Rabu, 28 Desember 2011

Asian Gastrodiplomacy: To Taste Us is To Love Us!




Di beberapa negara di Asia, kesadaran akan pentingnya Gastrodiplomacy sebagai elemen penting destination branding telah muncul sejak satu dasawarsa yang lalu. Negara seperti Thailand, Korea, Singapura dan Taiwan sudah memiliki program yang khusus dibuat untuk memperkenalkan kekutan kulinernya kepada dunia.








Pearl Milk Tea adalah minuman yang sangat terkenal di kalangan remaja di Amerika Serikat. Minuman ini juga dikenal sebagai ‘boba’ atau bubble tea. Boba mudah ditemui di mal manapun di negara tersebut bahkan menjadi bagian dari budaya pop. Seorang penulis graphic novel berjudul “American Born Chinese” bahkan memasukkan adegan dua remaja menikmati boba di dalam karyanya.


Namun, meski sangat terkenal, tidak banyak yang tahu bahwa boba berasal dari sebuah negara Asia, tepatnya Taiwan. “The sad reality is that most American teenagers are very familiar with bubble tea from their ubiquity at shopping malls than the country that invented the balls of gooey fun,” kata Paul Rockower, seorang gastronomist. Menurut Rockower, mengkaitkan boba dengan Taiwan adalah salah satu dari pekerjaan rumah yang harus dibereskan Taiwan sebagai bagian dari strategi gastrodiplomacy yang sedang dilakukan negara tersebut.


Taiwan, menurut Rockower memang sedang gencar mempromosikan kekuatan kulinernya. “Sampai dengan tahun 2013, negara tersebut menginvestasikan dana senilai 34,2 juta dollar AS sebagai anggaran diplomasi kuliner,” kata Rockower pada sebuah situs. Diplomasi kuliner Taiwan, kata Rockower, termasuk penyelenggaraan festival gourmet internasional di Taiwan, dan mengirim chef mereka ke berbagai kompetisi kuliner internasional. “Selain itu, Taiwan akan memperkenalkan restorannya ke seluruh dunia, mendirikan restoran tersebut di mal dan sampling di beberapa bandara internasional,” jelas Rockower.



Rockower sangat yakin Taiwan memiliki potensi sebagai surga makanan lezat dunia. “Makanan Taiwan memiliki karakter rasa yang unik karena berakar dari China, dan dipengaruhi cita rasa dari Jepang—yang pernah menduduki Taiwan, selain berasal dari elemen Hakka dan unsur pribumi lain,” jelas Rockower. Salah satu makanan eksotik dari Taiwan, menurut Rockower adalah stinky tofu.

Menurut Rockower, Taiwan sangat serius mempromosikan kekuatan kulinernya, sehingga negara tersebut mendirikan yayasan khusus untuk mendukung makanan Taiwan. “Yayasan tersebut didirikan untuk mendukung restoran dan coffe shop yang mempromosikan makanan Taiwan di luar negeri,” katanya. Salah satu coffee shop yang terkenal dari Taiwan adalah Coffe Store 85C, yang membuat pelanggan AS mengantri untuk minuman berjenis iced-sea salt latte.



Selain Taiwan, menurut Rockower, salah satu negara asia yang sangat serius mempromosikan kekuatan kulinernya adalah Thailand. “Gastrodiplomacy was a technique perfected by Thailand, which first used its kitchens and restaurants as outposts of cultural diplomacy,” jelas Rockower. Rockower mencatat restoran Thailand adalah salah satu restoran dengan pertumbuhan popularitas tercepat di dunia. “Semua itu terjadi karena sejak tahun 2001, pemerintah Thailand meluncurkan “Global Thai Program” yang bertujuan untuk meningkatkan jumlah restoran Thailand di seluruh dunia,” katanya.



Menurut Rockower, pemerintah Thailand sangat yakin bahwa kekuatan kuliner negara tersebut harus ditunjang dengan banyaknya restoran Thailand. “Banyaknya jumlah restoran Thailand tidak hanya untuk memperkenalkan makanan Thailand yang pedas nikmat kepada konsumen baru dan mengundang banyak turis berkunjung ke Thailand, tapi juga memperdalam hubungan Thailand dengan negara-negara lain,” kata Rockower mengutip otoritas pemerintah Thailand yang dimuat di The Economist.






Sementara itu, agresifitas Singapura untuk mempromosikan diri sebagai ibu kota kuliner dunia ditunjukkan dengan pembentukan SPICE atau Singapore International Culinary Exchange. “Spice bertujuan untuk memperkenalkan 15 makanan singapura kepada 9 kota di seluruh dunia, disertai dengan 9 chef, dalam perjalanan selama satu tahun penuh,” kata Rockower. Spice, jelas Rockower mengunjungi London, Paris, Moskow, New York, Hong Kong, Shanghai, New Delhi, Dubai dan Sydney, dengan misi untuk mempromosikan positioning negara tersebut sebagai pusat kuliner yang paling inovatif. “Di tiap kota tersebut, chef dari Singapura bekerja sama dengan chef lokal dalam 3 hari event,” kata Rockower.

Menariknya, roadshow untuk memperkenalkan makanan khas negara pulau tersebut memanfaatkan mobile pop up kitchen, yang bisa dibawa kemana-mana, yang disebut sebagai Singapore Take Out. Pada September lalu, Singapore Take Out mengunjungi New York. Sebagaimana diberitakan Channelnewsasia.com, beragam makanan diperkenalkan kepada warga The Big Apple termasuk laksa, short ribs, pork buns dan buah keluak.


Malcolm Lee, chef Singapura dengan spesialisasi masakan peranakan dalam roadshow tersebut bekerja sama dengan chef terkenal di New York. Beberapa diantara chef terkenal tersebut adalah Anthony Ricco, Dominique Ansel dan chef terkenal, Ed Cotton, yang terinspirasi untuk menciptakan resep baru dari masakan-masakan khas Singapura. “Saya akan membuat rivoli dari chilli crab dan mie yang dikenal sebagai char kway teow,” kata Cotton.


Sementara itu, CEO Singapore Toursm Board, Aw Kah Peng mengatakan bahwa kerja sama dengan chef lokal adalah elemen penting dalam gastrodiplomacy Singapura. “Melalui kerjasama dengan chef lokal kami ingin menciptakan resep-resep baru yang terinspirasi dari makanan khas Singapura, dan menunjukkan diversitasnya, selain keajaiban-keajaiban yang bisa tercipta dari perpaduan chef kami dan chef lokal,” kata Peng.


Seperti Singapura,  Korea juga giat memperkenalkan kekayaan kulinernya dengan aktif berkeliling dunia melalui aktifitas yang kerap disebut sebagai ‘The Kimchi Diplomacy’. Pada tahun 2009, Kim Yoon-ok, istri Presiden Korea Selatan, Lee Myung-bak, memulai diplomasi ini dengan memasak bersama chef AS dengan mengundang para veteran Perang Korea di negara tersebut, sebagai audience. “Saya ingin memperkenalkan cita rasa Korea baru yang positif dan lezat, yang mungkin tidak sempat mereka ketahui ketika terlibat perang,” kata Kim kepada The New York Times.


Begitu seriusnya pemerintah Korea dalam mempromosikan  kuliner negaranya, sehingga Korea bahkan menargetkan untuk masuk ke dalam Top 5 kuliner dunia pada tahun 2017. Sebuah sumber menyebutkan bahwa Korea tengah gencar memperkenalkan bibimpap dan bulgogi agar bisa bersaing dengan makanan khas Asia lain, seperti sushi. Selain itu, sejumlah dana juga digelontorkan termasuk beasiswa bagi mahasiswa Korea untuk mempelajari dunia kuliner.


Lebih jauh, sejumlah penelitian dan pengembangan terhadap makanan juga dilakukan, termasuk festival yang khusus mengangkat makanan tertentu misalnya Tteokbokki, semacam kue beras. Kampanye ini, sebagaimana ditulis oleh NYTimes juga berusaha untuk meluruskan opini publik terhadap cita rasa Korea. Selama bertahun-tahun, makanan asli Korea terlanjur melekat dengan citra terlalu pedas, terlalu banyak bawang putih dan terlalu asam. Contohnya adalah Kimchi, yang aromanya sangat kuat.

Menariknya, kebanggaan terhadap makanan asli negaranya juga diikuti oleh kesadaran warga Korea sendiri untuk lebih banyak menyajikan makanan lokal. “Setelah perang, Korea terjangkit wabah makanan barat, tapi kini banyak restoran mahal di Korea yang kembali gencar mempromosikan makanan khasnya sendiri, bahkan termasuk cara pembuatannya,” tulis NYTimes.

(artikel ini dimuat di Majalah MIX- Marketing Communication edisi Oktober 2011

Rabu, 21 Desember 2011

Hallyu: A Wave Beyond Drama




Selama lebih dari satu dekade terakhir, Korea Selatan dengan penduduk hanya sekitar 50 juta orang telah menginvasi dunia melalui serial drama, musik pop, dance dan filmnya. Yang menarik, konsumsi dunia terhadap produk budaya pop negara ginseng ini juga mempengaruhi preferensi terhadap produk gaya hidup Korea seperti elektronika, telepon seluler, mobil dan destinasi wisata. Bagaimana gelombang dahsyat ini bisa terjadi?


“I’ll make great efforts so that I will be as popular as Yon-sama and be called Jun-sama.”

Kata-kata diatas diucapkan oleh mantan Perdana Menteri Jepang Junichiro Koizumi yang merespon kekecewaan rakyatnya pada suatu hari di tahun 2004 lalu. Pada waktu itu serial drama korea “Winter Sonata” sedang berada di puncak ketenarannya sejak pertama kali di tayangkan oleh stasiun TV Jepang, NHK pada tahun 2003. Serial tersebut melahirkan sebuah fenomena budaya dan perubahan perilaku masyarakat yang sebelumnya tak pernah terjadi di negara matahari terbit, melalui sebuah sindrom yang dikenal sebagai The Yon-sama Syndrome.

Yon-sama adalah nama yang diberikan penonton Jepang terhadap aktor utama “Winter Sonata”, Bae Yong-joon. Saking populernya Yon-sama dan “Winter Sonata” sampai ketika NHK tidak menayangkan serial tersebut dan menggantinya dengan siaran kunjungan PM Junichiro Koizumi ke Korea Utara, terdapat lebih dari 3000 telepon yang memprotes pembatalan tayangan tersebut.


Yon-sama syndrome diikuti dengan fenomena “agama” Yon-sama sampai “penyakit” Yon-sama, yang umumnya “diidap” oleh wanita kelas menengah berusia sekitar 30 tahun, bahkan termasuk istri PM Jepang sendiri. Banyak sosiolog dan psikolog yang menganalisis fenomena ini, dan melahirkan teori bahwa aktor Korea digila-gilai karena memiliki karisma romantic yang jarang ada di TV Jepang: mereka sopan, dan bisa membuat wanita merasa nyaman. Kecuali mengubah persepsi rakyat Jepang terhadap orang Korea, “Winter Sonata” juga mendatangkan turis Jepang ke Korea senilai 84 juta won, sementara penjualan DVD-nya sendiri menghasilkan angka 3 triliun won.

Namun sebenarnya, “hallyu” (yang artinya gelombang Korea, dalam bahasa Korea), sudah terjadi sejak tujuh tahun sebelumnya, tepatnya pada tahun 1997 di China. Pada saat itu, stasiun TV China, CCTV menayangkan drama keluarga, berjudul “What is Love”. Serial ini adalah produk Korea pertama yang ditayangkan televisi nasional China yang mampu menjangkau seluruh daratan China, menandai perubahan perilaku konsumsi penonton TV China yang sebelumnya mengkonsumsi opera sabun dari Eropa, Amerika, Hongkong dan Taiwan. Setelah “What is Love”, China jatuh cinta drama Korea seolah-olah mereka benar-benar menemukan sebuah dunia baru.

Seperti perubahan perilaku penonton yang terjadi di Jepang, demam Korea di China juga menyebabkan hal yang sama. Pada tahun 1998, remaja di China mengecat rambut mereka mengikuti grup musik Korea, H.O.T. “Pada tahun 1999, pusat perbelanjaan di Beijing mulai menjual produk-produk Korea, bahkan pada tahun 2003, Hyundai Motor mulai menjual mobil dan menjadi salah satu merek besar di China,” kata Hong Qingbo, editor majalah Dangdai, China.

Selain Jepang dan China, demam Korea juga menginvasi negara lain termasuk Iran, Saudi Arabia, Yordania, Thailand, Peru, Kanada, Australia, dan Perancis. Di beberapa negara muslim seperti di kawasan Timur Tengah, drama Korea diterima dengan baik mengingat content-nya yang dianggap ‘sopan’. Lucunya, drama Korea di beberapa negara tujuan ekspornya, seolah menjadi bagian dari strategi diplomasi, seperti yang terjadi di Iran. Baru-baru ini, ketika drama “Dae Jang Geum” mengakhiri masa tayangnya, sekitar 100 pejabat tinggi Iran berkumpul di Kedutaan Korea untuk merayakan episode terakhir ini. Sumber menyebutkan inilah untuk pertama kalinya begitu banyak pejabat tinggi Iran bisa menghadiri suatu acara bersama-sama.

Kecuali didorong oleh produk drama serialnya, dunia juga merayakan gelombang Korea melalui penikmatan terhadap apa yang disebut sebagai Korean Pop. Pada bulan Juni lalu, sekitar 7000 penonton memadati Le Zenith de Paris, salah satu venue terbesar di Paris yang biasa digunakan untuk konser-konser besar. Anak-anak muda dari kota teromantis di dunia itu berdesak-desakan untuk menyaksikan penampilan band-band yang mengusung genre K-Pop, salah satunya adalah Super Junior.

Penonton yang rata-rata berusia remaja atau 20 tahunan, menggila ketika mereka untuk pertama kalinya menonton secara langsung band yang sebelumnya hanya mereka nikmati melalui YouTube. Even dua hari ini otomatis menjadi sensasi media karena penerimaan tak terkirakan fans Eropa terhadap musik Korea, dan menjadi headline dari media Eropa, termasuk harian Perancis, Le Monde.

Terkait dengan pemanfaatan YouTube, K-Pop memang tak tertandingi. Seperti konser di Paris yang di-posting secara real time di situs video terbesar tersebut, hampir semua band K-Pop telah menggunakan YouTube untuk promosi musiknya. Popularitas K-Pop bisa lebih dulu terjadi di dunia maya jauh sebelum band tersebut mengadakan promosi offline.

Harian Korea Joongbang, pada Januari 2011 menurunkan laporan mengenai 923 video musik Korea yang diunggah ke YouTube. Menurut analisisnya, pengguna internet dari 229 negara di dunia telah menonton video tersebut sebanyak 793,57 juta sepanjang tahun 2010 lalu. Berdasarkan benua, penonton terbanyak berasal dari Asia, diikuti oleh Amerika Utara, dan Eropa. Sedangkan berdasarkan negara, penonton terbanyak berasal dari Jepang, Thailand, dan Amerika Serikat. “The rise of the United States as a major Korean Wave market was remarkable,” tulis laporan tersebut.


K-Pop menandai apa yang disebut sebagai The Neo Korean Wave, dengan pemanfaatan social media secara masif dan keterlibatan fans sebagai salah satu cirinya. Gelombang baru ini dipermudah dengan adanya internet, interkonektivitas, dan perkembangan teknologi bergerak, selain maraknya Facebook, Twitter dan YouTube. Semua ini yang kemudian mempengaruhi cara produk budaya pop disajikan, dikonsumsi dan didistribusikan.

Selain YouTube yang membuat penyaji dan fans terkoneksi dengan cara baru, gelombang Korea yang baru juga merayakan terciptanya level keterlibatan yang tinggi. “The Cover Dance” adalah salah satu fenomena yang sedang hangat, dimana fans mengimitasi (terutama) gaya joget idolanya dan lalu mengunggahnya ke YouTube. Video kadang memperlihatkan fans yang ‘lebih’ jago dari idolanya, bahkan termasuk interpretasi baru terhadap koreografi yang sudah terperagakan di video aslinya.

Tak cukup sampai disini, pelaku industri budaya pop Korea juga cepat tanggap dengan mengadakan “International Cover Dance Festival”, yang diikuti peserta dari 38 negara. Stasiun TV Korea MBC bekerjasama dengan YouTube mengadakan audisi dengan menilai video buatan rumah yang diunggah ke YouTube. Penilaian dilakukan secara online voting, dan melibatkan seluruh penggemar K-Pop di seluruh dunia—menyiratkan terjalinnya suatu hubungan consumer to consumer (C to C).

Penyaji K-Pop juga cerdik memanfaatkan digital media, yang membuat biaya dan usaha promosi mancanegara menurun drastis. Pada bulan Februari lalu, Big Bang meluncurkan mini album yang pada bulan berikutnya, menduduki posisi 7 Billboard’s Heartseekers Album—tanpa banyak promosi offline di negara tersebut. Digital channel juga digunakan secara ekstensif, terutama iTunes. Selain itu, Twitter dan Facebook juga dimanfaatkan, termasuk website yang secara organic dibentuk oleh fans, misalnya Allkpop, Soompi, dan PopSeoul. Bahkan bagi penggemar drama Korea, jarak kini tidak menjadi penghalang. Beberapa situs menawarkan layanan streaming drama Korea seperti dramafever, dan hulu.com, situs steaming utama dunia hasil kolaborasi stasiun TV Amerika seperti NBC, FOX, dan ABC.

Selain serial drama, musik, dan K-dance, demam Korea juga merambah pada sektor perfilmannya. Dengan kecanggihan dari segi visual, musik dan elemen pendukung genre film, film Korea dikenal sebagai salah satu film dengan originalitas yang tinggi. Fakta bahwa Korea adalah salah satu negara dimana Hollywood tidak bisa mendominasi adalah bukti bahwa film Korea pada umumnya bisa berbicara di negaranya sendiri, sebelum merambah negara lain.

Contoh terbaru adalah suksesnya The Priest, yang secara global menghasilkan 66,4 juta dolar. The Priest adalah film berdasarkan komik Korea namun bersetting koboy Amerika dan diberi sentuhan vampire. Penulisnya, Hyung Min Woo mengatakan bahwa film Korea memiliki plot yang kuat, dan membuat penonton memahami budaya luar dan mampu berkomunikasi dengan emosi dan sensitifitas Korea.

Seorang profesor yang meneliti gelombang Korea, Prof. Jian Cai dari Universitas Fudan, China, mengatakan bahwa industri budaya Korea merupakan model industri yang mampu bergabung dengan arus modernisme sekaligus mempertahankan budaya tradisionalnya. “Budaya pop Korea meminjam budaya populer barat dan melakukan penciptaan ulang berdasarkan cita rasa Korea,” kata Jian.

(dimuat di Majalah MIX Marketing Communication, Desember 2011)

Minggu, 27 November 2011

horeeeeee... gue Ganteng! (sebuah cerpen eksistensialisme)

Nick tidak bermaksud untuk narsis)

Nick menelepon sobatnya, Bobby.
"Bob, menurut lo gue ganteng ga?"

Klik.

Nick mencoba kembali. "Bob, jujur aja. Gue ganteng ga sih sebenarnya?"

Bobby berteriak, "what the f**k!"

Klik.

Nick tersenyum. Ia lalu merebahkan dirinya di ranjang. Kepada cicak di langit-langit, ia menatap. Tapi pikirannya melayang ke pagi hari di kantornya.

Saat itu, ia sedang curhat dengan Romeo. Entah kenapa rekan satu kantornya itu dinamai seperti itu, tapi Nick harus benci untuk mengakui bahwa Romeo sangat ganteng. Uber handsome!

Dan Romeo menjadi tipikal cowok yang akan dibenci semua cowok-cowok lain di dunia karena ketidakadilan Tuhan dengan tidak hanya menganugerahkan Romeo kegantengan tapi juga kekayaan, kepintaran, dan keberuntungan. Dan ini yang paling nyesek: cewek-cewek paling cantik yang satu demi satu ditaklukkannya dengan mudah.

See what I mean..

Tapi kepada Nick, dalam sesi konsultasi setelah makan siang, Romeo mengatakan sesuatu yang tidak disangka-sangkanya; Nick, kamu sebenarnya ganteng. Tapi kamu kurang pede aja.

Kata-kata sepele yang lalu bergabung dengan memori kolektif Nick dan rentetan kejadian yang dialami Nick sepanjang hidupnya, menghasilkan sebuah kesadaran baru, sebuah awareness yang jernih.
Sebuah kesadaran yang perlahan mulai jelas diantara kabut-kabut hitam yang perlahan memudar.
Sesuatu dalam diri Nick menguatkan apa yang sedari dulu sudah Nick kira namun tak cukup kuat untuk diafirmasi.
Nick senyum-senyum sendiri. Dalam hati ia bersyukur karena hari ini adalah hari dimana ia menyadari kalau ia adalah cowok ganteng.

Ia pulang dari kantor dengan langkah ringan, memijit tombol lift dengan hati riang, dan menyambut neraka macet dengan senandung nyanyian.

Damn, gue ganteng, man. Kegantengan selalu menjadi dan mengisyaratkan sesuatu.

Dan Nick menatap cermin, sambil melihat bayangan dirinya seolah itu adalah orang lain. Ia kembali tersenyum. Senyum yang ke 1035 hari itu.

Ia mengambil teleponnya. Ia akan abadikan hari yang istimewa ini.

"Bob, tanggal berapa sih hari ini?"

"What. Lo nelepon gue buat nanya tanggal doang? What the hell are you doing? Are u nuts?"

Klik.

Tak lama sesudah itu, Nick tertidur. Ia bermimpi. Mimpinya membawanya bertemu dengan Young Goon dan Il Sun dalam perdebatan tentang the purpose of existence. Young Goon adalah seorang cewek yang merasa dirinya Cyborg, sementara Il Sun bisa mencuri atribut dan kepribadian, ia bahkan bisa mencuri hari kamis.

Nick berkata kepada mereka entah dengan keberanian dan kesadaran yang datang dari mana.

Bahwa the purpose of existence adalah self awareness. Bahwa tanpa kesadaran, segala hal akan menjadi tak bermakna. Dan segala sesuatu yang tak bermakna adalah kemubaziran.

Untuk membuat dua orang itu lebih mengerti ia juga berkata bahwa kondisi yang ada pada diri seseorang tidak akan bermakna sampai seseorang menyadarinya.

Kepintaran seseorang tidak akan bermakna jika ia tidak sadar kalau ia pintar.

Kegantengan seseorang tidak akan bermakna jika ia tidak sadar kalau ia ganteng.

Kekayaan seseorang tidak akan bermakna jika ia tidak sadar kalau ia kaya.

Dan seterusnya.

Maka, berbahagialah bagi mereka yang menyadari diri mereka masing-masing. Tapi bagi yang belum, setidaknya anda tahu kalau anda tidak tahu, sebab yang paling parah adalah ketika anda tidak tahu kalau anda tidak tahu.

Sesudah itu seperti dalam akhir film I am A cyborg but that's ok, matahari terbit.

Matahari di dunia Nick juga terbit. Nick terbangun dan merasa dirinya Socrates. Di alam mimpi seseorang bisa menjadi lebih bijak dibandingkan di alam kenyataan.

Namun, Nick hanya ingat samar-samar, sebab tak ada mimpi yang bisa diingat secara terang benderang. Sesuatu tentang the purpose of existence.


Jadi apa tujuan keberadaan lo, Bob. Nick bertanya ketika ia dan Bobby sedang berada di kantin.

Bobby menatap Nick, sorot matanya berkata bahwa ia heran ternyata keanehan Nick masih belum berakhir sejak semalam.

Dan untuk menambah bingung Bobby, Nick berkata; gue bersyukur banget kalau gue akhirnya sadar kalau gue ganteng. Umur gue udah lewat seperempat abad, tapi gue baru sadar sekarang! Man, coba dari dulu ya gue sadar kalau gue ganteng, pasti hidup gue akan jadi berbeda.

Bobby bergumam nggak jelas.
tapi untuk menyenangkan Nick, ia berkata; trus, kalau udah sadar kalau lo ganteng, lo mau apa?

Nick tersenyum. Binar-binar matanya berusaha menjawab pertanyaan Bobby.

Bobby mengangguk-angguk. Keduanya lalu menuju ke meja yang ditempati seorang cantik. Ia bernama Nayla, dan sudah berbulan-bulan menjadi obsesi Nick.

Nayla hanya mengangkat wajahnya, dan matanya hanya menatap di suatu titik di tengah-tengah antara dirinya dan Nick dan Bobby.

Lalu, kata Bobby. Nay, ini kenalin teman gue, Nick. Dia ganteng lo.

Lalu nyaris tanpa bersuara, Nayla meninggalkan keduanya. Namun masih didengar oleh Nick kata-kata Nayla.

Like I care, begitu katanya.

Sabtu, 26 November 2011

My First Award As The Professional Filmmaker


This was a quite surprising ! When "Suatu Hari di Ranca Kelapa" was awarded as The 5th winner (Juara Harapan 2) for Lomba Cipta Film Pemuda Tingkat Nasional held by Ministry of Sport and Youth, my mind went away to a rainy afternoon, when I arranged the dubbing session for this film.

At that time, we rent a studio near Rawasari and invited 5 dubbers (some of them are professional). We dubbed for two movies from same material, but I figured out that we could come out with 2 version of them. First version is convensional and informative, dubbed by 1 dubber, and second version was more experimental due to my interpretation of the factual event occurred in the documentary movie. I wrote the subtitles with more contemplative ways resulting poetical ambience of the movie.

Our second version is titled "China Benteng: A Poetry", performing 4 segments of cultural events in Tangerang, Banten. The duration of the original version is nearly 22 minutes.

However, when I found out about the film competition above, I try to figure out how to edit the film into 15 minutes to meet the requirements. I re-watched it, contemplating, and finally came up with only segment 2 and segment 3 from its original version. This resulted on a shorter version, titled "Suatu Hari Di Ranca Kelapa".

This is the excerpt of the narration:

"... Dear Gio, this is my last letter to you... Today is the last day of mine as a single. When my parents accompany me through their prayers, before I become someone’s spouse, but not yours.

...And finally I have to choose. Not for the first love, but to celebrate the second chances... "

I would like to dedicate this movie to all anak wayang in Tangerang, to the cultural activist of china benteng, to all musician of gambang kromong, and to all the community who preserved the cultural richness in Tangerang.

Hope you guys enjoy it. Thanks!

Romantisme Sang Calon Mayat

Cinnamon adalah salah satu aroma aphrodisiac, begitu yang Nick tahu. Tapi wanginya kurang kuat dan nyaris tidak tercium. Jadi Nick menggantinya dengan vanilla yang lembut, setelah sempat mempertimbangkan peppermint. Tapi aroma peppermint terlalu mengingatkannya pada rumah pijat. :(

Lalu setelah itu, ia merasa bodoh karena makan malam yang direncanakannya bersama Nayla kekasihnya, berlokasi di balkon apartemennya di lantai 11. Angin malam akan mengacaukan perencanaan aroma, tapi sudahlah. Telah ada lilin merah menyala dengan redup yang menyiratkan cinta. Cinta yang sesungguhnya seperti dalam puisi-puisi Pablo Neruda.

Jadi kini Nick berfokus pada bebunyian. Telah dipilihnya musik-musik oldies dengan irama jazzy yang kental. Ia sudah memilih diantara Norah Jones, Patrizio Buanne, tapi anehnya moodnya membawanya pada koleksi langka Count Bassie. Nick akan membawa Nayla melayang pada romantisme tingkat tinggi.

Lalu setelah itu, Nick menggosok giginya. Tiga kali. Ia tidak ingin Nayla tahu kalau ia merokok. Ia sudah berjanji untuk tidak merokok lagi, tapi kebiasaan itu sungguh sulit dihilangkan.

Bel berbunyi. Pesanan makanannya sudah datang. Delivery man membantu Nick menata makanan di meja bertaplak meja putih. Dalam sekejap, suasana ajaib terasa dari foie gras yang terhidang dengan anggur putih, dan air dengan perasan lemon yang kecut tapi manis.

Setelah itu sang delivery man pamit, sambil berucap semoga berhasil. Nick tersenyum, karena ia disangka akan melamar kekasihnya.

Nick lalu gugup. Berulang kali ia mengecek penampilannya. Tidak ada yang salah dengan tuxedo-nya. Ia tidak miring ke kanan atau ke kiri. Dan parfumnya aroma kayu yang manis, yang dipakainya hanya pada momen-momen penting.

Nick lalu menyalakan TV, tanpa sebab yang jelas. Tapi, ia lalu teringat pada suatu detil kecil yang belum dipersiapkannya: bunga. Kekasihnya adalah perempuan konvensional yang masih menggemari bunga, cokelat dan kecupan di kening.

Maka Nick sudah siap dengan semua itu: bunga, cokelat dan kecupan di kening.

Lalu setelah makan malam, ia akan duduk bersebelahan dengan Nayla untuk bicara apa saja yang terlintas di benak mereka, sampai kemudian keduanya mulai mengantuk dan tertidur. Nick akan memeluk Nayla dengan penuh cinta, dan bukan nafsu. Dan karenanya, ia belum siap jika Nayla harus menginap di apartemennya. Ia tidak ingin mengacaukan sesuatu, meski sangat, sangat ingin melakukan itu bersama orang yang dicintainya. Seseorang yang berhasil membuatnya terlahir kembali sebagai laki-laki romantis.

Bel berbunyi. Kekasihnya sudah datang. Nick membuka pintu dan menemukan senyum Nayla, yang khusus baginya. Nick sebenarnya agak kecewa karena Nayla tidak dress up seperti yang diharapkannya. Tapi tetap saja ia mencium kening Nayla.

Nayla membalas dengan pelukan singkat, lalu keduanya menuju balkon.

Nick menarik kursi untuk diduduki Nayla, dan di ujung meja yang lain. Nick duduk.

Nayla berkomentar tentang penataan makanan, dan terkesan dengan pemandangan balkon.

Hati Nick bergetar-getar sampai ia khawatir dadanya tak mampu menampungnya. Nick meremas tangan Nayla dan dengan lembut ia menciumnya.

Nick tersenyum. Binar di matanya lebih menyala dari lilin yang samar-samar tertiup angin.

"Happy anniversary, sayang," kata Nick lembut.

Perlahan wajah Nayla berubah. Nick tetap menatapnya. Ia pikir Nayla sedang terharu atau apa.

"Anniversary-nya kan baru minggu depan," kata Nayla lirih.

segala hal ditunda

Seperti kata selamat tinggal yang seharusnya telah terucap dari hati.

Setelah lama.

Namun semua itu ditunda.

Untuk lalu menunggu. Hal yang samar adanya. Tidak ada yang pasti.

Segala hal baur oleh rasa, keterombangambingan, antara meyakini atau tidak.

Rumah itu telah kehilangan fondasinya kini.

Dan jendelanya telah koyak tersibak angin kencang.

Termasuki oleh hal-hal yang seharusnya tetap berada di luar.

Bersama yang takkan bisa hidup di dalam.

Segala hal ditunda, untuk tak tahu kapan akan terlaksana.

Apakah nanti.
Atau tidak sama sekali.

Selasa, 23 Agustus 2011

The Last Confucian


Hi Guys!

We are happy to announce that finally we can finish our first documentary. Here I want to share our experience during the production of this movie.
At first, I have no idea that we are going to have a trilogy of China Benteng. For those who hasn’t familiar with China Benteng, let me explain to you. China Benteng is a Chinese community in Tangerang, near Jakarta, who embrace Chinese culture since their ancestral are from China. However, Community of China Benteng have their own way of life and characteristics, entirely different to those of other Chinese in greater Jakarta area and Indonesia.

At first, the title is not “The Last Confucian”, but “Echoes of Piety”, emphasizing subject strong fidelity. But, there are so many development afterwards. In fact, we found the story of the last confucian coincidentally when we were having research to make a simple documentary about China Benteng’s cultural heritage. However, we do have research and interview to support the story, including our interview with Mona Lohanda, book writer and prominent historian from National Archive.
We do have some other interview with Chairman of Matakin (Supreme Council for Khonghucu Religion In Indonesia), and cultural activist from China Benteng itself. Our research reinforces the story about Confucian as a victim of Suharto’s policy during new order regime, but you can experience much more when you watch the movie. 
And here are some behind the scene photo. Enjoy all!

The Director of THE LAST CONFUCIAN
Iskandar Julkarnaen and Kurniawan Biantoro




































Here's the link for the trailer: http://vimeo.com/27713065

Kamis, 24 Maret 2011



my life is in box. but is not my heart. my mind travelling to the world where it belong: Someone i love and love me back

Jumat, 18 Februari 2011

The Cheongsam Obsession

Aku tidak dapat mengartikan sorot mata ibuku, ketika ia menatapku sedang berdiri di depan cermin dan mengagumi pantulan diriku sendiri dalam cheongsam. Kelihatannya ia marah, tapi ia lebih seperti kecewa, mungkin karena aku memakai sesuatu miliknya tanpa izin.

Aku segera melepas cheongsam berwarna biru yang sudah memudar itu, dan dengan berjingkat-jingkat keluar kamar, tanpa berani menatap sorot mata ibu. Namun ketika aku melewatinya, tubuhku didorong sehingga terjatuh dan menimpa keranjang berisi baju-baju kotor yang belum dicuci. Ibu lalu keluar begitu saja, dan aku ingin memeluknya, dan meminta maaf.

Tapi, aku tak lantas lupa pada cheongsam. Aku memikirkannya. Siang dan malam. Di sekolah. Di jalan. Di kamar. Di angkot. Di busway. Bahkan ketika aku sedang naik ojek. Obsesi yang sudah menjadi mimpi bertahun-tahun, ketika pada usia lima tahun aku melihat baba memberikan angpau pada kakakku pada saat imlek.

Namun, ini bukan cerita tentang angpau, atau lontong cap go meh, tapi tentang cheongsam. Baba menghadiahkan kakakku cheongsam berwarna merah yang seperti memeluk tubuhnya. Itu adalah gaun one piece yang indah, dan aku hanya bisa melihat iri ketika baba berdiri di belakang kakakku dan keduanya tersenyum. Baba tersenyum. Kakakku tersenyum. Aku manyun. Aku ingin cantik seperti kakakku.

Bertahun-tahun kemudian, aku menonton In The Mood For Love dan bayangan kakakku yang anggun mengenakan cheongsam sambil makan lontong cap go meh mulai memudar. Ia tergantikan oleh Maggie Cheung. Sampai saat ini, tidak ada yang bisa menandingi dia sebagai wanita paling cantik yang pernah mengenakan cheongsam. Aku tumbuh dalam imajinasi menjadi wanita cantrik yang mengenakan cheongsam, lalu pergi merayakan xin chia bersama pangeran pujaan. Hanya makan malam sederhana sudah membuatku senang.

Sepertinya cheongsam hanya akan menjadi mimpi, atau obsesi. Tidak bisa tidak. Aku merasa aku tidak akan pernah bisa mengenakannya, sebahagia apapun perasaanku nanti ketika bisa mengenakannya.

“Tetapi, apakah bahagia itu paling penting?” tanyaku pada Mei, sahabatku.
Mei menyayangiku, tapi sorot matanya seperti sorot mata ibu. Ia berkata, “bukan bahagia, tapi menjadi diri sendirilah yang terpenting.”
Aku tidak mengerti, Mei. “Aku belum genap 17 tahun.”

Tapi, akhirnya aku kembali ke rumah dan aku ingin minta kado istimewa dari baba dan ibu menjelang ulang tahunku nanti. Apalagi kalau bukan cheongsam.

“Ibu, aku ingin cheongsam.”
Ibu lalu menampar pipiku. Aku menangis. Tapi aku tidak peduli. Aku ingin cheongsam. Titik.

Ibu bilang nggak boleh. Tidak akan pernah diizinkan. Tidak dalam satu abadpun.

Aku ingin cheongsam!
Plak!!!

Tapi kenapa, bu?

Ibu menatapku, Ia tidak marah, tapi lebih seperti orang terluka.

Mengapa bu?

“Karena kamu...laki-laki.”
Aku terdiam. aku tahu aku akan dihadapkan pada kenyataan ini, tapi aku tidak merasa kalau sekaranglah waktunya.

Selasa, 15 Februari 2011

THIS IS ME!

Bersyukur dengan karakter sebagai orang egois. Ketika hanya suka membicarakan diri sendiri-tidak tertarik ngomongin orang, in a way nggak kena dosa gara-gara bergunjing.
Trus berusaha keras mengejar personal destiny-nya. kadang nggak suka ngedengarin orang, nggak peduli apa pendapat orang.

harus bisa memilah mana yang memang layak dianggap ada dan didengarkan, dan mana yang hanya rubbish. Percaya benar dengan hukum Paretto. dari 10 orang yang dikenal barangkali cuma 2 yang berisi, sisanya sampah.

Dalam sebuah percakapan, hanya membicarakan karya, bukan orang, apalagi hal-hal jelek mengenai orang itu. Sesudah itu kembali ke diri sendiri, dan berpikir "What can i do to share the world my role?"
Meski memang tidak otomatis akan jadi mudah, asal merasa di right track juga udah bagus.

Meski banyak yang bilang terlalu picky dalam segala hal, termasuk bergaul. Tapi prinsipnya adalah melakukan apapun harus menguntungkan termasuk mengenal orang, kalau nggak, ya nggak usah bergaul ama orang itu. Biar nggak buang-buang waktu. Kadang suka agak rugi, kalau misalnya kita kerjaannya nyerocos share ke orang, trus dalam hati nanya: "Gue dapat apa dari lo?"

Yakin saja, kalau pada akhirnya akan dipertemukan, pasti memang akan dipertemukan.
Hanya merespon sesuatu yang layak direspon.
Memberi lebih pada yang diminta.

Dianggap sengak nggak jadi masalah, biasanya orang yang kita kagumi dan diteladani nggak akan berpikir seperti itu kepada kita, karena di depannya kita berlaku seperti murid, dan mereka akan dengan senang hati mengajarkan. (Jangankan kita merespon apa pendapatnya tentang kita, bahkan mereka mungkin tidak dianggap ada)

Kalau ada yang berpikir kita jutek, dan senyum mahal, memang tujuan hidup manusia bukan untuk memuaskan semua orang. Dan biasanya orang yang merasa demikian, akan berkelompok, bergosip, dan bicara di belakang kita (Indonesia banget). Karena biasanya mereka mediocre, dan kita dianggap sebagai ancaman.
Kita dinamis dan mereka statis.

dengan sikap ini, tanpa disadari kita akan punya magnet. tapi sebagai magnet kita sendiri juga akan tertarik kepada magnet lain. Dan pada saat anda merasa demikian nyaman dengan keadaan, selamat.

bagi yang belum, bersabar. Ini proses. Dan kita tidak pernah sendiri.

Sahabat adalah seseorang yang ketika kita duduk di sebelahnya—hanya berjam-jam dalam diam, tapi setelah dia pergi kita merasa kita telah lama berbicara dengannya..

SYARAT UTAMA: PENAMPILAN MENARIK

“God! Kenapa harus ada persyaratan demikian di iklan lowongan kerja!” sesal Adi. Ia sedang berteduh di bawah pohon mangga bersama sahabatnya, Chandra. “Trus, orang-orang yang merasa penampilannya nggak menarik gimana? Nggak boleh ikutan? Belum tentu juga kan orang-orang dengan penampilan menarik akan bekerja dengan lebih baik dibandingkan orang yang dianggap berpenampilan tidak menarik!”
“Nggaklah bro, lo jangan minderisme gitu dong! Lo nggak jelek kok!’ kata Chandra sahabat Adi, pura-pura menghibur. Tapi Adi protes karena Chandra begitu saja menyamakan penampilan tidak menarik sebagai ‘jelek’. “Beda dong!” menurut Adi, orang dengan penampilan tidak menarik bukan berarti jelek, tapi orang jelek pasti penampilannya tidak menarik.
Chandra malah nggak setuju. Ia mengambil contoh Tukul. “Tukul kan jelek, tapi penampilannya menarik.” Adi mengelak,’iya, secara lo sih ngefans ama dia, tapi yang nggak suka nggak akan mungkin bilang Tukul itu menarik secara penampilan!”
Mendengar jawaban Adi, Chandra mencoba menarik kesimpulan. “Wah kalau ukuran suka atau nggak suka jadi susah dong. Jadi subyektif, karena kalau seseorang dibilang nggak menarik, belum tentu sisa dunia yang lain bilang yang sama.”
“Makanya bro, ini harus kita protes!”, kata Adi lagi. Menurut Adi, perusahaan harus menghapus syarat itu dalam requirements mereka, karena berpotensi menjadi tidak objektif. “Tapi... kalau jelek kan mutlak,” Adi tiba-tiba teringat kata-kata itu.
Hening sejenak. Mungkin keduanya merasa tersindir dengan kata-kata Adi itu.
“Makanya mereka pake kata berpenampilan menarik. Itu secara halus menggantikan kata tidak jelek,” kata Chandra.
Adi menjadi teringat pengalamannya yang beberapa kali ditolak bekerja dengan alasan penampilannya kurang menarik. “Sakit hati gue dibilang begitu,” kata Adi.
Chandra diam saja meski memiliki pengalaman yang sama. “Memang pasti nyebelin banget ya. IPK udah 3,75, cumlaude, lulus psikotest, kesehatan oke, tapi nggak diterima kerja cuman gara-gara tampang! A****G!
“Gue setuju! Ini namanya diskriminasi bagi orang-orang berpenampilan tidak menarik! Kita harus lapor ke KOMNAS HAM! Yuk! Sekarang!” Adi menarik tangan Chandra yang lalu menepisnya.
“Tenang bos. Lo ngomong jangan kebanyakan tanda seru! Justru lo yang gegabah. Kalau lapor ke komnas HAM, berarti secara tidak langsung lo mengaku udah jadi bagian dari mereka yang berpenampilan tidak menarik. Apa emang lo ngerasa diri lo nggak menarik?”
“Nggak mungkinlah,” sahut Adi kali ini dengan lebih kalem. “Kalau bukan gue sendiri yang bilang kalau gue ganteng, siapa lagi...”
“Itu maksud gue. Perjuangan harus selalu dimulai dari dalam diri sendiri. Coba kita terapin ke diri kita, untuk nggak superficial. Untuk nggak nilai orang dari luarnya aja. Padahal siapa tahu mereka punya kualitas-kualitas yang nggak dimiliki oleh orang-orang yang masuk kategori berpenampilan menarik,” kata Chandra panjang lebar.
Tapi wajah Adi merengut. “Tapi gimana cara untuk mengetahui kualitas-kualitas itu kalau dari awalnya scanning pertama adalah penampilan, atau pasfoto. Seleksi berdasarkan penampilan, yang nggak memenuhi kriteria dibuang ke tempat sampah, tanpa diberi kesempatan untuk memberi tahu dunia tentang isi hati atau isi otaknya...”
“This is what i am talking about man!” kata Chandra meniru gaya bicara karakter nigger di film hollywood. “Ini dia yang mesti kita perjuangkan, men! Sebab kalau nggak, bisa-bisa orang-orang berpenampilan nggak menarik jadi punah. Nggak punya tempat lagi di dunia. Diasingkan, ditinggalkan oleh roda kehidupan yang terus berjalan. Mereka jadi nggak bisa berkiprah dimana-mana.”
Adi diam saja, tiba-tiba ada imajinasi melesat di otak kanannya; ia jadi penguasa zalim yang melakukan pemisahan terhadap golongan orang berpenampilan tidak menarik dan orang berpenampilan menarik. Dalam fantasi itu, Adi, firaun dengan penampilan tidak menarik memenjarakan orang-orang yang berpenampilan menarik, bangsanya model-model ganteng atau cantik dalam kamp konsentrazie seperti yang dilakukan Hitler. Hollocaust.
“Napa lo diam aja?” kata Chandra.
“Iya gue setuju.” Sahut Adi asal.
“Setuju apa?”
“Mari kita melestarikan golongan orang-orang berpenampilan tidak menarik, biar mereka bisa kerja, kawin, dan punya anak.”
Chandra nggak bisa nggak setuju.
“Galang persatuan buat Gestapu (gerakan standarisasi tampang publik)!” kata Adi. Ia kembali bersemangat, dan berseru.
“Atau kita buat serikat pekerja atau apa gitu yang menggabungkan karyawan dengan penampilan tidak menarik. Dari kita, oleh kita untuk kita. Laiknya demokrasi.”
“Justru lo sekarang yang sembrono. Ekslusifitas itu ibarat bom waktu. Dunia bisa berputar karena ada pasangan-pasangan. Pria dan wanita, malam dan siang, utara dan selatan, kiri dan kanan, cakep dan...”
“Jelek,” kata Chandra. Ia diam, merasa ada yang janggal dari tatapan mata Adi, tapi tak bisa merumuskan apa.
“Pemisahan itu hanya akan mempertajam dikotomi antara dua kelompok itu,” tandas Adi.
“Tapi maksud gue, bagaimana kalau...”
Pembicaraan mereka terhenti. Tak jauh dari mereka seorang wanita membaca plang ‘pangkalan ojek’ dibawah sebuah pohon mangga. Wanita itu menuju Adi dan Chandra.
“Ada sewa tuh, Di.”
“Males gue. Tampangnya demek gitu.”
“Gue juga ogah. Gue nungguin si Neng caem langganan aja.”

One Minute Enlightment

(1)
The simple metaphor of chair, taken as representing one’s body, mind and emotional dynamics, can explain this clearly:
As long as I am sitting in the chair, I cannot observe nor manage the chair. In fact, the chair manages me. To observe the chair I must get out of it. For this, I must accept the fact that I am not the chair. So also, identifying with the body, mind and emotions, I cannot observe or manage myself. The moment I accept that I am neither the body nor the mind; I can get out of it. Then I can realize who I am. Then I can lead and manage myself. I become master, leader of the chair.

(2)
“Hidup terdiri atas momen - momen ;
Momen - momen adalah milik kita.
setiap momen masing-masing secara mendalam?
Dapatkah Anda meninggalkan setiap momen yang telah berlalu dan
lahir kembali pada setiap momen baru ?
Dapatkah Anda mengisi momen yang baru dengan penuh keyakinan,
kegembiraan dan semangat ?
Dengan memandang setiap momen adalah baru, maka kita akan mampu
menceburkan diri ke dalamnya dan menjalaninya dengan sepenuhnya.
Apakah itu saat mencuci piring, minum teh, memeluk bocah kecil,
menatap ke dalam mata orang yang kita kasihi,
Menahan rasa sakit atau bahkan ketika menghadapi kematian"

(3)
Seorang siswa bertanya kepada gurunya, “Master, apakah arti pencerahan itu…?” Sang guru menjawabnya dengan lugas, “Bila lapar—makan. Jika lelah—tidur. “Kemudian siswa itu menimpali, “semua orang kan melakukan hal yang sama dalam kesehariannya.” “Tidak sama,” sang guru menjawab. “Mengapa tidak sama…?” Tanya si siswa dengan penasaran. Kemudian sang guru menjelaskan, “Saat waktunya makan, kebanyakan dari kita tidak menikmati dengan betul makanan yang kita cerna. Pikiran orang terus mengembara entah kemana. Mulut, sekalipun penuh dengan nasi, tatkala masih sibuk mengobrol dengan sesamanya. Saat waktunya tidur, pikiran ridak istirahat. Oleh sebab itu itu banyak yang tidurnya tidak lelap atau bahkan menderita insomnia.”

(4)
Suatu hari terjadi gempa bumi yang mengguncang keseluruhan kuil Zen. Beberapa bagiannya runtuh! Banyak biksu ketakutan.

Saat gempa reda, sang guru berkata, “Sekarang kalian mempunyai kesempatan melihat bagaimana seorang Zen berperilaku dalam situasi krisis. Kalian mungkin perhatikan bahwa saya tidak panik sama sekali. Saya masih awas pada apa yang terjadi dan apa yang harus dilakukan. Saya pimpin kalian semua ke dapur, bagian terkuat dari kuil ini. Dan ini sebuah keputusan yang tepat karena kita semua selamat tanpa luka-luka. Tetapi, di samping kontrol diri saya yang baik, saya juga merasa sedikit tegang – yangmana kalian bisa lihat dari kenyataan bahwa saya minum satu gelas besar air putih, sesuatu yang tidak pernah saya lakukan di situasi biasa”

Salah satu biksu tersenyum, tapi tidak berkata apa-apa.

“Apa yang kamu tertawai?” tanya sang guru.

“Itu isinya bukan air, guru” jawabnya. “Itu tadinya satu gelas besar kecap yang disiapkan untuk memasak”

(sumber: buku kisah kebijaksanaan Zen)

The Edge of Love (review)



Sat, 6 june. something called me to come to blitz megaplex. actually i intended just to have dinner, so i gone in short pants, slipper, and ripped t-shirt. but, i was so impulsive, and i need to fulfill the uninvited desire to go watching movie.
here's the answer: The Edge of Love. curious to watch Sienna Miller. i only knew little about her—except she's belong to Jude Law.

at the first second, i smirked, and smiled widely. The beauty of Keira Knightley (someday if i had daughter, Keira is lovely name). opened the movie by singing “Blue Tahitian Moon”. This movie is so me. with that jazzy soundtrack, rain, and poetry spreading all over the duration, and that sienna miller really take my breath away.

Kiera's performance is even make it harder for me to release myself in this lost of beauty. Kiera played as singer in the era of World War Two. She meet Mathew Rhys, her first love (its not first love that matters, its the last love), at the time when Mathew had wife played by irresistible Sienna Miller. Despite their rivalry, the two women become friends and the trio have happy times together. When Kiera marries soldier Cillian Murphy, Matthew becomes jealous at the addition of him to the group, and Sienna noticed.

Do you love me? asked Cillian. “i will answer after u back,” said Kiera.

and war change people. this movie is very subtle in developing the character. Mathew was boring, but turned to be strong after Cillian back from war. and Cillian doubted Kiera since he knew that Kiera and Matther used to be couple.

there's love in the air--vaguely delivered on the way the four main casts look each other. and it still can be feel at the last scene. This is the perfect movie, i dont remember when were the last time i go home from cinema with this very fulfilled feeling. all the aspects is perfect. Music, art—with that colorful expression, heavenly ensemble casts—while in my opinion, Cillian didn't play as perfect as his fellows.

oh thanks to James Maybury, for blooming my saturday night. i even look to the sky and smile to the moon. smiling—lost in the beauty.

Sejarah Dunia dalam 10 1/2 Bab (review)

Mungkin karena (Nabi) Nuh tidak 'sepopuler' nabi-nabi lain, maka penggambaran karakter Nuh sebagai tua bangka pemabuk bisa ditemui dalam sebuah novel terjemahan.

Entah mengapa sang novelis begitu terobsesi pada Nuh dan Banjir Besar, dan dengan imajinasi spekulatif merancang teori bagaimana peristiwa itu terjadi, termasuk berbagai kejadian mencengangkan diatas bahtera.

Namun dengan cerdas, pada fragmen “Penumpang Gelap” ini, penceritanya adalah seekor ulat kayu. Dengan memilih point of view seekor binatang dan bukan seorang manusia, menciptakan olok-olok yang cerdas—yang juga terasa di keseluruhan novel ini. Bagian ini memberikan insight bagaimana dan mengapa beberapa spesies binatang tidak terpilih mengikuti pelayaran ini—ulat mempertanyakan keadilan. Tentunya ulat kayu tidak diizinkan berada dalam perahu kayu—karena mereka makan kayu, dan oleh karena itu mereka kemudian menjadi penumpang gelap, dan nyinyir.

Ulat itu percaya bahwa Nuh telah semena-mena dengan mengumumkan waktu tertentu bagi binatang-binatang dunia, untuk keberangkatan bahtera. “...binatang tertentu menempuh perjalanan lebih lambat dari binatang lain. Ada kukang yang kelemak-kelemek yang pasti sudah lenyap terhempas azab Tuhan, bahkan sebelum turun mencapai pangkal pohonnya...”

Ulat menyaksikan banyak hal dan mewartakan pada kita mengenai perilaku binatang yang keluar dari karakternya ketika menemui situasi darurat—bagian yang mengingatkan pada Life of Pi. Meski demikian, ia hanya bisa prihatin melihat makhluk-makhluk langka—Basilisk, Salamander, Sphink, Griffon, dan Hippogriff yang punah. Ulat memiliki kepercayaan kuat bahwa Nuh, istrinya, Ham, Sem, dan yang namanya diawali huruf Y, berada di balik peristiwa ini.

Bahkan dengan kritisnya, Ulat menyatakan bahwa gorila akan lebih baik sebagai pelaut dibandingkan Nuh, dan dengan fantasi orang gila meyakini bahwa Unicorn dibunuh oleh Nuh dengan alasan kecemburuan, karena tanduk Unicorn digunakan istri Nuh untuk....

Pada backcover kata “novel” dituliskan empat kali.

Membaca novel ini seperti menonton film-film multikarakter Alejandro González Iñárritu. Mungkin penyebutan kata novel ini dimaksudkan agar pembaca tidak salah menyebut novel ini sebagai kumpulan cerpen—seperti Babel yang tidak akan pas disebut sebagai kumpulan film pendek.

Jadi, dari peristiwa di atas Noah's Ark, segmen “The Visitors” menceritakan ironi seorang bernama Hughes, yang oportunis, gemar bermain perempuan, dan ahli sejarah, namun terpaksa menjadi negotiator di sebuah kapal yang dibajak teroris. Teroris ini—mereka orang arab, sebuah pilihan tipikal yang karikatural, membajak kapal pesiar yang berlayar di sekitar Yunani, dengan tuntutan pembebasan rekan-rekan mereka yang sedang dipenjara, dan sialnya tidak ada pemerintahan yang meluluskan permintaaan itu, sehingga penumpang akan dibunuh satu persatu. Dan mirip dengan kisah ulat yang mempertanyakan keadilan, Hughes bertanya atas urutan apa para penumpang itu akan dieksekusi. “.. Siapa yang akan mereka bunuh lebih dulu? Orang Amerika? Orang Inggris? Laki-laki dulu? Acak? atau menurut abjad?”...

Novel ini telah men-transcend dongeng omong kosong dengan caranya yang rigid, dan menyisipkan fakta-fakta 'akurat', demi 'kebenaran', dan tendensi serius untuk tidak takluk pada satu kebenaran sejarah (sikap yang akan membuat lenyapnya individualitas dan kemanusiaan kita, katanya). Oleh karena itu, pada segmen yang (dengan alasan yang tidak dimengerti) diberi judul “The Wars of Religion”, novelis menceritakan persidangan ganjil di Perancis pada abad 16, ketika warga desa menuntut ulat kayu yang telah mencelakakan seorang uskup sampai menjadi linglung.

Konon persidangan ini betul-betul terjadi. Penduduk membuat petisi untuk mengucilkan ulat kayu (alasan lain karena ulat kayu tidak disebutkan dalam kitab suci mengikuti bahtera). Petitions des habitans diikuti plaidoyer des habitans, disangkal dengan plaidoyer des insectes. Perdebatan memanas, sehingga penduduk membuat replique. Bartholome Chassene, selaku ahli hukum membalas dengan membuat repliques des insectes. Setelah kesimpulan jaksa, maka hakim memutuskan sebagai berikut: “...kami memerintahkan ulat kayu dengan siksa kutukan, laknat, dan pengucilan agar dalam waktu tujuh hari meninggalkan gereja Saint-Michel..”

Mungkin tidak sampai terbahak-bahak, karena nuansa yang lahir adalah komedi satir yang segar dan tak disangka-sangka. Namun dengan segenap kecenderungan komedinya, novel ini masih bisa menjadi sesuatu yang puitis, melankolik, dan penuh kepedihan. Segmen “The Survivor” bercerita mengenia wanita yang lelah dengan dunia, dan meninggalkannya begitu saja. “..Dia tinggalkan dunia di belakangnya dari suatu tempat bernama Doctor's Gully...”

Dalam pelayarannya, wanita ini bermimpi, berhalusinasi, dan berperang dengan benaknya sendiri, sementara pembaca mempertanyakan mana realitas yang benar. The Survivor dengan cergas menggunakan sudut pandang orang pertama dan ketiga secara bergantian, yang dengan cara ini kondisi kejiwaan tokoh utama disenaraikan.

Bagian-bagian lain seakan-akan parade seorang novelis yang all-round. Ia bukan hanya pencerita handal, namun seorang sejarawan yang memahami dengan caranya sendiri, dan diatas semua hal; seorang kritikus. “Kapal Karam” adalah malapateka Rakit Medusa yang tenggelam dan bagaimana kemudian malapetaka itu kemudian diubah menjadi seni, lukisan terkenal karya Gericault.

“Gunung” dan Project Ararat mengisahkan petualangan mencari bahtera Nuh, dengan twist ending. Muncul pula seorang korban selamat Titanic dalam “Tiga Cerita Sederhana”--bersama dengan Kisah Yunus yang dimakan Hiu, dan korban Nazi yang terombang-ambing di lautan dalam “St. Louis”.
Bagian yang paling menyenangkan menurut saya adalah “Ke Hulu!”--menceritakan pembuatan film di hutan Amazon. Cerita bergerak melalui surat-surat yang dikirimkan Charlie, aktor dalam film truthspiel kepada Pippa, pacarnya—yang tidak dibalas-balas sampai cerita selesai. Charlie menulis surat dengan kocak, hampir berangasan mengenai amazon, interaksi dengan sesama kru film, dan suku indian yang telanjang, termasuk yang wanitanya. Charlie berusaha menahan untuk mendekati wanita-wanita Indian dengan menanamkan mindset: “mereka pasti penyakitan.”

Melalui “Ke Hulu!”, penulisnya mencoba masuk ke wilayah populer, setelah berlama-lama bermain-main di wilayah serius. Segmen ini mengingatkan pada film Romancing The Stone-nya Michael Douglas; lucu, dan penuh petualangan. Pada “Parenthesis”, kita menemui definisi dari kata-kata cinta, dengan cara yang tidak pernah dilakukan siapapun. Sementara “Mimpi” menggugah suatu otokritik terhadap spiritualisme, dan pemaknaan kembali surga, ketika seorang laki-laki terbangun dan mendapati dirinya berada di surga.

“...Surga demokratis akhir-akhir ini.”
“Apa maksudmu?”
“Kami tidak memaksakan Surga kepada orang-orang lagi. Kalau mereka ingin, mereka bisa mendapatkannya; kalau tidak ya tidak...”

Novel ini sekali lagi adalah novel yang cerdas, menggiring pembaca dengan cekatan menyusuri peristiwa yang dituturkan dengan penuh kejutan, manis, dan rumit sekaligus enak dibaca sampai kata terakhir. Ia ingin berkata bahwa dunia berputar sedemikian rupa dan peristiwa saling berkelindan. “Sejarah berulang, pertama sebagai tragedi, kedua sebagai olok-olok.”

Tugu Kujang Suatu Ketika

Hujan di kota hujan, dan aku menunggumu di taman koleksi, menikmati turun salju, dari kapas yang berjatuhan, dari pohon-pohon tua yang tidak kita tahu namanya, apalagi usianya.

Sore yang orange, rinai hujan gerimis yang indah, yang tak membasahi, takkan kuyup, hanya air-air yang manja, yang menggenang di pucuk daun tertinggi dan menjadi titik-titik kecil di sekeliling kita. Kuserahkan padamu, untuk membuatku nyaman. Untuk membuatku merasa cukup—hanya dengan kehadiranmu.

Tapi saat ini, kau belum juga datang. Ku sudah menyiapkan sebait puisi yang kutulis ketika kuliah berlangsung di ruang kelas yang bisa menggemakan suara-suara. Suara-suara dari yang ada disana, maupun dari yang sudah tak ada lagi. Ruang kelas yang berbau masa lalu, seperti lelumut yang tumbuh di kost kamar sempitku, di balik jendela dimana daun merambat sampai genting, dan hujan selalu melahirkan embun disana. Kamu tahu, kerap kali aku berdiri, dan membiarkan pikiranku kosong kala menikmatinya. Disana.

Kemanakah kamu saat ini? ingin kubacakan puisi ini saat kamu datang. Puisi sederhana tentang kita. Bagaimana kita bisa lupa akan awalnya kedekatan kita—tiba-tiba menjelma kita. Dan kita hanyalah remaja yang sedang mengembara dalam alam pikiran, dan mengisinya dengan ilmu yang kita tidak tahu apakah kita membutuhkannya atau tidak. Tapi toh kita bertahan, sampai tiba saatnya nanti kita berdiri di podium dengan toga.

Kemanakah kamu saat ini? seseorang yang selalu membuatku bangga, seseorang yang independen. Bebas. Bagimu, hidup adalah menggapai kebahagiaan. Aku selalu terpesona ketika kutahu apa cita-citamu: menjadi bahagia. sementara mereka ingin selalu menjadi ekonom, menjadi pengusaha, manager, bankir, wartawan, produser film, menteri, ahli pangan, dan semua yang bisa dilahirkan di kampus kita. Kelak aku tahu memang pada akhirnya yang manusia inginkan hanyalah menjadi bahagia.

Bersama siapakah kamu saat ini? Aku ingin mendengar cerita kamu tentang Gunung Salak yang kamu daki bersama teman-teman Lawalata. Dan kamu begitu berani. Cerita yang sama, yang tak akan pernah aku bosan mendengarnya. dan kamu selalu bercerita dengan binar mata yang selalu bercahaya.

Hujan telah benar-benar berhenti. Maka kuputuskan berjalan menuju tugu kujang. Kulewati daun-daun perdu yang basah, bau tanah basah yang magis, dan gerimis-gerimis dari pohon-pohon tinggi yang bergoyang terkena angin. Tempat ini tak akan pernah sepi, takkan pernah hilang, ia kekal dalam ingatan.

Kalau tidak percaya tanyakan saja pada angkot-angkot hijau. Mereka memenuhi sudut jalan dengan setianya. Seolah tak ada yang lain. Namun, angkot-angkot itu adalah juga saksi kita. Ia mengantar kita ke Galaxy atau Dewi Sartika setiap senin, melewati kebun raya, dimana kita bersumpah tak akan pernah datang kesana berdua. Ia yang tak pernah mengantar kita sampai depan kos, menyerahkan kita pada hujan yang lalu membasahi kita. Satu payung tak pernah cukup untuk kita berdua, tetap membasahi, dan ini terjadi hari sabtu sore—suatu jam kuliah yang sangat tidak menguntungkan. Tapi, lihat sisi baiknya, semakin banyak hal demikian terjadi, semakin banyak pengetahuan tentang romantisme yang kita dapat. Tentang kita. Bersama kamu.

Aku hanya termenung menatap kujang, dan berpikir mengapa ada orang membuat monumen untuk senjata. Dan kota ini begitu akan selalu terasa damai, atau setidaknya begitulah yang akan kukenang. (karena disinilah aku mengenal, dan belajar menemukan sesuatu).

Tapi lihatlah aspal yang masih basah itu. ia membuat warna jingga yang sempurna, dari pantulan langit. Dan alam melambat saat ini, tetap hiruk-pikuk namun dengan frekuensi yang jauh berbeda.

Air yang menggenang menjadi kaca bagi langit, warna merah restoran fastfood menyumbang harmoni lukisan alam saat itu. kamu ingat pohon-pohon tua yang ada disana? Tiang-tiang telepon umum, ATM, dan resto itu. Banyak memori disana, ketika pengetahuan tentang cinta masih sangat lugu, sederhana, dan seadanya. Dan jika kamu ada di sampingku saat ini, aku ingin mengajakmu kesana, sebuah napak tilas yang melodramatik. Bahwa pada masa itu kita pernah ada, kita berarti setidaknya untuk satu sama lain. Bahwa ada malam-malam dimana aku mendengarkan lagu-lagu cinta, dan yang kubayangkan hanya kamu. Hanya kamu.

Lalu aku memutuskan untuk kembali. Kamu mungkin sudah menungguku. Aku tahu aku akan menemukanmu terpekur dengan buku, dan kau akan tersenyum dari balik bukumu, ketika kau mendengar aku datang. Atau aku akan diam saja, duduk menghadapimu yang serius membaca buku, sampai kau merasa cukup dan meneruskan kembali bacaanmu di kost. Setelah itu kita bicara, tentang apa saja. Tentang pembantu kost-mu yang latah, tentang dosenmu yang flamboyan, tentang buku-buku tua yang masih jadi textbook, tentang rapat senat, tentang segala kegiatan kamu, yang begitu kamu cintai. (akulah cinta ke-sekianmu). Karena bersamamu, aku takkan merasa bosan.

Senja ini akan kukatakan saja bahwa aku sangat berterima kasih padamu. Cinta adalah energi terbesar, dan kamu membawakannya untukku. Kamu adalah api yang senantiasa membakar. Kamu adalah matahari yang selalu membuat duniaku benderang, dan karena itu aku tidak mau hidup dalam dunia yang buram.

Aku membawakanmu rangkaian bunga dari rerumputan—kau selalu suka bunga. Langkah-langkah penuh desir, karena aku akan bertemu... baby.

Lalu kulihat kau disana, membelakangiku. Tapi aku tahu itu kamu, dan kamu bersama seseorang yang lain. Cukup lama bagiku untuk menerima kenyataan kalau kamu sedang bersama seseorang yang lain, dan orang itu bukan aku. Kamu memegang tangannya. Ia memegang tanganmu. Dan aku memegang bunga yang sedianya akan kuberikan padamu. Sesuatu membuatku melepaskannya.

Akulah rumput yang menangis. Akulah daun yang meneteskan air hujan. Akulah desau angin yang berbisik resah. Akulah kabut di kala malam merambat. Akulah batu-batu tua yang hanya bisa menjadi saksi, untuk tak diinginkan lagi.
Senja-senja seperti itu adalah senja dengan kesendirian yang sempurna.

Writer’s note: emotions flowing down on me when i wrote this.

Alien, Tabo, and The Missing Sombrero

Kit and Soon

“Jutaan tahun lalu, Alien datang ke Sumatra dan mereka membendung danau dengan daratan, dan jadilah pulau Samosir.

Kit menggelengkan kepala sambil tersenyum tipis. “Orang itu hanya membual. Backpacker Perancis pembual.”
Soon tersenyum bodoh mendengar gerutuan Kit. “Tentu saja ia bergurau. Tapi Toba ternyata melebihi perkiraanku. Disini cukup bagus juga, ternyata.”
“Sure,” putus Kit. “You only know Burley Griffin.”
“Ini seperti laut, dan aku tak pernah tahu kalau ternyata ini adalah dataran tinggi, seperti Genting.” Soon mengedarkan pandang ke sekeliling. Ia melihat bentang alam yang membuat mereka seperti terlingkupi sesuatu. Pulau Sumatera yang dipisahkan Danau Toba, tinggi menjulang, dengan bagian tengah yang membolong seperti kue donat.
Kit ikut-ikut memandang sekeliling. Kedua kakinya menjuntai sampai menyentuh air. Keduanya sedang menikmati air Danau Toba di waktu malam, berjemur tanpa sinar matahari di sebuah Cottage bernama Tabo.
“Mengingatkan pada Grand Canyon,” kata Kit asal.
“Memangnya pernah kesana?” tanya Soon.
Kit mengangkat bahu. “Mungkin,” kata Kit dengan malas.
Soon menghela nafas.

Esoknya, setelah sarapan, Soon memaksa Kit main pingpong yang ada di cottage itu. Kit menolak, namun akhirnya ia mau juga setelah Soon memaksa.
“Untuk apa kita main pingpong?” keluh Kit sambil memukul bola kecil itu.
“Ayolah, sebentar saja,” kata Soon.
Kit terkekeh. “Kamu tidak bisa main!”
Namun Soon tampaknya memang ingin berkeringat. Ia tak peduli kalau sering memukul bola out.
“I am tired, dan olahraga bisa menghilangkan kepegalan.”
“Kita baru sampai, dan kamu sudah letih?” Kit mendelik.
“Kemarin kita terlalu terburu-buru di Medan. It wasn’t a citi tour at all. And it made me tired.”
“Kita tidak punya banyak waktu, yang penting kita sudah mengunjungi banyak tempat di sana, the palace, the mosque, the temple, and everything.” Kit menjawab dan meladeni permainan Soon dengan malas.
“Saya cukup suka dengan Medan. Mirip dengan Penang ya?” tanya Soon.
Kit berpikir sejenak. “Ya, i guess.”
Mereka lalu bermain dengan lebih serius. Tawa terdengar, di hari yang tidak cukup cerah untuk melahirkan langit biru. Beberapa turis sesekali melirik mereka—sepasang sahabat yang tampak dekat dan akrab.

Siang hari, Annette—pemilik Tabo, memberikan mereka peta pulau. Soon dengan naluri petualangannya yang naif, terlihat bergairah. Kit hanya maklum melihat sahabatnya berjalan cepat-cepat di depannya, menunjuk ini dan itu, gereja-gereja, rumah-rumah adat, patung-patung dan kerbau-kerbau—sebelum akhirnya mereka tidak lagi mengerti sedang berada dimana.
Kit merebut peta dari Soon, dan memutuskan bertanya pada seorang penduduk lokal berkulit cokelat. Pria itu dengan logat tak ramah, ternyata seorang yang ramah, ia menawarkan diri untuk mengantar Kit dan Soon ke jalan raya besar, yang bisa membawa mereka ke Tomok, sebuah pelabuhan di Samosir.
Kit menyambut ide itu sebagai sebuah jalan keluar yang cepat.
Di tengah jalan, Kit meminta pria batak berhenti.
Soon mengedarkan pandangnya, di tepi sebuah tebing. Danau Toba tampak seperti lukisan alam, pada sebuah kartu pos. Ia mengerti mengapa Kit minta berhenti, dan mengapa Soon tampak menatap kejauhan dan terdiam. Sebuah perahu kecil tampak bagai titik kecil dari ketinggian.
“Negeri yang indah,”desisnya.
Setengah jam kemudian, mereka naik angkot panas dari jalan utama pulau yang berdebu, sampai tiba di Tomok. Soon mengeluh lapar dan mereka makan siang di Rumah Makan Islam Murni. Kit awalnya ingin makan di Rumah Makan Sederhana, tapi lalu ia urungkan ketika melihat tanda salib di dinding. Kit membayar dan mengeluh karena ia merasa harga makanannya terlalu mahal.
Mereka lalu mengunjungi pasar tradisional yang ada disana, dan Soon yang paling excited.
“Aku merasa seperti berada di Afrika. Di sebuah pasar-pasar kotor dalam film-film pencarian harta karun,” kata Soon. “Eksotik!”
“Dan ini petanya,” Kit menyambut gurauan Soon.
Soon tertawa. Ia memotret sayuran yang diperjualbelikan—cabe, bawang, atau banyak lagi yang tidak ia ketahui namanya, dan tanah becek, yang dimatanya sebagai sesuatu yang eksotik.
Kit tahu persis ini, dan ia menghargai imajinasi Soon.
Setelah berputar-putar selama setengah jam, mereka naik ke tebing dan mengunjungi situs-situs patung batak.
“It was nice,” kata Kit. “Tapi budaya animisme-nya tidak bisa membuat saya merasa relate.”
“Ya, dan sedikit menakutkan juga. Dimana-mana banyak kerbau, apakah kerbau binatang yang disucikan disini?” tanya Soon.
Kit menggeleng. “Saya tidak tahu.”
Mereka meneruskan berjalan-jalan di sepanjang kios-kios penjual cendera mata, kaos-kaos, gantungan kunci, dan ukiran-ukiran. Ada satu yang tidak ditemukan Kit: Garam Mandi aromatheraphy.
“Ini bukan Bali,” kata Soon menghibur.
Kit diam saja. Ia sudah kecewa ketika penjual kaus yang ditawarnya tidak mau menurunkan harga seperti yang dimintanya—tidak seperti Soon, Kit adalah penawar ulung. Entah bagaimana Kit selalu menang, dan penjual selalu merelakan barang dagangan mereka dibayar dengan harga jatuh, dan wajah mereka menjadi masam. Tapi di pulau ini, Kit tidak bisa memamerkan keahliannya pada Soon.
Saat itulah Soon merasa mengenali beberapa wajah yang sedang melihat-lihat kerajinan tradisional di sebuah kios. Soon membisiki Kit. Kit melihat ke arah yang dimaksud Soon.
“Bisa saja,” kata Kit. “Atau barangkali mereka dari Hongkong, atau Singapore.”
“Aku tadi dengar mereka bicara Hokkien,” kata Soon.
Kit sebenarnya ingin tertawa, tapi ditahannya.
“Kamu bahkan nggak bisa makan xiao long pao dengan benar, jangan coba menebak-nebak asal seseorang hanya karena dialeknya,” kata Kit.
Soon tetap memperhatikan ketiga orang yang lalu salah satunya menatap balik.
“Bagaimana kalau kita tanya mereka?” kata Soon.
Kit diam saja.

Ketika mereka memutuskan berjalan menuju cottage, Soon melihat-lihat peta dan berkata pada Kit. “Saya belum menemukan sesuatu yang spektakuler disini,” kata Soon. Ia lalu mengusulkan agar mereka mengunjungi air terjun. “Tapi Annette bilang sedang kering.”
Saat mereka berdebat seperti itu, dua orang tukang ojek menghampiri mereka, dan Kit dengan kemampuan bahasa Indonesia terbatas menanyakan bagaimana caranya untuk mencapai air terjun. Terjadi tawar menawar beberapa lama, sampai mereka setuju mengantar Kit dan Soon dengan tarif 60.000 IDR sampai kembali ke Tabo.
Kit dan Soon menumpang ojek yang berbeda. Mereka dibawa menyusuri jalanan dengan belokan tajam dan berliku-liku dengan pemandangan Danau Toba yang fantastis sebelum akhirnya diturunkan di sebuah tempat yang kemungkinan lokasi air terjun.
Tapi ketika Soon melihat ke atas tebing tinggi, ia tidak melihat apapun. Wajahnya langsung terlihat masam. Kit langsung merasakan kekecewaan Soon.
“Are you ok? You looked dissapointed,” kata Kit.
“No, lah. Pemandangannya bagus kok,” kata Soon. Namun Kit tahu bahwa mata Soon tidak bisa berbohong.
Soon menjadi agak pendiam. Kit sebenarnya berharap bisa melihat air terjun juga, tapi ia tidak mau kelihatan kecewa demi sahabatnya. Dua tukang ojek malah menceritakan legenda tempat itu dan kekeringan yang terjadi sepanjang empat bulan terakhir yang membuat air terjun yang indah mengering.
Karena tak ada yang bisa dilakukan disitu, mereka memutuskan menuruni bukit, mengambil beberapa foto dan kembali ke Tabo. Entah hanya perasaan Soon saja, tapi ia merasa perjalanan pulang menjadi lebih jauh.
“Tukang ojek itu tahu kalau sebenarnya tidak ada air terjun, namun ia tetap membawa kita kesana,” kata Soon setelah mereka duduk santai di lobby. Kit merasa tidak enak hati melihat sikap Soon. “Mereka menipu kita,” tambah Soon.
Kit sangat tahu, dibalik sikap periangnya Soon bisa tiba-tiba diam seperti mati, terutama jika ada yang mengganggu suasana hatinya. Kit memesankan sebuah cake untuk mereka berdua, dan ketika di sore yang mendung itu Mooncake datang, mereka menikmatinya dalam diam.
Kit memiliki ide yang bagus. “Main pingpong yuk!”
Soon berubah antusias.
“Aku akan pura-pura kalah,” kata Kit dalam kegembiraan ketika Soon mulai menemukan moodnya kembali.
“No way!” kata Soon.
Soon tetap kalah dalam permainan yang skornya mereka hitung. Mereka taruhan untuk sesuatu yang akan diputuskan kemudian.
Menjelang senja, Soon dan Kit berlatih Yoga di bawah pohon yang ada di depan lobby—sehingga semua orang bisa melihat mereka. Soon yang lebih jago dari Kit banyak tertawa ketika Kit salah melakukan sebuah gerakan.
Seorang wanita India bersari, beserta suami dan anaknya berada di area itu. Seorang Jepang membawa kamera mondar-mandir di depan mereka—lalu ia memfoto Soon dan Kit tanpa sepengetahuan mereka.
Soon memarahi Kit yang dimatanya tampak tidak serius.
“I am serious,” kata Kit.
“Bagaimana dengan denyut nadi kamu? ada peningkatan?” tanya Soon.
Kit mengangguk.
Mereka telah sampai pada Suryanamaskar B ketika sepasang turis bule mendekati mereka.
“Excuse me. Can we join?” kata si cewek.
Soon menoleh dan lalu melihat Kit yang memejamkan mata dalam posisi Warior 1. Soon mengangguk. Si cewek terlihat senang. Si cowok lalu mengambil matras dan kembali beberapa saat kemudian.
Sesudah mendapat dua tambahan murid baru, Kit kelihatan lebih serius. Soon tersenyum melihat penderitaan sahabatnya.
Sampai empat puluh lima menit kemudian, mereka baru berhenti tanpa a chanting aum. Wanita India bersari, barangkali bangga melihat orang-orang asing mempraktekkan budayanya, sementara turis Jepang dengan kameranya memotret beberapa kali.

Malam terakhir di Samosir, saat mereka makan malam dengan ikan bakar, mereka kembali melihat Francois, backpacker Perancis sedang membaca buku dalam cahaya yang tidak cukup kuat. Soon dan Kit mengambil tempat duduk di sebelah meja yang digunakan Francois, kemudian berpura-pura cuek dan fokus pada makanannya.
Dua orang bule duduk di sebelah Francois—mau tidak mau Francois menoleh dari bukunya dan mereka mengobrol. Kepada bule itu, Francois mengaku sedang menunggu istrinya yang akan datang esok hari. Namun Kit menangkap kalau Francois tidak mau membicarakan hal itu.
Ia malah mempromosikan tempat-tempat lain yang bisa dikunjungi di Indonesia seperti Sulawesi, sampai Gunung Krakatau.
“Kelihatannya ia sangat mencintai negeri ini,” kata Kit.
Soon tersenyum. “Kita juga kan?”
Kit tampak tersenyum tulus. Soon juga ikut-ikutan tersenyum. Kit sekali lagi melihat bebukit yang tampak kelabu di kejauhan, melahirkan aroma mistis yang samar-samar.

Malamnya, Kit tahu Soon akan mengajaknya main pingpong lagi—Kita tidak mengerti mengapa Soon jadi suka main Pingpong. Ia mendengar bebunyian musik di kejauhan, lalu mengajak Soon mencari sumber bunyi itu.
“Aku tahu Kecak di Uluwatu akan sangat sulit untuk dilupakan,” kata Kit.
Soon menyeringai. Ia membayangkan saat senja terindah itu. “Kecak, bisa kita kesana lagi?”
Tapi saat itu mereka berdua sudah sampai di sebuah bar. Kit dan Soon masuk, mengambil tempat duduk, dan mulai menonton sebuah pertunjukan lagu-lagu rakyat Batak.
“We missed the batak dance,” kata Soon.
Seorang pria dengan wajah letih dan mata sayu memperkenalkan tujuh orang laki-laki yang kemudian mulai bernyanyi. Soon melirik ke kiri kanan, dan ke belakang—melihat bagaimana penonton bereaksi.
“Di sini lebih banyak orang dibandingkan dengan di Tabo,” kata Soon.
“Mungkin karena lebih murah,” jawab Kit.
Lagu-lagu diperdengarkan, tidak dengan teknik unison. Tiba-tiba Soon tertawa-tawa.
Kit meliriknya. “Apa yang lucu?”
“Mengapa aku merasa sedang berada di meksiko? Orang-orang itu mirip seperti orang Amerika Latin. Yang kurang hanya sombrero saja,” kata Soon.
Kit mengamati para penampil dengan lagu-lagu yang tidak ia mengerti dan berpikir barangkali Soon benar.
Soon melambaikan tangan pada pelayan, yang kebetulan lewat tak jauh dari mereka membawa nampan berisi botol Bir Bintang.
“Saya mau teh botol,” kata Kit. Ia tahu Soon tidak minum alkohol.
Pelayan menggeleng. “Disini tidak ada teh botol,” kata pelayan itu. Ia lalu meninggalkan Kit dan Soon untik memilih minuman lain.
Soon kembali memperhatikan gaya kocak bapak presenter. Bahunya kembali terguncang, menahan tawa. Kit mendelik pada sahabatnya, sekaligus lega karena mood Soon telah benar-benar kembali.
“Ia mengingatkanku pada droopy,” kata Soon. “Droopy yang nyata.”
Soonn tertawa lagi. Kit menatap laki-laki yang berbicara dengan gaya tidak antusias, mengantuk, dan kelopak mata yang jatuh—setidaknya ia punya kelopak mata.
“Siapa droopy?” tanya Kit.
Soon terus saja tertawa.

Siang itu mendung saat Kit dan Soon check out, dan langit mencurahkan hujan saat mereka berada di ferry. Beberapa bagian terpal bocor, dan diantara para penumpang mereka melihat Francois. Sendirian.
“Sepertinya ia memang datang kesini sendirian,” kata Soon.
“Lalu mengapa ia bilang sedang menunggu istrinya?” tanya Kit.
Soon diam saja. Hujan membuat segalanya terasa ... entahlah. Soon dan Kit tak banyak bicara lagi sesudahnya. Keduanya berbagi earphone dari Ipod Soon, mendengarkan lagu-lagu pop Indonesia yang disukai Soon. Membiarkan angin meniup rerambut, melekatkan imajinasi tentang persahabatan yang tak akan lekang.

Hujan masih turun ketika ferry merapat di Parapat. Kendaraan yang akan membawa mereka ke Medan, sudah menunggu. Perjalanan yang seharusnya empat jam berubah menjadi tujuh jam. Kit beberapa kali terlihat marah, menyumpah dan lain-lain. Sopir travel itu disebutnya 'bodoh'.
“Ternyata lotus itu akan kuncup kalau tidak ada matahari ya?” Soon berusaha mengalihkan pembicaraan.
Kit lalu memilih tidur, sambil mendengarkan lagu-lagu sendu Faye Wong.
Ketika mereka tiba di jalan Sun Yat Sen menjelang jam 8 malam, keduanya langsung check in, membersihkan diri sebentar lalu dengan becak bermotor, mereka menuju Sun Plaza.
“Mengapa kita selalu pergi ke mal?” tanya Soon ketika mereka sudah tiba di mal itu.
“Kamu bilang mau pergi ke mal bersamaku?” kata Kit.
Soon melihat sebuah restoran Chinese dan memiliki sebuah ide. “Akan kutunjukkan bahwa aku bisa makan xiao long pao dengan benar,” kata Soon.

Esok harinya, tepat jam 11.00 mereka tiba di KLIA. Soon dan Kit berpisah dengan taksinya masing-masing. Kit memeluk sahabatnya dan tersenyum. Matanya berbinar-binar membayangkan rencana perjalanan berikutnya. Kit masuk ke Taksi. Soon melambaikan tangan, merasa sedikit kosong.
Soon masuk ke Taksi yang akan membawanya ke kawasan Petaling Jaya. Ia akan menelepon Mei, pacarnya, mengabarkan bahwa ia telah datang. Ia mencari-cari buku agendanya, dalam taksi yang berjalan. Namun ia tak menemukannya. Ia kembali teringat pada Soon yang sangat organized, teratur, dan mr planning diantara mereka berdua.
Bayangan Kit menekuri buku agendanya untuk merencanakan ittinerary mereka terus muncul di kepala Soon.

Francois
Hujan. Hujan lagi, setelah kemarin Aku melintasi Danau Toba dalam sebuah ferry, dan hujan membuat nuansa laut yang kental. Aku terdiam lama, memandang hujan yang jatuh di permukaan laut dan daratan di kejauhan yang dipeluk kabut. Telah kucukupkan masaku di Toba Lake, dan kini kusiapkan perjalanan menuju tempat eksotik lainnya di negara paling eksotik di semesta.
Dengarlah sayang. Ada panggilan untuk maskapai penerbangan kecil di bandara ini. Mereka berangkat ke kota-kota kecil, yang tidak kita tahu namanya, dan mungkin takkan kita temukan di peta. Dalam hujan, kubayangkan adalah warna hijau dedaunan yang seolah bisa kuhirup aromanya, dahan-dahan yang memilin di sebuah hutan lebat, dimana binatang-binatang hidup disana, tanpa perlu merasa khawatir, tanpa perlu merasa takut.
Dan aku disini, dalam kerinduan yang teramat sangat kepadamu, kukirimkan salam untuk negeri yang sedang menyambutmu sekarang, sebuah negeri yang melebihi negeri-negeri terindah di dunia, dan karenanya membuatmu layak berada disana....

READ ME!

Sudah beberapa hari ini, Ana membaca majalah “Cerita”, ia sudah melahap habis hampir semua cerita pendek yang ada di majalah teenlit itu, kecuali cerita yang berjudul “Bacalah Aku”. Ini karena pada kalimat pertama ia harus berkenalan dengan tokoh utama bernama Rafael. Nama itu adalah nama yang membuat hatinya berdarah-darah! Ana tidak mau melanjutkan membacanya.
Padahal Rafael dalam cerita itu pastinya bukanlah Rafael dalam kehidupan nyata Ana: seorang Rafael yang berkenalan dengannya di mal, Rafael yang sejak awal bertatapan mata dengan Ana, telah mampu membuat Ana merasa nyaman, tenang, dan membuat Ana percaya bahwa cinta pada pandangan pertama itu ada.
“Aku akan segera menikah,” kata Rafael beberapa bulan yang lalu.
“Tidak sekarang, aku masih kelas dua SMA,” kata Ana, dengan hidung kembang kempis karena bahagia. Perasaan cinta yang meluap-luap membuat Ana tidak mampu menyimak dengan benar apa yang dikatakan Rafael.
“Tapi, tidak dengan kamu,” kata Rafael, sambil melihat ke arah lain; anak-anak muda, berpasang-pasangan berjalan dengan berpegangan tangan, hilir mudik di luar kafe itu, pada suatu malam minggu yang adalah malam pameran cinta, di koridor mal, di restauran atau kafe dimana pasangan duduk berdua sambil makan malam berdua, seperti ia dan Ana.
Rafael juga tidak melihat ini: wajah Ana yang seperti karet dimasukkan dalam lahar yang berpijar mendengar apa yang dikatakannya.
“Jadi?”
“Maafkan aku untuk tidak mengatakannya dengan cara yang benar, my Ana,” kata Rafael. “Tapi, sesungguhnya kita tidak bisa bersatu, aku sudah dimiliki wanita lain. Kami akan menikah segera sesudah aku lulus S2-ku. Aku tidak merencanakan untuk juga jatuh cinta pada kamu, tapi...”
Cara yang benar?
Dan sekarang Ana sedang memikirkannya. Tidak ada cara yang benar, jika itu menyangkut cinta. Cinta seperti jelangkung, ia datang tak diantar, pulang tak dijemput. Ana benci sekali pada perumpamaan yang norak sekali itu, dan bertambah benci ketika ia sendiri yang mengalaminya.

Bacalah Aku! Bacalah Aku!
Tapi judul cerpen itu terngiang terus di kepala Ana. Bukan karena ceritanya yang bagus—ia malah belum sempat membaca lebih jauh dari paragraf pertama. Tapi karena pada paragraf pertama itu, ada nama Rafael. Rafael yang begitu dirindukannya, dan akan segera pulang ke Jakarta, dalam beberapa minggu lagi. Tapi hati Ana terasa perih. Ana tahu, ia akan kembali untuk Rosy, tunangannya, bukan untuk Ana. Rafael akan menikah dengan Rosy, dan bukan dengan Ana.
Malam itu, seperti malam-malam yang lain, Ana sukar memejamkan mata. Ia merasa menyesal telah membeli majalah “Cerita” dan menemukan nama Rafael. Kini ‘Rafael’ ada di sebelahnya, sinar lampu dari luar jendela yang samar menyinari cover majalah itu—dan didalamnya ada nama Rafael yang melahirkan keresahan melebihi malam-malam sebelumnya. Padahal Ana tidak memiliki apapun yang memunculkan kenangan akan Rafael di kamarnya, tidak selembar foto, tidak sehelai surat. Biar saja, toh Rafael memang tidak akan pernah menjadi miliknya!
Ana menyalakan lampu meja, dan membuka laci. Ia mengambil gunting dan memegangi empat halaman cerpen “Bacalah Aku”, gunting itu sudah siap mengoyak majalah itu, tapi tangan Ana berhenti di udara. Ia membalik beberapa halaman, menarik nafas panjang dan akhirnya mengambil steples dan men-staples empat halaman yang diisi cerita itu. Dan sebelum tidur, ia mengetik pesan pendek. Good nite, babe.
Sebuah sms masuk ke HPnya beberapa menit kemudian. Nite, sleep tight, my Ana.

“Gue udah gila ya, Re?”
Rea tersenyum. “Bisa jadi”.
Ana mendesah lemah.
“Lupain Rafael,” kata Rea sambil menyeruput juice alpukat di kantin sekolah mereka.
Ana menarik nafas berat, dan ketika menghembuskannya, ada rasa sakit yang mengiringinya nafasnya. “Gue nggak pernah dicintai dan mencintai dengan cara seperti itu,” kata Ana.
“Ana, jangan terus menerus melukai hati lo sendiri, Rafael bukan milik lo. Lo tahu itu kan?”
“Iya, tapi kan...”
“Tapi apa lagi? Lo mau bilang dia cinta ama lo? Dia nggak bisa lupain lo? So what? Lo akan terus punya alasan untuk menyangkal kalau sebenarnya hubungan lo ama Rafael itu sudah nggak ada.”
“Tega banget sih lo, Re!”
Ana berdiri dan berlari keluar kantin, air mata berderai di pipinya. Ana menabrak seorang pelayan yang membawa piring-piring kotor, dan piring itu berjatuhan di lantai. Suara genderangnya terdengar nyaring, kantin sunyi senyap untuk sesaat ketika murid-murid SMU yang sedang beristirahat itu menghentikan obrolan mereka dan melihat apa yang telah terjadi.
Rea memegang kepalanya dengan dua tangannya. Kasihan sekali Ana, pikirnya.

Gue udah gila ya Re?
Mungkin.
Ini adalah malam yang lain lagi. Namun dengan ritual yang sama yang selalu dilakukannya: mengirim sms pada kekasih. Babe lagi apa?
Ana menunggu. Dan menunggu. Terus menunggu. Lima menit, sepuluh menit. Setengah jam. Hatinya sakit, jiwanya terlukai ketika tidak ada bunyi sms masuk atau getar di HPnya.
Lalu pikirannya mulai membayangkan banyak hal. Bahwa Rafael akan meninggalkannya saat ini, tidak ada sms sama sekali, tidak ada email. Tidak ada pemberitahuan apapun. Seperti dulu ketika laki-laki itu memberitahunya bahwa ia sesungguhnya punya tunangan.
Ana melempar majalah “Cerita” ke tembok. Braaak! Biarlah amarahnya sedikit terlampiaskan malam ini. Ana lalu menatap langit-langit, mencoba mencari-cari ingatan yang manis, untuk meredakan gundah hatinya.
“Nama saya Ana. Mas namanya siapa?” tanya Ana sambil menggenggam erat tangan seorang laki-laki muda dengan senyum yang membuatnya terlihat seperti laki-laki pemalu. Laki-laki itu mengajaknya berkenalan.
“Saya Rafael. Saya sedang bingung karena ini pertama kalinya saya ke mal ini. Asyik juga ya suasananya.”
“Kok bisa? Ini kan mal terbesar di Jakarta.”
“Sudah setahun saya kuliah di Australia,” kata Rafael. “Sekarang lagi balik ke Indonesia untuk penelitian.”
Keduanya sedang duduk bersandingan di bangku sebuah mal. Tidak ada percakapan apapun sampai lima menit kemudian, tapi kemudian Rafael mengajak Ana makan di sebuah kafe. Seminggu kemudian, mereka makan malam bersama di kafe yang lain, lalu Ana dan Rafael menghabiskan malam minggu berjalan-jalan di Alun-alun Indonesia, lalu nonton di Blitz, makan eskrim di Ragusa, makan malam di Kafe Pisa, makan siang di Bakmi GM, jalan-jalan ke TIM malam-malam, memilih batik di Batik Keris. Batik itu berwarna pink, dan kelak ketika Ana lewat sendirian di depan Batik Keris, ia akan melongok ke dalam toko itu, melihat kembali batik yang sudah pernah dibelinya bersama Rafael.
Dalam waktu yang singkat itu, tidak sulit bagi Ana untuk jatuh cinta pada Rafael yang pintar, sensitif, dan agak kikuk. Meski demikian, Rafael adalah tipe cowok matang yang mampu menghilangkan perasaan Ana yang sering merasa tidak nyaman dengan dirinya sendiri. Rafael yang berwawasan luas, tidak ada bandingannya dengan teman-teman SMA Ana.
Ana mengambil majalah “Cerita” yang tergeletak di lantai. Sudah dua jam di atas tempat tidur, berbaring ke kanan dan ke kiri, namun mata Ana tak juga terpejam. Ana menyalakan lampu meja, duduk, lalu meletakkan majalah itu di pahanya, membuka lembar demi lembar sampai pada cerpen yang berjudul “Bacalah Aku”—halaman yang ia steples rupanya sedikit terbuka. Ada sebuah paragraf mengintip disitu, Ana mau tak mau membacanya, dan bersama karakter Rafael dalam cerpen itu, ia mengenang Rafael, sang pujaan hati. Rafael yang lusa akan pulang ke Jakarta, Rafael yang dicintainya dengan secinta-cintanya.
....Lalu ada masa ketika Rafael menjadi begitu lelah. Ia menjadi begitu lelah atas hati dan perasaan sendiri, seperti juga kekasihnya. Tidak ada orang yang bisa begitu kuat menjalani semua ini, tidak manusia biasa seperti Rafael dan dia. Maka, ketika Rafael menginginkannya hanya untuk makan malam yang sederhana, ia tak ada. Dan ketika Rafael menginginkannya pada sebuah sore, untuk dilalui menyusuri deretan pepohonan besar di kota yang selalu disebutnya membosankan, diapun tak ada. Rafael dan dia hanya ada dalam pikiran satu sama lain, namun anehnya, Rafael tak bisa lupa, ia tak bisa lupa.
Perasaan apakah ini?
Lalu mendadak Rafael begitu rindu, hidup terasa teramat pahit, ketika Rafael dan dia dengan kompak merasa tersesat dalam keterpisahan ini. Tangisan. Ada janji-janji, kata-kata manis, senyuman. Dan jikalau satu sama lain lebih berani, mereka akan meninggalkan dunia masing-masing, untuk bergabung dalam satu dunia. Namun ternyata tidak bisa begitu, tidak lebih banyak kemudahan dibandingkan yang Rafael kira. Hidup itu mahal, seperti kata ‘selamanya’...

“Hari ini kamu tidak usah pergi sekolah. Mama akan bawa kamu ke dokter,”
Ana mendelik ke arah Mamanya. “Ana baik-baik saja kok, Ma!”
Mama memotong-motong roti bakar dengan pisau, sambil mendengus ke arah Ana, merasa terganggu dengan nada bicara anaknya yang sedikit menantang.
“Oke, kamu tunggu Parmin. Ia sedang mengantar Papamu ke kantor. Parmin akan mengantar jemput kamu ke sekolah.
“Papa? Itu suami mama, bukan Papaku.”
“Oke, Mama sudah bosan kita bertengkar tentang hal ini. Tapi, Mama minta kamu hapus riasan kamu.”
“Riasan apa?”
“Apa yang kamu pakai di matamu sampai seperti ada lingkaran hitam seperti itu? Kamu seperti pecandu narkoba, Ana! ”

“Re, Mama nuduh gue nge-drug. Apa gue emang kelihatan seperti itu?”
Rea menatap sahabatnya. “Gue nggak tahu seberapa parah keadaan lo, tapi ANA, DEMI TUHAN, LUPAKAN RAFAEL!”
“Re, kok lo gitu sih?”
Ana mulai menangis. Untung saja saat itu mereka saat itu sedang berada di rumah Rea yang sepi sehingga Rea bisa berteriak kencang dan Ana bisa menangis sejadi-jadinya. Rea sebenarnya merasa bersalah melihat Ana menangis, tapi ia hanya berdiam diri saja. Ana mengambil tas yang diletakkan tak jauh dari tempat tidur dan mengobrak-abrik isinya. Ia lalu mengeluarkan semua isinya, buku-buku pelajaran, handphone, dompet, majalah “Cerita” yang kelihatan sudah sangat lecek, pembalut wanita, sebelum menemukan apa yang dicarinya: tisu.
Ana menghapus ingus dari hidungnya dengan tisu itu, sementara Rea hanya bisa melihat ranjangnya yang dipenuhi barang-barang dari tas Ana. Rea mengambil majalah “Cerita” dan membuka lembar demi lembar halamannya dan menemukan beberapa halaman yang disteples. Ia baru berusaha melepas halaman itu satu persatu ketika tiba-tiba Ana merebut majalah itu.
“Pengarang macam apa yang memberi judul ‘Bacalah Aku’ pada cerita karangannya. Seperti tidak ada judul lain saja! Pengarang itu seperti pengamen yang bernyanyi dengan buruk di bis kota dan meminta uang pada para penumpang atas suara sengaunya itu!” teriak Ana sambil memasukkan majalah itu ke dalam tasnya. Air mata Ana sudah tidak mengalir lagi, tapi sebagai gantinya, wajah Ana seperti matahari yang merah dan membakar.
“Ana, lo nggak apa-apa kan?”
“Gue suka majalah ini! Tapi kenapa cerpen jelek ini harus masuk? Editornya sedang mabuk atau apa?”
“Na, sumpah deh lo nyeremin banget. Gue anter lo pulang ya?”
Ana lalu mulai menangis kembali. Rea memeluk Ana pelan dan menepuk-nepuk punggungnya.

“Na, ini Miky, cowok paling ganteng di sekolah kita. Katanya dia mau jalan-jalan ama lo abis pulang sekolah.”
Ana menatap orang yang diperkenalkan sebagai Miky itu. Miky tersenyum lebar, dan dengan pandangan matanya yang teduh, menatap Ana yang sedang mengaduk-aduk minumannya dengan kasar,
“Na, lo mau kan? Lo mau ya!” Rea mengulangi permintaannya.
“Gue mau. Kita jalan-jalan ke Alun-Alun Indonesia ya? terus nonton di Blitz, makan siang di Bakmi GM, terus ke Ragusa, beli batik warna pink di Batik Keris, jalan-jalan ke TIM, pulangnya makan malam di Kafe Pisa!”
“Na, udah deh Na. Ini Miky Na, bukan Rafael.”
“Oh Miky ya? Hai Miky tapi aku bukan Mini.”
Miky mundur perlahan. Wajah itu menampakkan ekspresi bingung. “Sorry ya Re, gue nggak bisa.”

“Na, lo masih waras kan?”
Ana tidak menjawab. Ia merebahkan dirinya di atas ranjang besar di kamarnya, masih mengenakan seragam putih abu-abu. Perutnya kembang kempis, nafasnya mengalun dengan lembut. Ana menatap langit-langit, terlihat sangat letih.
“Rafael udah ada di Jakarta, Re. My Rafael. Minggu depan dia akan menikah dengan Rosy. Dia masih sms gue semalam. Gue masih sayang ama dia. Gue masih cinta. Gue masih sayang. Gue cinta...”
Tak lama kemudian, Ana tertidur. Rea diam-diam membuka tas Ana dan mengambil majalah “Cerita”, membuka halaman yang di-steples dan menemukan cerpen berjudul “Bacalah Aku”.
....Setiap hari Rafael terbangun lebih dulu, lalu ia mengirimkan pesan singkat, ketika dia masih tertidur. Pesan-pesan itu lalu tak sempat terjawab, meluluhlantakkan dunia, menghancurkan rasa. Rafael merasa begitu tersakiti. Diapun merasa begitu tersakiti.
Rafael masih menyimpan sms-sms itu, dan masih merasa begitu menyayanginya, setiap detik, setiap menit, hari-hari berganti, namun ikatan antara Rafael dan dia, ternyata makin kuat. Entah bisa terlepas atau tidak, Rafael tak mau memikirkan ini. Mungkin waktu juga tidak akan bisa menjawabnya..
Namun, Rafael diam-diam bersyukur pada Tuhan. Sudah menemukan seseorang untuk dicintai, dan juga mencintainya. Itulah perasaan terhebat. Rasa itu, perjalanan itu, nama itu, negara itu, kalimat-kalimat bernada sayang, kecemburuan, takut kehilangan, dan diinginkan. Rafael merasa berarti. Barangkali untuk pertama kalinya sepanjang hidupnya.
Ada pula masa-masa ketika dia menjadi terang dalam gelap dunianya. Ketika dia menjadi huruf-huruf yang Rafael tulis dalam cerita cinta, ketika dia menjelma imajinasi dan bayangan yang ideal tentang kebahagiaan, memenuhi kepala Rafael untuk dituangkannya dalam bentuk cerita cinta. Ketika Rafael ingin orang tahu, Rafael ingin manusia membaca kisah pilunya dan ikut merasakan: Bacalah Aku. Bacalah.

Sesudah membaca cerita itu, Rea membangunkan Ana. Ia mengguncangkan tubuh Ana. Ana menggeliat dan dengan malas membuka matanya.
“Na, bangun. Lo nggak sendiri.”
Ana menatap Rea sambil masih berbaring. Ana menggelengkan kepalanya pelan. Rea mengacungkan majalah “Cerita”. Ana menutup wajahnya dengan bantal. Rea merebut bantal berwarna pink itu.
“Na. lo harus dengarin gue! Gue udah baca cerpen ini. Aneh memang, tapi secara kebetulan Rafael dalam cerita ini juga mengalami long distance. Itu artinya lo nggak sendiri Na. Jangan bersedih terus. Atau lo mungkin benar-benar harus masuk ke rumah sakit jiwa.”
“Re, kalau lo mau menghibur gue, bukan begini caranya.”
“Maksud gue, cinta memang nggak harus selalu indah dan happy ending, Na. Baik di kehidupan nyata maupun di dunia fiksi, selalu ada penderitaan karena cinta. Tapi begitulah hidup Na. Sudah digariskan. Ana, lo sahabat gue, dan gue tahu lo orang yang nggak selemah itu. Lupakan Rafael, Na. Masih banyak cowok yang lain.”
Ana bangun dan menyandarkan punggungnya di ujung tempat tidur. “Lo mau tahu kenapa gue nggak mau lupain Rafael?”
Rea mengangguk. “Ya, please. Cerita.”
“Rafael itu cinta pertama gue. Gue takut kalau gue melepaskan Rafael, tidak akan ada lagi orang yang akan bisa mencintai gue lagi...”
“Na, lo salah banget. Lo pikir Rafael akan senang ngelihat lo kayak gini. Please Na, jangan pernah berpikiran seperti itu lagi.”
Ana menatap sahabatnya erat-erat.
“Ana, cerita Rafael dalam cerpen ini endingnya emang sedih, tapi yang membuatnya jadi seperti itu kan pengarangnya! Coba deh Na, lo pikir.”
Hening sejenak.
“Kalau lo sendiri mau happy ending atau sad ending buat hidup lo?”
Pandangan Ana menerawang ke luar jendela kamarnya. “Mungkin happy ending.”
“Kok mungkin? Harus happy ending dong! Ana, kita ini kan manusia, bukan karakter dalam cerita yang bisa dimenderitakan pengarang, jadi kita harus bisa dong menentukan ending hidup kita sendiri?”
Mendengar kata-kata itu, Ana spontan memeluk Rea. Rea membalas dengan sama eratnya.

Sopir mengemudikan mobil Ana dengan terlalu lambat. Ana dan Rea duduk di kursi belakang. Ana membuka pesan singkat di Hpnya. Maafkan aku My Ana.
Ana menghela nafas panjang.
“Rafael sms lo lagi?” tanya Rea.
Ana mengangguk.
“Ubahlah konteks komunikasi lo,” kata Rea. “Dia telah menjadi suami seseorang, tapi dia mungkin masih bisa menjadi orang yang istimewa buat lo, seperti banyak orang istimewa lain yang akan datang dalam hidup lo.”
Ana menatap keluar jendela, masih terlihat murung.
“Na, lo bisa ya?”
Ana kembali mengangguk. Dan setengah jam kemudian mereka sudah berada di gedung resepsi dimana Rafael dan Rosy bersanding dalam pakaian adat, berada di pelaminan, didampingi orangtua masing-masing, tampak cocok dan serasi.
Di barisan yang sedang mengantri itu, Rea membisiki Ana. “Na, lo harus bisa. Gue di belakang lo.”
Barisan terus berjalan. Ana akhirnya sampai di depan Rafael.
“Selamat ya.”
Ana memeluk Rafael. “Terima kasih, Ana,” bisik Rafael di teling Ana.

“Re, 'Bacalah Aku' ceritanya tentang apa sih?” tanya Ana dalam perjalanan pulang.
“Baca aja sendiri. Udah bisa kan sekarang?”
“Mungkin.” Ana tersenyum.

Jakarta, 11 November 2009.