera.
Akhirnya kau mengurungkan niatmu untuk membawa mereka ke Laut Selatan. Semilir angin malam menjadi kejutan untukmu. Sebab kau sama sekali tak mengharapkan ada sesuatu yang begitu manis bisa kau rasakan di negeri ini. Lalu kaupun melangkah pergi, dan semakin menjauh. Bulan menjadi mercusuarmu menuju lautan.
***
Dewi Mutiara terbelalak. Matahari belum benar-benar menghilang dari cakrawala, tapi ia sudah melihat kegelapan dalam dunianya.
“Aku sudah memutuskan, Dewi Kadita lebih layak memimpin negeri ini dibandingkan anak kita,” kata Munding Wangi dengan suaranya yang berwibawa.
“Kanda, anak kita memang baru berusia sembilan tahun. Masih panjang perjalanannya, ia belum lagi belajar memanah, belum mahir berburu, tapi aku yakin dengan bimbingan kita, ia akan menjadi seorang raja yang hebat di Pajajaran ini.”
 “Permaisuriku. Tidakkah kau lihat aku sudah begitu tua dan rakyat begitu mencintai Kadita. Ia akan menjadi seorang ratu yang hebat yang akan membuat keagungan Pajajaran semakin diakui.”
“Tapi Kanda sudah berjanji kalau anak laki-laki kita yang akan menjadi raja, meneruskan tahta Kakanda.”
“Maafkan aku, Dewi Mutiara. Sudilah kau menerima kesalahanku. Aku telah bersalah padamu, juga pada Dewi Kadita. Aku menikahimu untuk 8 mendapatkan anak laki-laki, tapi kini aku memutuskan jika Kaditalah yang lebih layak menjadi penerusku.”
“Oh... Kanda...”
“Tapi jangan khawatir, aku masih mencintaimu. Kau akan selalu jadi permaisuriku,” kata Munding Wangi.
Dewi Mutiara terdiam. Matahari kini benar-benar telah tak terlihat lagi, membuat siapapun tak bisa melihat kilat jahat di matanya, begitu ia memikirkan Dewi Kadita. Alam terus membisu dalam kerontangnya. Tak ada angin merayap menembus mega, menjatuhkan hujan yang telah begitu lama dirindukan.
Di Gua Sunyaragi, ratusan kelelawar terbang berduyun-duyun menuju bagian dalamnya yang gelap, menyembunyikan diri dari matahari yang sebentar lagi terbit. Jahil berdiri waspada, ia sudah bangun jauh sebelum terlihat tanda-tanda fajar menyingsing, dan kini menatap ke arah barat. Ia mendengar ringkik kuda, dan langkah-langkah kaki yang berjalan mendekat ke arahnya.
Tak berapa lama, muncullah seorang wanita separuh baya. Hela nafasnya meruapkan ketakutan, gerak tubuhnya dikepung kecemasan. Ia Pooja, seorang abdi dalam istana yang diantar seorang pesuruh untuk mendatangi gua angker itu; pesuruh penakut yang meninggalkannya di kejauhan karena jiwanya sudah mengkeret hanya dengan melihat gua gelap gulita itu dari kejauhan.
Mereka berkuda sejak dini hari dibayangi titah Dewi Mutiara yang menakutkan, dengan hanya satu tujuan.
“Dukun yang sakti, ampunilah nyawaku,” kata Pooja sambil memeluk kaki Jahil.
Walau bagaimanapun, penyihir tua itu terkejut, lantas menepis pelukan Pooja yang kemudian terlempar beberapa depa darinya.
“Tempat ini dibenci cahaya, dan berbau anyir darah, namun masih ada saja yang datang dan merisakku,” kata Jahil.
“Ibu, aku datang atas titah Dewi Mutiara yang berpesan akan meluluskan apapun permintaanmu jika Ibu bersedia membantunya,” kata Pooja.
Pooja lalu menceritakan apa yang dititahkan Dewi Mutiara untuk disampaikan pada Jahil. Ia mengingatnya baik-baik, tanpa cela, dan sebagaimana 9 adanya, sebab kealpaan sedikit saja bisa membuatnya kehilangan nyawa. Lalu setelahnya, Jahil manggut-manggut. Tubuh tuanya yang ringkih batuk-batuk sebentar, lalu menyuruh Pooja pergi.
Pooja meninggalkannya dengan kelegaan luar biasa, namun ia juga merasakan kesedihan teramat sangat ketika mengingat sesuatu yang buruk akan segera terjadi pada Dewi Kadita yang dicintainya. Namun, ia tak bisa berbuat apa-apa.
Waktu akhirnya Dewi Kadita masuk ke peraduannya malam itu, ia sudah lelah seharian menemani adik tirinya bermain di keputren. Dua ekor kera jinak peliharaan mereka siang tadi melompat dari pohon ke pohon, membuat siapapun yang melihatnya tertawa-tawa, termasuk adik tirinya yang juga ditemani dayang-dayang yang patuh padanya bagaikan tak berjiwa.
Dewi Kadita sangat sayang pada adik tirinya itu, meski Dewi Mutiara selalu memperlakukannya bagai dayang-dayang tak berjiwa itu. “Kadita!” hardik Dewi Mutiara ketika pada suatu waktu menemukan anaknya menangis karena terjatuh.
“Anakku yang malang, mungkin kakak tirimu lupa kalau kau baru berusia sembilan tahun, belum bisa mengikuti langkah-langkah kaki orang dewasa sepertinya. Apa salahmu sampai harus diseret-seret seperti itu?”
Dewi Kadita hanya bisa minta maaf, mendengar sindiran seperti itu. “Kadita! Sungguh aku malu pada rakyat jelata jika menemukanmu semalas ini. Lihatlah matahari sudah merekah, tapi kau masih saja bergelung di peraduanmu!” kata Dewi Mutiara ketika melihat Dewi Kadita masih tergolek di kamarnya, meski ia tahu saat itu Dewi Kadita sedang tidak enak badan.
Siksaan batin dari Dewi Mutiara terus mendera Dewi Kadita. Tapi ketika Munding Wangi berada di dekat mereka, Dewi Mutiara menjelma seorang ibu yang berbeda, ibu yang penuh perhatian dan kasih sayang.
Malam itu, dalam nyenyak tidurnya, Dewi Kadita tidak bisa merasakan adanya perubahan cuaca. Tiba-tiba angin bertiup kencang di luar peraduannya, bunga padma mendadak layu, dan pokok-pokok pohon bergoyang-goyang. Angin itu seperti tangan raksasa yang membuka pintu kamarnya, lalu menyelimutinya, sebagian terhirup oleh nafasnya dan masuk melalui pori-pori kulitnya.
Setelah itu lalu hening beberapa saat. Namun keheningan itu seolah menggeret dan mengoyak kulit Dewi Kadita. Sekujur tubuhnya seperti melepuh, timbul kudis, borok dan bisul disertai sisik yang mengeluarkan bau anyir dan terlihat menjijikkan. Samar-samar, Dewi Kadita seperti mendengar suara gaib dalam tidurnya. Ia terbangun karena menghirup bau busuk seperti bangkai, lalu ia meraba kulitnya yang terasa teramat gatal dan merasakan luka bernanah.
Cahaya temaram dari luar membuatnya bisa melihat kalau kulit di tangannya seperti bersisik dan bengkakbengkak. Ia terkesiap, merasakan jantungnya seolah berdetak delapan ratus kali lebih cepat, namun ia teringat kalau ia sedang tertidur, dan barangkali ini semua hanya mimpi. Ia memencet sebuah borok di dekat pergelangan tangannya, dan terasa sakit. Ia mengaduh, dan saat itulah ia menyadari kalau ini semua bukan mimpi. Ia berteriak sekeras-kerasnya, “Ayahanda!” Lalu gadis cantik itupun pingsan.
***
Awalnya kau tidak tahu dan ragu. Kemudian muncullah mereka: mimpi-mimpi, pertanda, bisikan gaib. Kau lalu tahu bahwa mimpi-mimpi, pertanda dan bisikan gaib itu bukan hadir tanpa makna, melainkan membawamu pada seorang resi; ia yang tak peduli terhadap apapun yang sudah kau lakukan di masa lalu, dan menjelma paksi ketika kau merasa putus asa.
“Wirasana anakku, hentikan niatmu jika semua ini hanya akan berakhir sia-sia. Kau akan berhadapan dengan sesuatu yang di luar jangkauan kekuasaan manusia. Siapakah makhluk di dunia ini yang dapat mengalahkan Nyi Roro Kidul?” tanya Resi Abiyasa.
“Resiku, adakah bunga mekar di hutan ini yang belum kau ketahui? Adakah embun pada dedaunan yang menetes di luar pengetahuanmu? Aku telah memantapkan tekadku untuk menemuinya dan telah siap dengan segala resikonya,” jawabmu.
 “Wirasana, aku tidak akan tega melihat penderitaanmu, tapi ada sebuah laku yang harus kau jalani untuk mampu mencapai apa yang kau inginkan. Pergilah kau bertapa agar dirimu siap untuk menemuinya.”
“Aku siap, aku siap.”
“Tabahkanlah hatimu seperti ibumu yang kini diam dalam penderitaannya karena setiap hari mencemaskanmu.”
Tergetar hatimu mendengar Resi Abiyasa menyebut-nyebut ibumu. Kau juga teringat cincinmu yang kau tinggalkan di rumah, sebagai pesan bahwa kau akan kembali. Kau semakin ragu bahwa kau akan bisa memenuhi janji itu, namun di saat yang sama, kau begitu ingin mewujudkannya.
“Ingatlah pesanku, Nak. Nyi Roro Kidul hanya akan mengambil perjaka atau perawan. Jika kau ingin selamat, cepatlah kau cari seorang wanita untuk kau peristri, sebelum kau berangkat menemuinya.”
“Resi, bukan maksudku untuk menepis semua wejanganmu. Tapi aku tidak akan kalah bahkan sebelum bisa bertemu dengannya. Justru aku ingin mematahkan segala hal yang selama ini sudah ditancapkannya ke dalam benak kita,” katamu dengan berapi-api.
“Dalam hidupmu ini, kau sendirilah yang akan menanggung segala akibatnya. Kalau memang itu yang kauinginkan, kau akan menemukan jalanmu sendiri menuju ke sana. Tapi kau harus bisa melihat ke dalam hatimu sebab kau hanya akan merasa siap ketika tidak ada lagi kemarahan yang kau rasakan di dalam hatimu itu,” terang Resi Abiyasa.
Kau mengangguk-angguk, terharu akan kebijaksanaan yang baru kau dengar. “Semoga kelak perjumpaanmu dengan Nyi Roro Kidul bisa dimaknai oleh semua orang yang mengetahuinya,” kata Resi Abiyasa.
Setelah berkata demikian, Resi Abiyasa menghilang dalam kemuliaannya. Kau lalu berlutut, dan bersujud. Kau bermeditasi di malam hari, dan melatih fisikmu di siang hari. Kau tidak makan apa-apa dan hanya minum air hujan yang tertampung pada daun keladi hutan. Semesta menangis, tak tega melihat tirakatmu selama 40 hari 40 malam.
***
Dewi Kadita mengangkat wajahnya dari jampi-jampi di daun lontar yang sedang dibacanya dan melihat mata basah Munding Wangi yang sedang menatapnya. Gadis itu mulai berbicara dalam kegelapan. Dewata membiarkanku hidup untuk satu alasan, yaitu yang akan tidak diungkap sampai saat-saat terakhir nanti. Akulah seorang gadis yang ketika ditinggalkan sendirian di hutan, akan bersahabat dengan binatang-binatangnya dan minum dari tetesan embun yang terkumpul di daun keladi.
Di istana sangat mudah kehilangan kemampuan untuk melihat hidup yang sebenarnya, hidup rakyat jelata. Mereka masih terus saja menangis, Ayah. Lalu tanpa bisa kucegah, mereka sudah tahu keadaanku sekarang ini dan tambah sedihlah mereka. Padahal sebisa mungkin aku senantiasa berusaha untuk membuat bahagia semua orang dan melakukan kebaikan untuk mereka.
Namun pada akhirnya aku sadar kalau aku bukanlah yang memiliki semua kebaikan-kebaikan itu. Kebaikan-kebaikan itu sudah lama ada dan hanya ingin mengejawantah melaluiku. Angin bagaikan sang pembisik. Dersiknya terdengar di setiap telinga rakyat yang terdiam sedih.
Musim tak juga berganti, harum kembang-kembang seolah sebuah legenda yang berasal dari kebohongan yang sesungguhnya tak pernah nyata. Seorang anak manusia berjalan sambil menutupi seluruh tubuhnya, berharap untuk menjadi tak terlihat.
Sang Surya kasihan melihatnya dan mengurangi teriknya. Tapi tetap saja, dunia mengamati takdir Dewi Kadita yang harus dipenuhi hari itu. “Malang sekali nasibmu, Ananda Kadita. Hatiku selalu menjerit bila aku melihat kekejaman dunia kepadamu. Lihatlah tanah yang retak-retak itu, seperti itulah hatiku melihatmu,” kata Dewi Mutiara sambil terisak-isak melihat kepergian Dewi Kadita. Munding Wangi menghela nafas.
“Anakku, Kadita. Teruslah menapaki takdirmu, Nak. Tapi ketahuilah kehidupan ini tidak akan begitu saja berakhir setelah kepergianmu. Sosokmu tidak akan mudah sirna hanya karena penyakit yang kau derita.”  
Selama tujuh hari Dewi Kadita terus berjalan menuju ke arah selatan. Semakin jauh dari istana, ia semakin tidak dikenali dan diperlakukan tak ubahnya najis manakala ia berpapasan dengan orang-orang di desa-desa yang jauh. Mereka tentu tak tahu bahwa ia sedang menuju ke samudera yang derunya semakin jelas terdengar, seiring kaki-kaki kurusnya melangkah. Ia bertanya-tanya asal deru menggelegar itu, apakah dari angin kencang yang menyapu ombak, ataukah dari sesuatu yang berada di kedalaman lautan.
Pada saat itulah Dewi Kadita merasa hidupnya telah sampai, dan ia hanya perlu menggenapkannya begitu tubuhnya dipeluk samudera, di senja itu. Teruslah berjalan ke arah tengah samudera, kau akan cantik kembali seperti sedia kala, tapi tempatmu bukan lagi di dunia ini.
Bisikan itu semakin jelas terdengar. Ketika kakinya melangkah semakin jauh, luka-luka di kulitnya seketika hilang dan ia menjelma wanita cantik seperti sedia kala, persis seperti yang dibisikkan suara-suara gaib itu kepadanya. Dewi Kadita bergembira, hilanglah sudah semua kesedihan di hatinya, seperti kulitnya yang mulus kembali.
Tapi kini, ia tiba-tiba menjadi sangat rindu pada ayahnya dan ingin kembali. Ayah, lihatlah sisik di tubuhku hilang, tidak ada lagi borok, bisul dan kudis. Aku telah sembuh, Ayah. Biarkan aku kembali padamu, Ayah.
Lalu tiba-tiba lautan bergejolak. Ombak besar mulai mengombangambingkan air laut di samudera yang maha luas itu, mengepungnya. Dewi Kadita mencoba melawan tapi sia-sia. Dengan derai airmata, ia membiarkan dirinya menjadi serupa buih yang berenang-renang bersama gelombang besar yang bergulung-gulung. Angin besar menderu-deru dan bertiup dengan kencang. Bumi terasa bergoncang untuk selama-lamanya, lalu setelah itu mereda, dan ia tidak meronta-ronta lagi.
***
Mari, kupondong kau ke istanaku. Di sana akan kau temui pemuda-pemuda yang menjadi balatentaraku, dan mereka akan mengabdi padaku untuk waktu yang tepermanai. Kau telah sampai di bibir pantai, dan dengan matamu yang teduh kau memandang ke laut lepas di hadapanmu. Kau terus melangkah hingga air laut memelukmu setinggi pinggang.
Apakah itu hijau yang kau kenakan?
Tiba-tiba berteriaklah kau dengan seluruh dayamu. Di sana tidak ada kemarahan, hanya ketegasan. Aku bersyukur kau telah menjalani lakumu dengan sempurna selama 40 hari 40 malam. “Wahai Nyi Roro Kidul! Betulkah Anda penguasa Laut Selatan?” 
“Tunjukkan wujudmu!”
Aku menjawab dengan ombak besar yang kukirimkan dan membasahi tubuhmu.
“Wahai Nyi Roro Kidul! Anda katanya suka menculik pemuda-pemuda? Apakah itu benar?”
Kau terus berjalan, sampai air laut kini telah setinggi dadamu. Kau mulai limbung karena bobot tubuhmu tak sebanding dengan tarikan samudera yang kuat.
“Apakah itu benar? Kalau benar, kembalikan sepupu saya! Kembalikan juga yang lainnya!”
“Cobalah muncul!”
“Cobalah muncul!”
“Saya ingin mengetahui yang sebenarnya! Saya inginkan kebenaran!”
Kukirimkan lagi ombak untukmu sebagai jawabannya. Kini semakin basah kuyup seluruh tubuhmu. Setelah itu kau mundur beberapa langkah agar tubuhmu tidak limbung, kau ingin berpijak dengan kuat di dasar laut. Namun, pada akhirnya emosi mulai hadir menguasai dirimu. Kecipak air laut yang asin membuat matamu merah dan kau marah.
“Nyi Roro Kidul! Aku menantangmu berduel! Muncullah sekarang juga!” Angin
menderu, ombak bergelung, semakin dan semakin besar. Kau justru terus melangkah, menapaki dasar laut yang semakin dan semakin dalam. Namun kau tidak tahu, ibumu datang bersama orang-orang. Ia berteriakteriak memanggil-manggilmu. Ia ingin berlari menarik tubuhmu, tapi yang lain memegang tangannya erat-erat agar tetap berada di bibir pantai.
 “Wirasanaaaa!” teriaknya penuh kesia-siaan. Air matanya makin deras bercucuran demi melihatmu timbul tenggelam di tengah ombak yang bersuara menggelegar.
“Dewata, mengapa kau timpakan kemalangan ini kepadaku?”
Beberapa orang mencoba memeluknya, merelakanmu. Namun kau tentu saja tidak mendengar semua itu. Bahkan pandanganmu mulai mengabur. Kau merasa akan mampu melawan hukum alam ketika gelombang yang membentur pantai akan kembali lagi ke laut, dan gelombang ini amat kuat. Ia menarikmu semakin jauh ke tengah laut. Tidak ada gunanya kau berenang sekuat tenaga melawannya.
Namun kau melakukannya juga sebab kau merasa itu caramu untuk melawanku. Tidakkah manusia sepertimu sadar kalau kalian tidak bisa melawanku?
Kalian terlalu lemah. Kau kini dipeluk erat oleh gelombang, yang mengajakmu menari-nari penuh gairah. Nyawamu dipermainkan gelombang itu. Ia lalu memberikanmu apa yang kau harapkan dari alam bawah sadarmu, sejak ibumu menceritakannya: kau melihat sebuah kereta kencana yang sungguh besar dan indah, terbang di atas lidah-lidah ombak, ditarik kuda-kuda putih nan gagah. Bahwa samar-samar kau merasa melihatku di sana, mengenakan pakaian berwarna hijau, dengan selendang menari-nari ditiup angin.
Kau terpesona. Matamu terbuka. Senyum tersungging di bibirmu. Kau tak meronta-ronta lagi. Angin besar menderu-deru dan bertiup dengan kencang. Bumi terasa bergoncang untuk selama-lamanya, lalu setelah itu mereda, dan ia tidak merontaronta lagi. Di pantai, telah tidak ada siapapun lagi. Ibumu telah pulang, membawa dukanya. Tidakkah kau sadar, bahwa ia dan semua orang kini akan semakin membenciku?

Sebuah cincin bermata kecubung tergeletak di atas pasir. Itu milikmu dan ibumu telah tanpa sengaja menjatuhkannya. Melalui cincin itu, kau pernah berjanji untuk kembali, namun kini siapapun boleh mengambil cincin itu, membiarkannya di sana atau membuangnya ke laut.