Sabtu, 06 Juni 2015

Unwind: Singapore Edition

Singapore is only 1 hour flight from Malaysia, and the city-state is always fascinating. So, on a saturday afternoon, when i don't know what to do in KL, i decide to visit Singapore by bus, and will be return at the next day. 

This is what i found in less than 24 hours in Singapore.


This is the bridge connecting Malaysia (Johor) and Singapore. Compare to the bridge connecting Penang island with the peninsula, this bridge is shorter.



Either the cruise and the cable car will bring passengers to Sentosa Island.




After 6-9 hours (depends on the shuttle you took), you will be arrive in Singapore, and Arab Street is one of the nice spots there.


There are a lot of unique shops like this in Haji Lane at Arab Street.


Singaporean sells ice cream to help Nepal at Haji Lane.


More shops at Haji Lane. The atmosphere here remind me to Yogyakarta in Indonesia.


It's very nice to find a kampong in a busy-modern state like Singapore!


People can buy souvenirs, get a massage or enjoy some nice foods!



However, i don't recommend you to get a massage in Singapore. It's very expensive and i am not sure whether the massage service is good. 


This is the famous Clarke Quay. We can see that Singapore is extremely clean, organised and have high quality of clean air.


This is Bugis Junction, one of famous spots for backpackers where you can find so many cheap accommodations. 



This is my 4th time to visit Singapore. On my previous visit, i found Another Face of Singapore, fascinated by Gardens by the Bay, and enjoyed the quietness of Serangon Road.


Kelewat Bangga

Mantan bos gue punya hobby yang lumayan ajaib untuk orang-orang yang kerja di dunia digital: bawa koran pagi ke kantor, dan ngebahas headline-nya sama gue. Koran ini bisa didapat gratis dari resepsionis gedung kantor gue dan suatu hari dia membawa koran Malaysia yang cover-nya PM Najib Razak yang lalu dia tunjukkin ke gue. Gue refleks nyeletuk: “He is Indonesian!”

Gue nggak sadar kalau gue udah setengah teriak waktu bilang begitu. Dia malah nanya balik, “Ok, so you want to take him back?”. Gue ngakak. Mana bisa? Lagian waktu itu orang Indonesia lagi demen banget sama Jokowi, meski kemudian pada Pilpres 2014, Jokowi ternyata kalah telak di Malaysia. :p

Tapi gue bukan mau ngomongin politik di sini, melainkan kebanggaan gue yang kadang-kadang berlebihan sama Indonesia, yang menurut teman-teman kantor gue rada konyol. Contohnya sejak awal gue kerja di perusahaan ini sampai hampir dua tahun kemudian, gue masih tetap ngebangga-banggain Indonesia, dengan agak membabi buta.

Jadi kalau misalnya ada teman yang ngomongin makanan, gue akan langsung nyeletuk, “negara gue juga punya kok yang kayak gitu.” Sampai suatu hari teman gue bawa oleh-oleh snack dari Thailand, gue bilang kalau “this food is like Indonesia’s Rengginang, but ours are way bigger!”

Belakangan, gue menemukan banyak banget tokoh-tokoh terkenal Malaysia yang memiliki darah Indonesia, contohnya adalah PM Najib yang adalah keturunan Bugis itu. Tentu saja ini juga bikin gue makin bangga sebagai orang Indonesia yang kebetulan sedang tinggal di Malaysia. 

Indonesia nggak cuma TKI-TKW yang harus mengerjakan pekerjaan 3D (Dirty, Dangerous, Demeaning) tapi juga mereka yang sudah membangun Malaysia, mengharumkan nama Malaysia,  memegang jabatan-jabatan penting di negara ini, dan bahkan yang jiwa raganya “sudah” Malaysia. 

Sejak jaman dulu orang-orang Indonesia memang sudah melanglang buana, bahkan katanya sampai ke Madagaskar, apalagi ‘cuma’ ke Malaysia yang jaraknya sekayuhan perahu aja dari negara kita. 

Orang-orang dari Bugis, Jawa, Banjar sampai Aceh bahkan sudah menyebar sampai ke Malaysia sejak berabad-abad yang lalu dengan sebab atau pemicu yang berbeda-beda. 

Orang Bugis yang terkenal sebagai pelaut ulung sudah sejak abad 17 menyebar sampai ke Jawa, Kalimantan, Riau dan Selangor, Semenanjung Malaysia. Mereka memiliki pengetahuan yang cukup maju di jamannya, yang mencakup tidak hanya tentang navigasi kelautan tapi juga persenjataan modern, dan bergerak sebagai sebuah masyarakat sosial yang utuh, lengkap dengan garis kepemimpinan yang jelas. Mereka dengan luar biasa membawa unit terkecil pemerintahan ketika mereka menyebar dan masing-masing unit ini merupakan bagian dari unit kebudayaan Bugis yang lebih besar dimana mereka akan saling membantu.

Lain halnya dengan arus migrasi orang Aceh ke Malaysia. Dimulai sejak berabad-abad sebelumnya untuk misi perdagangan dan penaklukkan, hijrahnya orang Aceh ke Malaysia mencapai puncaknya pada tahun 1888-1915.  Saat itu, orang-orang Aceh yang dipimpin kaum ulama harus hijrah dengan alasan mengumpulkan uang untuk membiayai perang melawan Belanda. Kini, keturunan mereka masih tinggal di suatu area yang dikenal sebagai Kampung Aceh, yang terletak di Yan, Negara Bagian Kedah. 

Karena penasaran (dan emang pengen jalan-jalan), suatu hari gue benar-benar memberanikan diri berkunjung ke Kampung Aceh. Agak nekad sih, karena gue harus naik bis dari KL, dengan lama perjalanan 7 jam, dan harus ganti bis dua kali, untuk sampai ke terminal kecil di pelosok Kedah. 

Dari terminal, gue lanjutin dengan berjalan kaki dan janjian untuk ketemu dengan Cikgu Ilias, seorang sesepuh warga keturunan Aceh di Kampung Aceh. Sore itu matahari bersinar sangat cerah sehingga gue bisa melihat Gunung Jerai berdiri gagah di kejauhan. Gunung inilah yang juga jadi patokan ketika berabad-abad yang lalu orang-orang Aceh meninggalkan Tanah Rencong dan mendarat di Malaysia. 

Cikgu Ilias Nyak Saad adalah seorang pria separuh baya yang ramah banget. Dia masih fasih berbahasa Aceh dan menggunakannya lebih banyak dari Bahasa Melayu. Demikian juga orang-orang Aceh di sini, semuanya berbahasa Aceh, dan bukan Bahasa Melayu seperti orang-orang Malaysia pada umumnya. 

Gue ngobrol banyak sama Cikgu Ilias, sampai akhirnya gue tahu kalau banyak tokoh keturunan Aceh yang jadi orang besar di Malaysia, salah satunya adalah Tan Sri Dato’ Sri Sanusi Junid, Menteri Pertanian dan Menteri Pembangunan Negara dan Luar Bandar  pada masa pemerintahan PM Mahathir Mohamad.  Bahkan seniman besar P Ramlee, ternyata adalah keturunan Aceh. Leluhur P. Ramlee ikut hijrah untuk menghindari Belanda, tapi waktu itu leluhurnya tidak mendarat di Kedah, melainkan di Penang. 

Obrolan berjalan sangat seru, sampai-sampai gue memutuskan untuk menginap semalam di homestay yang dikelola Cikgu. Gue menyaksikan denyut kehidupan di sini pastilah sangat mirip dengan di Aceh sana. Rumah-rumahnya dibangun dengan gaya tradisional Aceh, dan kita akan melihat anak-anak kecil belajar di Sekolah Agama Islam yang disini disebut sebagai Maktab Mahmud.

Sekembalinya gue dari kunjungan singkat itu, gue makin penasaran. Siapa aja ya Diaspora Indonesia di Malaysia? 

Sampai akhirnya gue menemukan buku berjudul “Found in Malaysia”. Buku ini berisi kumpulan wawancara dengan 50 tokoh terkenal Malaysia yang sama-sama membicarakan hal yang selalu sensitif di Malaysia: isu pendatang. Dikemas dalam format Q and A, pertanyaan-pertanyaan untuk semua narasumbernya hampir sama, termasuk pertanyaan ini: “Can you trace your ancestry?”

Karena gue pengen tahu berapa banyak orang Malaysia di buku itu yang leluhurnya orang Indonesia, gue lipet halaman yang menyinggung “Indonesia”, sampai akhirnya begitu selesai gue baca buku ini, gue melihat hampir semua halaman di buku itu ada lipatannya!

Ternyata penyanyi legendaris Sheila Madjid punya darah Indonesia dari pihak ayah dan ibunya. Ayahnya orang Jawa, ibunya punya darah Batak Mandailing.

Menteri Dalam Negeri Malaysia, Ahmad Zahid Hamidi, juga punya darah Jawa, dan kalau ngomong Jawa, masih kedengaran medok.

Dewi Liana Seriestha, Miss Malaysia 2014, separuh Indonesia. Ayahnya, Yudi Seriestha, asal Bandung.

Chef Wan, punya darah Jawa. 

Farish Noor, akademisi terkenal Malaysia, juga punya darah Jawa.

Hussamuddin Yaacub, pengusaha media, memiliki darah Minangkabau. 

Tan Sri Dr. Rais Yatim, politisi senior Malaysia, juga punya darah Minang. 

Tun Haji Abdul Razak bin Dato' Haji Hussein, yang dikenal sebagai Bapak Pembangunan Malaysia, memiliki darah bangsawan Bugis.

Orang-orang asal Indonesia atau berdarah Indonesia dan keturunannya di Malaysia memang ada yang jadi politisi, pengusaha, menteri, bahkan perdana menteri dan wakil perdana menterinya. Ada juga yang jadi atlet, seniman, dosen, peneliti, pelukis, ulama, sastrawan, dan sebagainya. Bahkan jabatan penting seperti Menteri Besar (setara dengan “gubernur”) dijabat oleh orang-orang berdarah Indonesia. 

Kebayang kan, betapa eksisnya Diaspora Indonesia di Malaysia? Mereka tidak cuma yang berangkat kemarin sore untuk mencari sekeping Ringgit sebagai buruh migran atau ekspatriat, tapi juga para bangsawan, ulama, pelaut, atau pedagang sejak berabad-abad yang lampau. Mereka sudah ikut andil menciptakan wajah Malaysia sampai menjadi seperti yang kita kenal sekarang ini. 

Oleh karena itulah gue nggak heran lagi waktu tahu kalau ada teman kantor gue punya darah Indonesia. Dia mix Jawa dan Thailand. Mantan Menteri Besar Selangor, negara bagian yang gue tinggalin, leluhurnya asal Jawa. Kampung di belakang apartemen gue, dihuni oleh banyak orang Madura. Bahkan  gue yakin, hampir di seluruh bagian Malaysia ini pasti ada hal-hal yang bisa dikaitkan dengan Indonesia.

Ah. Gue bersyukur. Rupanya keputusan gue untuk bekerja di Malaysia bukan keputusan yang gegabah dan nggak ada maknanya. At least, sekarang gue jadi lebih tahu kapasitas negara gue. 

Akhirnya, gue jadi mikir, apa jadinya ya Malaysia ini tanpa orang-orang dari Indonesia? 



10 Amazing Movies You Can Watch On Youtube

Forget Torrent when you can watch amazing-breathtaking movies on Youtube! Some are protected by the copyrights thingy, but these 10 movies are free to watch! 

1. Crash (2005)

This is my all time favourite movie! The story revolves around racism and challenges people to confront their prejudice.

There were many moments in this movie when i felt my heart breaking, as if someone really hurt me. Yes, this is the kind of movie that will punch you in the heart!




2. The Curious Case of Benjamin Button (2008)

This is adaption of F. Scott Fitzgerald short story, an epic fantasy tale about Benjamin Button who was born old, and proceeds to live his life ageing in reverse!

I am a fans of David Fincher, who directed this movie, and also Alexandre Desplat who wrote the score. It's a deadly combination to make me carried away.





3. The English Patient (1996)

I was so delighted to find this movie. I love the chemistry between two main character, and also Juliet Binoche's performance.  But, one thing that killed me the most from this movie is the cinematography!



4. The Reader (2008)

I always love holocaust movie, but this movie is not the one with a lot of scenes at the concentration camp where the NAZI make soap out of human body. Instead, it's about a young boy who found himself in a special relationship with a lady twice his age. The lady, played brilliantly by Kate Winslet, is a guard of a NAZI concentration camp and face war crimes trial.



5. Schindler's List (1993)

This is one of Steven Spielberg's masterpiece. I believe he directed this movie with full of emotions more than any other movie. Most of the movie are too grim and ruthless, but that was war all about. Everyone's favourite part is the scene of a little girl on red coat, the only colour in the black-and-white film. She walked aimlessly in the middle of inhumane calamities, protected by unseen angel.



6. Girl, Interrupted (1999)

Winona Ryder played as suicidal mental illness patient, and met Angeline Jolie, who is a sociopath, and became a bad influence. I had a crush on Winona Ryder in the 1990s and i always hope she can bring Oscar home one day, but it's Jolie who won Oscar as Best Supporting Actress for her 'disruptive' performance in this movie.




7. American History X (1998)

This is an example of a very good movie, but so underrated! One of my favourite actor, Edward Norton have done his best in this movie, where he played a man who tried to prevent his brother to join neo-NAZI movement. I remember the last line of this movie: "hate is baggage. Life's too short to be pissed of all the time. It's just not worth it."



8. Shakespeare in Love (1998)

Do you want to know life of William Shakespeare while he was writing "Romeo and Juliet"? Watch this movie. I loved the approach they took, a romantic comedy with weight. Unlike many of her movies, Gwyneth Paltrow doesn't look awkward in this movie, instead she won Oscar!




9. The Bling Ring (2013)

I love this movie since the first scene to the last scene when Emma Watson didn't give a f*ck! It's based on a weird true account about Hollywood thieves, they are fabulous and rich kids actually. But they're breaking and entering into some famous's home including Paris Hilton and Lindsay Lohan, steal some expensive bags, jewellery, and act cool. Nothing to regret, it's part of life.




10. A Beautiful Mind (2001)

I always love story about clever human, genius, inventor, etc. A Beautiful Mind is a story about mathematician John Forbes Nash, Jr who suffered from schizofrenia, from his early days to the moment when he won Nobel Prize.

There is a nice twist in the movie, but it's not all about it. Russel Crowe and Jennifer Connely acted really well in this movie, a believable performance. The score was great, and everything else was perfect.





Jumat, 01 Mei 2015

Mencari Wajah Utuh Buruh Migran Indonesia

Di mygoodmaid.com.my, seseorang di Malaysia bisa memilih pembantu rumah tangga seperti sedang berbelanja di toko online.  Ada empat kolom di halaman muka website itu yang bisa digunakan calon majikan untuk menemukan pembantu rumah tangga yang sesuai dengan keinginannya. Kolom tersebut adalah nationality, gender, religion dan marital status.  Setelah itu, mereka tinggal klik ‘search’, lalu akan muncul foto-foto calon pembantu rumah tangga yang tersedia saat itu untuk mereka pilih dan pekerjakan di rumah mereka.

Jika kita mengklik “Indonesia”, “Female”, “Muslim”, dan “Married”, besar kemungkinan kita akan melihat ini: maid list dimana para TKW asal Indonesia tersebut berfoto dengan latar belakang kain berwarna merah, memakai kaus putih berkerah biru dan bercelemek hijau. Mereka kelihatan awkward dengan ekspresi wajah yang kaku, dan kedua tangan diletakkan sedikit di atas perut.


Diberi kode "ERS 0154" di www.mygoodmaid.com.my, perempuan Indonesia ini bernama Nurhasanah,  berusia 34 tahun dan berasal dari Karawang.

Sampai tahap ini, calon majikan belum tahu nama mereka, sebab hanya kode tertentu yang tertera di bawah foto masing-masing calon PRT disertai asal negara, agama dan status. Jadi kita akan melihat entah siapa yang diberi kode ERS 0154, ERS 0172, ERS 0183, dan sebagainya. Nama dan detail lainnya baru akan ditampilkan jika kita mengklik foto mereka. 

Setelah menemukan yang cocok, calon majikan bisa menghubungi maid agency tersebut, untuk kemudian membayar sejumlah biaya termasuk agency fee. Besarnya bisa mencapai MYR 16000 (sekitar Rp 57 juta), termasuk untuk membuat working permit. Lalu setelah semua proses selesai, pembantu terpilih akan diantarkan ke rumah majikan tersebut, dan bisa mulai bekerja.

Namun pada prakteknya, menjadi seorang pembantu rumah tangga bisa menjadi sebuah proses hidup yang panjang, berliku, bahkan menyakitkan. Tak jarang, banyak orang Indonesia yang rela menjadi “orang kosong”, istilah untuk mereka yang bekerja kasar di Malaysia tanpa mengantongi working permit, alias hanya berbekal visa turis, dengan masa berlaku hanya 30 hari. Mereka dapat ditemukan sedang berkumpul di KLCC (Kuala Lumpur City Centre) Park pada Minggu sore yang sering kali hujan, terutama di musim pancaroba seperti sekarang ini. Di sana mereka akan berbagi cerita mengenai benang kusut kehidupan masing-masing dan bagaimana mereka berusaha sekuat tenaga menyikapinya.

Meski sering dituduh sebagai kaum dengan bargaining position yang lemah, tinggal jauh dari keluarga tidak hanya membuat perempuan-perempuan itu menjadi tough, tapi juga kreatif. Mereka misalnya akan lebih memilih bekerja freelance daripada menetap di rumah majikan tanpa bisa melakukan apa-apa lagi. "Freelance" adalah istilah mereka untuk bekerja di lebih dari satu tempat dengan masing-masing waktu bekerja yang pendek. Misalnya di rumah Mr. A selama 4 jam, dan di rumah Encik B untuk 4 jam lainnya, pada hari yang sama. Dengan cara ini, mereka yakin bisa mengirim Rupiah lebih banyak untuk sang anak yang sedang menunggak uang sekolah atau suami yang ingin mencicil sepeda motor di kampung.



Inilah tempat tinggal buruh migran, termasuk dari Indonesia yang didominasi pekerja pabrik di Relau, Penang, Malaysia. Banyaknya pabrik yang berlokasi di Penang menjadi incaran TKI/TKW yang ingin bekerja pada sektor formal. Foto: Dok. Pribadi.


Di Malaysia, selain bekerja sebagai pembantu rumah tangga, buruh migran Indonesia juga banyak bekerja sebagai kuli bangunan, menjadi pelayan restoran, bekerja di pabrik, dan lain-lainnya yang dikategorikan sebagai pekerjaan 3D. Ini bukan singkatan untuk 3 Dimensi, tapi Dirty, Dangerous, dan Demeaning. Hal ini membuat mereka terancam resiko ganda, tidak hanya di tempat mereka tinggal, tapi juga di tempat kerjanya.

Tak ada habis-habisnya kita mendengar bermacam-macam derita yang yang dialami buruh migran Indonesia. Banyak kasus terjadi seperti penipuan, ancaman disertai kekerasan fisik dan psikologis, penganiayaan, pemerkosaan, terjebak dalam lingkaran prostitusi, bahkan sampai pada pelanggaran HAM yang lebih berat. Di sisi lain, masyarakat dan negara menganggap buruh migran adalah pahlawan devisa, namun tanpa adanya pelayanan menyeluruh demi kehormatan dan martabat mereka. Ini membuat penghargaan tersebut terasa semu.

Studi tentang buruh migran juga dirasa kurang, padahal studi yang layak barangkali bisa mencegah persoalan buruh migran dijadikan komoditas politik musiman, dan memperbaiki paradigma berpikir untuk menyelesaikan isu-isu yang terjadi. Namun, persoalan buruh migran memang kompleks, sehingga upaya untuk memahaminya seperti mengurai benang kusut. Disinilah dibutuhkan gagasan-gagasan kemanusiaan untuk mengembalikan mereka sebagai manusia, apalagi mereka adalah manusia-manusia yang dikelilingi oleh ancaman-ancaman, baik buruh migran yang legal maupun yang "kosong".

"Orang kosong" harus menyiapkan mental lebih untuk menghadapi ancaman-ancaman tersebut. Bagi mereka, gaji yang tidak dibayar bukan satu-satunya yang melahirkan penderitaan, tapi juga ancaman deportasi. Di Malaysia, Rela (ekuivalen dengan Satpol PP di Indonesia), akan mendapat upah RM 80 jika berhasil menangkap seorang tenaga kerja asing ilegal, dan melaporkannya pada Polis Diraja Malaysia. Aparat hukum di Malaysia sendiri, terkenal gencar menangkapi para pekerja yang melanggar aturan keimigrasian, dengan antara lain melakukan razia, terutama di daerah yang dihuni banyak pekerja asing. Namun, banyak kasus terjadi, "orang kosong" diperas oleh oknum-oknum, membuat ‘korban’ harus membayar mahal demi ketenangan hidup mereka di negara ini.


Chowkit di pusat Kuala Lumpur ini dikenal sebagai Javanese Town, karena banyaknya orang Indonesia asal Jawa yang bekerja dan tinggal di daerah ini. Di kawasan ini banyak ditemukan restoran Indonesia, toko emas, sampai agen pengiriman uang. Foto: Dok. Pribadi.


Selain oleh kehadiran para Pendatang Asing Tanpa Izin (PATI) ini, citra buruh migran Indonesia juga kerap tercoreng oleh para kriminal. Mereka yang memang penjahat, sering menyamar sebagai buruh migran, tapi di Malaysia mereka berkomplot, menyewa informan, dan setelah melakukan kejahatan, lalu segera kembali ke Indonesia. Begitu mudahnya orang Indonesia bisa menyeberang ke Malaysia, dan membuat tidak semua pendatang ini bisa dideteksi. Para penjahat kerap memanfaatkan hal ini. Mereka juga tahu, tidak harus dengan pesawat terbang mereka bisa datang ke Malaysia, tapi bisa juga dengan perahu sederhana, yang sebenarnya beresiko tinggi. Warga Indonesia di pesisir pantai yang berbatasan dengan Malaysia kerap menemukan lembaran Ringgit yang terhanyut, yang diduga berasal dari perahu yang terbalik entah di suatu tempat. Perahu tenggelam yang memakan korban jiwa juga bukan berita baru.

Kecuali mengancam keselamatan, buruh migran Indonesia juga terancam tidak lagi menjadi dirinya sendiri setelah tinggal dan bekerja di negara lain. Di Malaysia, hal ini terjadi ketika banyak buruh migran yang beralih menjadi penutur Bahasa Melayu dan harus merelakan Bahasa Indonesia mereka perlahan pupus, baik secara kosa kata, maupun secara aksen. Lalu ketika mereka kembali ke Indonesia, yang terdengar adalah aksen Melayu lengkap dengan kosa kata Bahasa Melayu, menciptakan kebingungan di tengah-tengah keluarga dan teman-teman yang mengenal mereka sebagai orang Jawa, orang Sunda, orang Madura, orang Lombok, dan orang Indonesia. Bagian penting dari identitas mereka kini telah terkikis, baik disengaja atau tidak.


Emmy,  sudah lebih dari dua tahun bekerja di Malaysia. Karena menyesuaikan diri dengan lingkungan pekerjaannya yang menggunakan Bahasa Melayu, aksen Jawanya telah terkikis. Bertemu dengannya, kita akan berbicara dengan "seorang Melayu". Foto: Dok. Pribadi.

Buruh migran Indonesia adalah sekumpulan manusia dengan karakter, nasib maupun ambisi yang berbeda-beda. Namun di Malaysia, semuanya kerap kali dengan sempit diidentifikasi sebagai “Indon”. Mereka bisa bertahun-tahun lamanya tinggal di negara yang bukan tanah air mereka, beranak pinak, dan melahirkan keturunan-keturunan yang karena alasan kepraktisan, lebih memilih paspor merah, dibandingkan paspor berlambang burung garuda. Mereka tidak pernah ambil pusing atau tersinggung jika dipanggil "Indon", sebab tidak ada ruang untuk marah atau sensitif. Jika di Indonesia, mereka bisa cenderung lebih santai, di Malaysia, mereka menjelma pribadi yang tekun, bersemangat, dan menyimpan ambisi yang tak jarang melahirkan keberhasilan dan kemakmuran. 


Jumawi, asal Madura. Ia tidak ingat persis berapa usianya, tapi datang pertama kali ke Malaysia pada tahun 1982. Kini, ia bekerja sebagai buruh bangunan untuk proyek pembangunan sebuah hotel di KL. Foto: Dok. Pribadi.

Di titik ini muncul pertanyaan, kapankah mereka kembali, dan apakah yang membuat seorang buruh migran mau kembali ke tanah air? Kapankah mereka pulang? Atau apakah "pulang" bermakna berbeda bagi mereka? 


Robertus Robet, Dosen Sosiologi Universitas Negeri Jakarta, dalam pengantarnya untuk novel "Pulang" karya Leila S. Chudori menyebut apa yang dikatakan Ernst Bloch dalam "The Principle of Hope". Katanya, ada dua jenis "pulang": pulang sebagai "a return", dan sebagai "exodus". Kita bisa sedikit menghela nafas lega jika bagi mereka pulang ke Indonesia adalah sebuah "a return", dan bukan "an exodus", sebab artinya mereka masih menganggap Indonesia sebagai sebuah rumah, sebuah negara yang menjadi tujuan dan bertemunya harapan-harapan, dan bukan sebaliknya: Malaysia adalah "rumah" dimana mereka menemukan harapan-harapan itu.

Jadi, wajah buruh migran seperti apakah yang kita kenal selama ini? Seorang pejuang? Seorang yang melanggar hukum? Seorang yang mengalami krisis identitas? Seorang pekerja keras yang terdorong oleh keadaan? Seorang yang ingin menemukan kesempatan-kesempatan baru? Seorang dengan posisi tawar lemah? 

Pertanyaan ini tak mudah kita jawab, sebab masih banyak wajah-wajah lainnya yang tersembunyi dalam beragam ekspresi mereka. Namun yang pasti, mereka adalah ayah, ibu dan anak dari seseorang di Indonesia. Ayah, ibu dan anak yang niscaya selalu harap-harap cemas menunggu kabar tentang mereka dari negeri seberang.