Senin, 14 Oktober 2013

Sebuah Konser dengan Subtitle



Sore-sore, 12 Oktober lalu, di pantai di Ancol terdengar lagu-lagu Jay Chou bahkan  hits lama Xin Yu dari Album Still Fantasy (2006). Suasana sudah sangat ramai, dan saya sedang menunggu teman untuk menemani menonton konser Opus 12 malam ini.  Diputer juga dari album terbaru Opus 12, Ming Ming Jiu, sekelompok fans tak jauh dari saya ikutan bernyanyi terutama saat refrain.  Saya tersenyum, sambil dalam hati ikutan nyanyi juga. Sudah tak sabar menunggu!!




Tapi konser baru dimulai 19.45, telat 45 menit dari jadwal seharusnya. Antrian mengular, saya dan teman berlari-lari sampai akhirnya bisa masuk ke dalam Mata Elang International Stadium(MEIS), yang berkapasitas entah berapa, tapi yang pasti banyak sekali dan kelihatannya terisi penuh!



Setelah menemukan kursi sesuai yang tertera di tiket, ternyata panitia menyiapkan light stick di setiap kursi, sehingga semua penonton mengangkat light stick berwarna merah itu sepanjang konser. Luar biasa keren kan? J

Sambil menunggu dimulainya konser, diputer iklan yang dibintangi Jay Chou yaitu untuk merek Kaspersky (anti virus), dan Tech Titan (USB). Rasanya dari sini bisa tertebak psikografis fans penyanyi asal Taiwan ini.



Ketika Jay Chou muncul di panggung, fans langsung berteriak-teriak histeris. Haha! He is here! Rasanya tak percaya juga, seperti dalam mimpi, apalagi konsernya berkonsep 4D, dengan 4 layar berukuran besar, tata panggung spektakuler dan futuristik, banyak laser, dan jika ada suara ledakan, tempat duduk juga bergetar.  Rasanya kayak dibawa ke luar angkasa.

Merinding juga melihatnya. DAMN!


Jay Chou membuka konser dengan lagu ber-beat cepat, kalau nggak salah judulnya Jing Tan Hao dan Long Quan.  Tapi saya paling familiar dengan lagu Xie Xie di segmen ini. Asyiknya di layar ada subtitle, jadi yang belum terlalu hapal lagunya bisa ikutan nyanyi! Hahaha! Genius!

Suasana makin memanas ketika Jay Chou membawakan lagu Dao Xiang.  Ingatkan fans Jay Chou sama lagu ini, yang video klipnya di sawah? :D




Saya menantikan Jay Chou membawakan salah satu lagi kesukaan saya, Wo Bu Pei. Di konser tahun 2010, yang bukan di Indonesia, Jay Chou bawakan lagu ini dengan efek autotunes, yang aransemennya digabung dengan lagu Mine-mine dari album The Era. Tapi Jay tidak membawakan lagu ini.

Sebagai gantinya, saya benar-benar kayak mau nangis ketika mendengar intro lagu Faraway! My Dream Comes True!




Di setiap konser untuk lagu ini, pasti ada bintang tamu, misalnya waktu tahun 2007, Jay nyanyi lagu yang juga berjudul Qian Li Zhi Wai ini bersama Fei Yu Qing.  Dan ternyata, Jay tampil dengan seorang bintang tamu yang muncul dari bawah panggung saat refrain lagu ini, lupa namanya siapa. She looks gorgeous dengan kecantikan asia yang natural….

Jay juga sempat berkomunikasi dengan penonton, yang intinya dia bilang kalau penduduk Indonesia ramah-ramah, dan juga bawain lagu soundtrack filmnya dari Initial D, Secret sampai The Green Hornet. Penonton terbius, terutama ketika Jay menampilkan kejeniusannya bermain piano.

Berikutnya adalah Jay menghidupkan kenangan semua fans akan lagu-lagunya, termasuk Jian Dan Ai yang energik, Cai Hong yang romantis, sampai Qi Li Xiang! Dan tentunya Ming Ming Jiu yang kelihatannya paling ditunggu!



Lalu semua penonton di MEIS sama-sama bernyanyi lagu itu. God, this is amazing!

Tidak ada Wo Bu Pei, tidak ada Fa Ru Xue, tidak ada Tui Hou! Tidak ada Dandellion Promise, The Longest Movie atau Where is the Promised Happiness, but still it’s a very surreal to be there at the moment. I was kind of speechless.

Jay Chou satu-satunya penyanyi yang membuat saya tertarik datang ke konsernya. Tidak ada selain dia!

Semua lagu-lagunya istimewa, meski saya rasa peak-nya Jay Chou kira-kira 3 tahun yang lalu. Tapi mengapa baru sekarang dia konser di Jakarta? Jay tidak adil! :p



Setelah selesai, saya masih membawa kesan itu. Selain kesan, dalam konsernya, dalam karya-karyanya, dalam prinsipnya, Jay selalu memiliki pesan. Pesan itu hanya bisa dipahami oleh orang-orang yang memiliki ‘sesuatu’ itu, bahwa kreatifitas manusia bisa tak terbatas.

Saya akan selalu mengingat pesan Jay Chou!












Minggu, 13 Oktober 2013

Pernikahan dan Bagaimana Kita Memperlakukan Kenangan-kenangan (A Wedding and How Do We Treat Memories)



Apa jadinya jika dalam sebuah pernikahan tidak ada kamera? Kenangan tidak diabadikan dalam foto-foto, tetapi dalam pikiran…

Setiap saat kita berada dalam sebuah perjalanan yang tak terelakkan, melewati banyak ruang dan waktu. Ada kejadian-kejadian yang membekas, begitu indah, sehingga kita ingin mengabadikannya dalam foto-foto, untuk kemudian kenangan-kenangan bisa dipanggil kembali melalui foto-foto itu.



Ruang dan waktu menjelma sebuah dimensi dalam ruang pikiran kita, tempat kita memanggil kenangan-kenangan itu. Ketika kita melihat foto-foto, kita berharap dibawa kembali ke sana, meski tak secara nyata, tapi pikiran menghidupkan kembali saat-saat indah itu. Barangkali termasuk visual, suara, dan aroma.

Pernikahan selalu kaya dengan visual, aroma dan suara.  Ada wajah-wajah yang berseri-seri, ada tamu-tamu yang datang dengan warna masing-masing. Ada gelak tawa, riuh rendah suara orang mengobrol, musik pengiring dan mungkin dari kejauhan kita bisa mendengar angin yang berdesau. Dalam pernikahan juga ada aroma. Makanan, wewangian, parfum.



Bagaimana kita bisa memerangkap sesuatu sekomplek itu dalam sebuah kata bernama ‘kenangan’?

Hidup adalah rangkaian kejadian-kejadian, momen-momen datang dan pergi tanpa sempat terelakkan. Sedetik yang lalu adalah kenangan pada jam digital yang terus berdetak.

Kenangan selalu menjadi milik masa lalu, ia seperti ‘ibu’ yang melahirkan momen-momen berikutnya sebagai anak-anaknya. Jika demikian, akankah sang ibu harus selalu berusaha mengingatkan anak-anaknya kalau mereka semua berasal darinya? 


Jumat, 11 Oktober 2013

Gravity dan Separuh Jalan




Saya membaca cerita pendek berjudul "Separuh Jalan" karya Ismet Fanani lebih dari sepuluh tahun yang lalu. Sampai sekarang saya masih teringat dengan jalan ceritanya yaitu tentang seorang pria Indonesia yang tinggal di Australia, dan terjerat dalam sebuah hubungan segitiga...

Pria Indonesia ini sudah beristri. Istrinya tinggal di Indonesia, dan ia mengajar di negara kanguru itu. Ada seorang wanita Australia yang kelihatannya berhasil menjerat hatinya, menempatkannya pada sebuah dilema. Ia mencintai istrinya yang tinggal di Padang, tetapi sang wanita bule itu berada dalam semesta yang berbeda, yang menawarkan padanya sesuatu yang menggodanya dalam hari-hari panjang, dalam kesepian-kesepian.

Pria itu menyetir di jalan-jalan Australia yang lengang, hampir kosong, senyap, menantikan saat-saat ia bertemu dengan wanita yang diam-diam menghuni hatinya. Di tempat asing, norma-norma yang memerangkapnya seperti yang terasakan di Indonesia, seolah terlepas. 

Apakah begitu kita meninggalkan tempat yang memeluk kita dengan suatu aturan dan pergi ke tempat lain, maka aturan tersebut akan melepas pelukannya?

"Separuh Jalan" adalah kisah tentang transformasi seorang pria menjadi apa yang mungkin bukan dirinya di suatu tempat yang memberi ruang untuk terjadinya perubahan itu. Tapi, ingat, ini masih separuh jalan. Dia belumlah pergi, belum menyeberang ke tempat yang baru, masih berada di tengah-tengah. Dia tahu, jika dia meneruskan perjalanannya, dia akan merampungkan perjalanannya, yang berada dalam ruang lain. Mungkin berisi ketidaktahuan atau kemungkinan-kemungkinan. 

Apakah kita bisa menjadi sesuatu yang bukan diri kita karena kita memang memilih untuk menjadi sama sekali orang yang berbeda, atau sebenarnya kita tetap sama, dan seseorang yang berbeda itu hanya menunggu untuk muncul?

Jika kita tidak tahu kemana kita akan pergi, mungkin kita akan selama-lamanya berada dalam keadaan separuh jalan. 



Dalam Gravity, Sandra Bullock berada dalam keadaan separuh jalan itu. Hidup di bumi tidak lagi meninggalkan apapun yang berharga untuknya. Anaknya meninggal dalam kecelakaan konyol. Dia rela mati di ruang angkasa, dalam senyap, bahkan lalu memeluk kesepian-kesepian itu. 

Dalam banyak keadaan, kesepian melahirkan kerapuhan, dan Bullock menampilkan dengan sempurna kerapuhan tersebut. Ia pergi untuk suatu tujuan yang tidak diungkap, selain karena ia adalah seorang astronot. Seorang astronot yan separuh jalan dalam perjalanan kembali ke bumi. 

Lalu, kita mendengar kalau hidup adalah perjalanan, dan karena perjalanan adalah suatu titik tengah, maka dengan sendirinya, hidup adalah selalu sebuah separuh jalan. 

Kita semua separuh jalan. Saat lahir kita meninggalkan garis start, dan sekarang kita terus berjalan. 

Namun, tidak semua orang ingin terus berjalan. Bullock salah satunya. Ia melihat puing-puing luar angkasa, meluluhlantakkan pesawat angkasanya, melahirkan kesulitan demi kesulitan. 

Apakah berdoa kepada Tuhan akan lebih cepat didengar ketika kita berada di sana. Sandra Bullock dalam halusinasi, memikirkan apakah ia akan meneruskan perjalanan, atau tinggal. Ia berada di tengah-tengah.







Selasa, 01 Oktober 2013

"Harapan" Adalah Bedanya



Bayangkan, anda adalah seorang ibu. Anda seorang single mother, tinggal di masa menjelang setelah perang dunia pertama, namun sebelum perang dunia kedua. Orang bilang itu adalah masa-masa depresi,  dimana segala hal terpuruk. 

Lalu, anak anda hilang. 

Angelina Jolie memerankan Christine Collins, yang harus kehilangan anaknya, Walter. Di sepanjang film, ia hampir putus asa mencari-cari anaknya, meminta bantuan dari polisi yang ternyata korup, dan tidak bersih. 

Sampai suatu ketika, polisi menemukan seorang anak yang ciri-ciri fisiknya sama dengan Walter. Jolie dipertemukan dengan anak itu di stasiun kereta namun anak itu bukan anaknya. Polisi dan pihak-pihak yang tidak ingin kehilangan muka, ‘memaksa’ Jolie untuk menerima anak itu sebagai anaknya yang hilang, menafikan kenyataan kalau anak itu lebih pendek, dan disunat.



Dia bukan Walter Collins, meski sang anak memanggilnya ibu.

Jolie bersikeras agar polisi jangan membuang-buang waktu dan harus terus mencari anaknya yang masih hilang, sampai akhirnya polisi jahat memasukkannya ke rumah sakit jiwa!

Akhirnya pertolongan itu datang juga, tepat sebelum Jolie diestrum, yang pada masa itu merupakan bagian yang wajar untuk pengobatan di rumah sakit jiwa. Sang penolong adalah seorang pastur yang diperankan John Malkovich.

Akhirnya tercapai titik terang. Kenyataan yang ternyata menyakitkan. Ada pembunuh berantai yang kejam, dan pengakuan yang tidak bisa diterima akal sehat.

Sang penjahat yang sebenarnya dihukum gantung, tubuhnya bergeletar hebat saat meregang nyawa. Dan ia habislah sudah.

Lalu bagaimana dengan Walter? Dimana ia berada?

Untuk selanjutnya, Jolie menemukan kejadian-kejadian lain. Walter tetap belum ditemukan sampai akhir film.

Tapi ada satu hal yang berbeda sekarang.

Ia kini memiliki harapan.

Harapan adalah yang membedakannya, kini.