Jumat, 18 Februari 2011

The Cheongsam Obsession

Aku tidak dapat mengartikan sorot mata ibuku, ketika ia menatapku sedang berdiri di depan cermin dan mengagumi pantulan diriku sendiri dalam cheongsam. Kelihatannya ia marah, tapi ia lebih seperti kecewa, mungkin karena aku memakai sesuatu miliknya tanpa izin.

Aku segera melepas cheongsam berwarna biru yang sudah memudar itu, dan dengan berjingkat-jingkat keluar kamar, tanpa berani menatap sorot mata ibu. Namun ketika aku melewatinya, tubuhku didorong sehingga terjatuh dan menimpa keranjang berisi baju-baju kotor yang belum dicuci. Ibu lalu keluar begitu saja, dan aku ingin memeluknya, dan meminta maaf.

Tapi, aku tak lantas lupa pada cheongsam. Aku memikirkannya. Siang dan malam. Di sekolah. Di jalan. Di kamar. Di angkot. Di busway. Bahkan ketika aku sedang naik ojek. Obsesi yang sudah menjadi mimpi bertahun-tahun, ketika pada usia lima tahun aku melihat baba memberikan angpau pada kakakku pada saat imlek.

Namun, ini bukan cerita tentang angpau, atau lontong cap go meh, tapi tentang cheongsam. Baba menghadiahkan kakakku cheongsam berwarna merah yang seperti memeluk tubuhnya. Itu adalah gaun one piece yang indah, dan aku hanya bisa melihat iri ketika baba berdiri di belakang kakakku dan keduanya tersenyum. Baba tersenyum. Kakakku tersenyum. Aku manyun. Aku ingin cantik seperti kakakku.

Bertahun-tahun kemudian, aku menonton In The Mood For Love dan bayangan kakakku yang anggun mengenakan cheongsam sambil makan lontong cap go meh mulai memudar. Ia tergantikan oleh Maggie Cheung. Sampai saat ini, tidak ada yang bisa menandingi dia sebagai wanita paling cantik yang pernah mengenakan cheongsam. Aku tumbuh dalam imajinasi menjadi wanita cantrik yang mengenakan cheongsam, lalu pergi merayakan xin chia bersama pangeran pujaan. Hanya makan malam sederhana sudah membuatku senang.

Sepertinya cheongsam hanya akan menjadi mimpi, atau obsesi. Tidak bisa tidak. Aku merasa aku tidak akan pernah bisa mengenakannya, sebahagia apapun perasaanku nanti ketika bisa mengenakannya.

“Tetapi, apakah bahagia itu paling penting?” tanyaku pada Mei, sahabatku.
Mei menyayangiku, tapi sorot matanya seperti sorot mata ibu. Ia berkata, “bukan bahagia, tapi menjadi diri sendirilah yang terpenting.”
Aku tidak mengerti, Mei. “Aku belum genap 17 tahun.”

Tapi, akhirnya aku kembali ke rumah dan aku ingin minta kado istimewa dari baba dan ibu menjelang ulang tahunku nanti. Apalagi kalau bukan cheongsam.

“Ibu, aku ingin cheongsam.”
Ibu lalu menampar pipiku. Aku menangis. Tapi aku tidak peduli. Aku ingin cheongsam. Titik.

Ibu bilang nggak boleh. Tidak akan pernah diizinkan. Tidak dalam satu abadpun.

Aku ingin cheongsam!
Plak!!!

Tapi kenapa, bu?

Ibu menatapku, Ia tidak marah, tapi lebih seperti orang terluka.

Mengapa bu?

“Karena kamu...laki-laki.”
Aku terdiam. aku tahu aku akan dihadapkan pada kenyataan ini, tapi aku tidak merasa kalau sekaranglah waktunya.

Selasa, 15 Februari 2011

THIS IS ME!

Bersyukur dengan karakter sebagai orang egois. Ketika hanya suka membicarakan diri sendiri-tidak tertarik ngomongin orang, in a way nggak kena dosa gara-gara bergunjing.
Trus berusaha keras mengejar personal destiny-nya. kadang nggak suka ngedengarin orang, nggak peduli apa pendapat orang.

harus bisa memilah mana yang memang layak dianggap ada dan didengarkan, dan mana yang hanya rubbish. Percaya benar dengan hukum Paretto. dari 10 orang yang dikenal barangkali cuma 2 yang berisi, sisanya sampah.

Dalam sebuah percakapan, hanya membicarakan karya, bukan orang, apalagi hal-hal jelek mengenai orang itu. Sesudah itu kembali ke diri sendiri, dan berpikir "What can i do to share the world my role?"
Meski memang tidak otomatis akan jadi mudah, asal merasa di right track juga udah bagus.

Meski banyak yang bilang terlalu picky dalam segala hal, termasuk bergaul. Tapi prinsipnya adalah melakukan apapun harus menguntungkan termasuk mengenal orang, kalau nggak, ya nggak usah bergaul ama orang itu. Biar nggak buang-buang waktu. Kadang suka agak rugi, kalau misalnya kita kerjaannya nyerocos share ke orang, trus dalam hati nanya: "Gue dapat apa dari lo?"

Yakin saja, kalau pada akhirnya akan dipertemukan, pasti memang akan dipertemukan.
Hanya merespon sesuatu yang layak direspon.
Memberi lebih pada yang diminta.

Dianggap sengak nggak jadi masalah, biasanya orang yang kita kagumi dan diteladani nggak akan berpikir seperti itu kepada kita, karena di depannya kita berlaku seperti murid, dan mereka akan dengan senang hati mengajarkan. (Jangankan kita merespon apa pendapatnya tentang kita, bahkan mereka mungkin tidak dianggap ada)

Kalau ada yang berpikir kita jutek, dan senyum mahal, memang tujuan hidup manusia bukan untuk memuaskan semua orang. Dan biasanya orang yang merasa demikian, akan berkelompok, bergosip, dan bicara di belakang kita (Indonesia banget). Karena biasanya mereka mediocre, dan kita dianggap sebagai ancaman.
Kita dinamis dan mereka statis.

dengan sikap ini, tanpa disadari kita akan punya magnet. tapi sebagai magnet kita sendiri juga akan tertarik kepada magnet lain. Dan pada saat anda merasa demikian nyaman dengan keadaan, selamat.

bagi yang belum, bersabar. Ini proses. Dan kita tidak pernah sendiri.

Sahabat adalah seseorang yang ketika kita duduk di sebelahnya—hanya berjam-jam dalam diam, tapi setelah dia pergi kita merasa kita telah lama berbicara dengannya..

SYARAT UTAMA: PENAMPILAN MENARIK

“God! Kenapa harus ada persyaratan demikian di iklan lowongan kerja!” sesal Adi. Ia sedang berteduh di bawah pohon mangga bersama sahabatnya, Chandra. “Trus, orang-orang yang merasa penampilannya nggak menarik gimana? Nggak boleh ikutan? Belum tentu juga kan orang-orang dengan penampilan menarik akan bekerja dengan lebih baik dibandingkan orang yang dianggap berpenampilan tidak menarik!”
“Nggaklah bro, lo jangan minderisme gitu dong! Lo nggak jelek kok!’ kata Chandra sahabat Adi, pura-pura menghibur. Tapi Adi protes karena Chandra begitu saja menyamakan penampilan tidak menarik sebagai ‘jelek’. “Beda dong!” menurut Adi, orang dengan penampilan tidak menarik bukan berarti jelek, tapi orang jelek pasti penampilannya tidak menarik.
Chandra malah nggak setuju. Ia mengambil contoh Tukul. “Tukul kan jelek, tapi penampilannya menarik.” Adi mengelak,’iya, secara lo sih ngefans ama dia, tapi yang nggak suka nggak akan mungkin bilang Tukul itu menarik secara penampilan!”
Mendengar jawaban Adi, Chandra mencoba menarik kesimpulan. “Wah kalau ukuran suka atau nggak suka jadi susah dong. Jadi subyektif, karena kalau seseorang dibilang nggak menarik, belum tentu sisa dunia yang lain bilang yang sama.”
“Makanya bro, ini harus kita protes!”, kata Adi lagi. Menurut Adi, perusahaan harus menghapus syarat itu dalam requirements mereka, karena berpotensi menjadi tidak objektif. “Tapi... kalau jelek kan mutlak,” Adi tiba-tiba teringat kata-kata itu.
Hening sejenak. Mungkin keduanya merasa tersindir dengan kata-kata Adi itu.
“Makanya mereka pake kata berpenampilan menarik. Itu secara halus menggantikan kata tidak jelek,” kata Chandra.
Adi menjadi teringat pengalamannya yang beberapa kali ditolak bekerja dengan alasan penampilannya kurang menarik. “Sakit hati gue dibilang begitu,” kata Adi.
Chandra diam saja meski memiliki pengalaman yang sama. “Memang pasti nyebelin banget ya. IPK udah 3,75, cumlaude, lulus psikotest, kesehatan oke, tapi nggak diterima kerja cuman gara-gara tampang! A****G!
“Gue setuju! Ini namanya diskriminasi bagi orang-orang berpenampilan tidak menarik! Kita harus lapor ke KOMNAS HAM! Yuk! Sekarang!” Adi menarik tangan Chandra yang lalu menepisnya.
“Tenang bos. Lo ngomong jangan kebanyakan tanda seru! Justru lo yang gegabah. Kalau lapor ke komnas HAM, berarti secara tidak langsung lo mengaku udah jadi bagian dari mereka yang berpenampilan tidak menarik. Apa emang lo ngerasa diri lo nggak menarik?”
“Nggak mungkinlah,” sahut Adi kali ini dengan lebih kalem. “Kalau bukan gue sendiri yang bilang kalau gue ganteng, siapa lagi...”
“Itu maksud gue. Perjuangan harus selalu dimulai dari dalam diri sendiri. Coba kita terapin ke diri kita, untuk nggak superficial. Untuk nggak nilai orang dari luarnya aja. Padahal siapa tahu mereka punya kualitas-kualitas yang nggak dimiliki oleh orang-orang yang masuk kategori berpenampilan menarik,” kata Chandra panjang lebar.
Tapi wajah Adi merengut. “Tapi gimana cara untuk mengetahui kualitas-kualitas itu kalau dari awalnya scanning pertama adalah penampilan, atau pasfoto. Seleksi berdasarkan penampilan, yang nggak memenuhi kriteria dibuang ke tempat sampah, tanpa diberi kesempatan untuk memberi tahu dunia tentang isi hati atau isi otaknya...”
“This is what i am talking about man!” kata Chandra meniru gaya bicara karakter nigger di film hollywood. “Ini dia yang mesti kita perjuangkan, men! Sebab kalau nggak, bisa-bisa orang-orang berpenampilan nggak menarik jadi punah. Nggak punya tempat lagi di dunia. Diasingkan, ditinggalkan oleh roda kehidupan yang terus berjalan. Mereka jadi nggak bisa berkiprah dimana-mana.”
Adi diam saja, tiba-tiba ada imajinasi melesat di otak kanannya; ia jadi penguasa zalim yang melakukan pemisahan terhadap golongan orang berpenampilan tidak menarik dan orang berpenampilan menarik. Dalam fantasi itu, Adi, firaun dengan penampilan tidak menarik memenjarakan orang-orang yang berpenampilan menarik, bangsanya model-model ganteng atau cantik dalam kamp konsentrazie seperti yang dilakukan Hitler. Hollocaust.
“Napa lo diam aja?” kata Chandra.
“Iya gue setuju.” Sahut Adi asal.
“Setuju apa?”
“Mari kita melestarikan golongan orang-orang berpenampilan tidak menarik, biar mereka bisa kerja, kawin, dan punya anak.”
Chandra nggak bisa nggak setuju.
“Galang persatuan buat Gestapu (gerakan standarisasi tampang publik)!” kata Adi. Ia kembali bersemangat, dan berseru.
“Atau kita buat serikat pekerja atau apa gitu yang menggabungkan karyawan dengan penampilan tidak menarik. Dari kita, oleh kita untuk kita. Laiknya demokrasi.”
“Justru lo sekarang yang sembrono. Ekslusifitas itu ibarat bom waktu. Dunia bisa berputar karena ada pasangan-pasangan. Pria dan wanita, malam dan siang, utara dan selatan, kiri dan kanan, cakep dan...”
“Jelek,” kata Chandra. Ia diam, merasa ada yang janggal dari tatapan mata Adi, tapi tak bisa merumuskan apa.
“Pemisahan itu hanya akan mempertajam dikotomi antara dua kelompok itu,” tandas Adi.
“Tapi maksud gue, bagaimana kalau...”
Pembicaraan mereka terhenti. Tak jauh dari mereka seorang wanita membaca plang ‘pangkalan ojek’ dibawah sebuah pohon mangga. Wanita itu menuju Adi dan Chandra.
“Ada sewa tuh, Di.”
“Males gue. Tampangnya demek gitu.”
“Gue juga ogah. Gue nungguin si Neng caem langganan aja.”

One Minute Enlightment

(1)
The simple metaphor of chair, taken as representing one’s body, mind and emotional dynamics, can explain this clearly:
As long as I am sitting in the chair, I cannot observe nor manage the chair. In fact, the chair manages me. To observe the chair I must get out of it. For this, I must accept the fact that I am not the chair. So also, identifying with the body, mind and emotions, I cannot observe or manage myself. The moment I accept that I am neither the body nor the mind; I can get out of it. Then I can realize who I am. Then I can lead and manage myself. I become master, leader of the chair.

(2)
“Hidup terdiri atas momen - momen ;
Momen - momen adalah milik kita.
setiap momen masing-masing secara mendalam?
Dapatkah Anda meninggalkan setiap momen yang telah berlalu dan
lahir kembali pada setiap momen baru ?
Dapatkah Anda mengisi momen yang baru dengan penuh keyakinan,
kegembiraan dan semangat ?
Dengan memandang setiap momen adalah baru, maka kita akan mampu
menceburkan diri ke dalamnya dan menjalaninya dengan sepenuhnya.
Apakah itu saat mencuci piring, minum teh, memeluk bocah kecil,
menatap ke dalam mata orang yang kita kasihi,
Menahan rasa sakit atau bahkan ketika menghadapi kematian"

(3)
Seorang siswa bertanya kepada gurunya, “Master, apakah arti pencerahan itu…?” Sang guru menjawabnya dengan lugas, “Bila lapar—makan. Jika lelah—tidur. “Kemudian siswa itu menimpali, “semua orang kan melakukan hal yang sama dalam kesehariannya.” “Tidak sama,” sang guru menjawab. “Mengapa tidak sama…?” Tanya si siswa dengan penasaran. Kemudian sang guru menjelaskan, “Saat waktunya makan, kebanyakan dari kita tidak menikmati dengan betul makanan yang kita cerna. Pikiran orang terus mengembara entah kemana. Mulut, sekalipun penuh dengan nasi, tatkala masih sibuk mengobrol dengan sesamanya. Saat waktunya tidur, pikiran ridak istirahat. Oleh sebab itu itu banyak yang tidurnya tidak lelap atau bahkan menderita insomnia.”

(4)
Suatu hari terjadi gempa bumi yang mengguncang keseluruhan kuil Zen. Beberapa bagiannya runtuh! Banyak biksu ketakutan.

Saat gempa reda, sang guru berkata, “Sekarang kalian mempunyai kesempatan melihat bagaimana seorang Zen berperilaku dalam situasi krisis. Kalian mungkin perhatikan bahwa saya tidak panik sama sekali. Saya masih awas pada apa yang terjadi dan apa yang harus dilakukan. Saya pimpin kalian semua ke dapur, bagian terkuat dari kuil ini. Dan ini sebuah keputusan yang tepat karena kita semua selamat tanpa luka-luka. Tetapi, di samping kontrol diri saya yang baik, saya juga merasa sedikit tegang – yangmana kalian bisa lihat dari kenyataan bahwa saya minum satu gelas besar air putih, sesuatu yang tidak pernah saya lakukan di situasi biasa”

Salah satu biksu tersenyum, tapi tidak berkata apa-apa.

“Apa yang kamu tertawai?” tanya sang guru.

“Itu isinya bukan air, guru” jawabnya. “Itu tadinya satu gelas besar kecap yang disiapkan untuk memasak”

(sumber: buku kisah kebijaksanaan Zen)

The Edge of Love (review)



Sat, 6 june. something called me to come to blitz megaplex. actually i intended just to have dinner, so i gone in short pants, slipper, and ripped t-shirt. but, i was so impulsive, and i need to fulfill the uninvited desire to go watching movie.
here's the answer: The Edge of Love. curious to watch Sienna Miller. i only knew little about her—except she's belong to Jude Law.

at the first second, i smirked, and smiled widely. The beauty of Keira Knightley (someday if i had daughter, Keira is lovely name). opened the movie by singing “Blue Tahitian Moon”. This movie is so me. with that jazzy soundtrack, rain, and poetry spreading all over the duration, and that sienna miller really take my breath away.

Kiera's performance is even make it harder for me to release myself in this lost of beauty. Kiera played as singer in the era of World War Two. She meet Mathew Rhys, her first love (its not first love that matters, its the last love), at the time when Mathew had wife played by irresistible Sienna Miller. Despite their rivalry, the two women become friends and the trio have happy times together. When Kiera marries soldier Cillian Murphy, Matthew becomes jealous at the addition of him to the group, and Sienna noticed.

Do you love me? asked Cillian. “i will answer after u back,” said Kiera.

and war change people. this movie is very subtle in developing the character. Mathew was boring, but turned to be strong after Cillian back from war. and Cillian doubted Kiera since he knew that Kiera and Matther used to be couple.

there's love in the air--vaguely delivered on the way the four main casts look each other. and it still can be feel at the last scene. This is the perfect movie, i dont remember when were the last time i go home from cinema with this very fulfilled feeling. all the aspects is perfect. Music, art—with that colorful expression, heavenly ensemble casts—while in my opinion, Cillian didn't play as perfect as his fellows.

oh thanks to James Maybury, for blooming my saturday night. i even look to the sky and smile to the moon. smiling—lost in the beauty.

Sejarah Dunia dalam 10 1/2 Bab (review)

Mungkin karena (Nabi) Nuh tidak 'sepopuler' nabi-nabi lain, maka penggambaran karakter Nuh sebagai tua bangka pemabuk bisa ditemui dalam sebuah novel terjemahan.

Entah mengapa sang novelis begitu terobsesi pada Nuh dan Banjir Besar, dan dengan imajinasi spekulatif merancang teori bagaimana peristiwa itu terjadi, termasuk berbagai kejadian mencengangkan diatas bahtera.

Namun dengan cerdas, pada fragmen “Penumpang Gelap” ini, penceritanya adalah seekor ulat kayu. Dengan memilih point of view seekor binatang dan bukan seorang manusia, menciptakan olok-olok yang cerdas—yang juga terasa di keseluruhan novel ini. Bagian ini memberikan insight bagaimana dan mengapa beberapa spesies binatang tidak terpilih mengikuti pelayaran ini—ulat mempertanyakan keadilan. Tentunya ulat kayu tidak diizinkan berada dalam perahu kayu—karena mereka makan kayu, dan oleh karena itu mereka kemudian menjadi penumpang gelap, dan nyinyir.

Ulat itu percaya bahwa Nuh telah semena-mena dengan mengumumkan waktu tertentu bagi binatang-binatang dunia, untuk keberangkatan bahtera. “...binatang tertentu menempuh perjalanan lebih lambat dari binatang lain. Ada kukang yang kelemak-kelemek yang pasti sudah lenyap terhempas azab Tuhan, bahkan sebelum turun mencapai pangkal pohonnya...”

Ulat menyaksikan banyak hal dan mewartakan pada kita mengenai perilaku binatang yang keluar dari karakternya ketika menemui situasi darurat—bagian yang mengingatkan pada Life of Pi. Meski demikian, ia hanya bisa prihatin melihat makhluk-makhluk langka—Basilisk, Salamander, Sphink, Griffon, dan Hippogriff yang punah. Ulat memiliki kepercayaan kuat bahwa Nuh, istrinya, Ham, Sem, dan yang namanya diawali huruf Y, berada di balik peristiwa ini.

Bahkan dengan kritisnya, Ulat menyatakan bahwa gorila akan lebih baik sebagai pelaut dibandingkan Nuh, dan dengan fantasi orang gila meyakini bahwa Unicorn dibunuh oleh Nuh dengan alasan kecemburuan, karena tanduk Unicorn digunakan istri Nuh untuk....

Pada backcover kata “novel” dituliskan empat kali.

Membaca novel ini seperti menonton film-film multikarakter Alejandro González Iñárritu. Mungkin penyebutan kata novel ini dimaksudkan agar pembaca tidak salah menyebut novel ini sebagai kumpulan cerpen—seperti Babel yang tidak akan pas disebut sebagai kumpulan film pendek.

Jadi, dari peristiwa di atas Noah's Ark, segmen “The Visitors” menceritakan ironi seorang bernama Hughes, yang oportunis, gemar bermain perempuan, dan ahli sejarah, namun terpaksa menjadi negotiator di sebuah kapal yang dibajak teroris. Teroris ini—mereka orang arab, sebuah pilihan tipikal yang karikatural, membajak kapal pesiar yang berlayar di sekitar Yunani, dengan tuntutan pembebasan rekan-rekan mereka yang sedang dipenjara, dan sialnya tidak ada pemerintahan yang meluluskan permintaaan itu, sehingga penumpang akan dibunuh satu persatu. Dan mirip dengan kisah ulat yang mempertanyakan keadilan, Hughes bertanya atas urutan apa para penumpang itu akan dieksekusi. “.. Siapa yang akan mereka bunuh lebih dulu? Orang Amerika? Orang Inggris? Laki-laki dulu? Acak? atau menurut abjad?”...

Novel ini telah men-transcend dongeng omong kosong dengan caranya yang rigid, dan menyisipkan fakta-fakta 'akurat', demi 'kebenaran', dan tendensi serius untuk tidak takluk pada satu kebenaran sejarah (sikap yang akan membuat lenyapnya individualitas dan kemanusiaan kita, katanya). Oleh karena itu, pada segmen yang (dengan alasan yang tidak dimengerti) diberi judul “The Wars of Religion”, novelis menceritakan persidangan ganjil di Perancis pada abad 16, ketika warga desa menuntut ulat kayu yang telah mencelakakan seorang uskup sampai menjadi linglung.

Konon persidangan ini betul-betul terjadi. Penduduk membuat petisi untuk mengucilkan ulat kayu (alasan lain karena ulat kayu tidak disebutkan dalam kitab suci mengikuti bahtera). Petitions des habitans diikuti plaidoyer des habitans, disangkal dengan plaidoyer des insectes. Perdebatan memanas, sehingga penduduk membuat replique. Bartholome Chassene, selaku ahli hukum membalas dengan membuat repliques des insectes. Setelah kesimpulan jaksa, maka hakim memutuskan sebagai berikut: “...kami memerintahkan ulat kayu dengan siksa kutukan, laknat, dan pengucilan agar dalam waktu tujuh hari meninggalkan gereja Saint-Michel..”

Mungkin tidak sampai terbahak-bahak, karena nuansa yang lahir adalah komedi satir yang segar dan tak disangka-sangka. Namun dengan segenap kecenderungan komedinya, novel ini masih bisa menjadi sesuatu yang puitis, melankolik, dan penuh kepedihan. Segmen “The Survivor” bercerita mengenia wanita yang lelah dengan dunia, dan meninggalkannya begitu saja. “..Dia tinggalkan dunia di belakangnya dari suatu tempat bernama Doctor's Gully...”

Dalam pelayarannya, wanita ini bermimpi, berhalusinasi, dan berperang dengan benaknya sendiri, sementara pembaca mempertanyakan mana realitas yang benar. The Survivor dengan cergas menggunakan sudut pandang orang pertama dan ketiga secara bergantian, yang dengan cara ini kondisi kejiwaan tokoh utama disenaraikan.

Bagian-bagian lain seakan-akan parade seorang novelis yang all-round. Ia bukan hanya pencerita handal, namun seorang sejarawan yang memahami dengan caranya sendiri, dan diatas semua hal; seorang kritikus. “Kapal Karam” adalah malapateka Rakit Medusa yang tenggelam dan bagaimana kemudian malapetaka itu kemudian diubah menjadi seni, lukisan terkenal karya Gericault.

“Gunung” dan Project Ararat mengisahkan petualangan mencari bahtera Nuh, dengan twist ending. Muncul pula seorang korban selamat Titanic dalam “Tiga Cerita Sederhana”--bersama dengan Kisah Yunus yang dimakan Hiu, dan korban Nazi yang terombang-ambing di lautan dalam “St. Louis”.
Bagian yang paling menyenangkan menurut saya adalah “Ke Hulu!”--menceritakan pembuatan film di hutan Amazon. Cerita bergerak melalui surat-surat yang dikirimkan Charlie, aktor dalam film truthspiel kepada Pippa, pacarnya—yang tidak dibalas-balas sampai cerita selesai. Charlie menulis surat dengan kocak, hampir berangasan mengenai amazon, interaksi dengan sesama kru film, dan suku indian yang telanjang, termasuk yang wanitanya. Charlie berusaha menahan untuk mendekati wanita-wanita Indian dengan menanamkan mindset: “mereka pasti penyakitan.”

Melalui “Ke Hulu!”, penulisnya mencoba masuk ke wilayah populer, setelah berlama-lama bermain-main di wilayah serius. Segmen ini mengingatkan pada film Romancing The Stone-nya Michael Douglas; lucu, dan penuh petualangan. Pada “Parenthesis”, kita menemui definisi dari kata-kata cinta, dengan cara yang tidak pernah dilakukan siapapun. Sementara “Mimpi” menggugah suatu otokritik terhadap spiritualisme, dan pemaknaan kembali surga, ketika seorang laki-laki terbangun dan mendapati dirinya berada di surga.

“...Surga demokratis akhir-akhir ini.”
“Apa maksudmu?”
“Kami tidak memaksakan Surga kepada orang-orang lagi. Kalau mereka ingin, mereka bisa mendapatkannya; kalau tidak ya tidak...”

Novel ini sekali lagi adalah novel yang cerdas, menggiring pembaca dengan cekatan menyusuri peristiwa yang dituturkan dengan penuh kejutan, manis, dan rumit sekaligus enak dibaca sampai kata terakhir. Ia ingin berkata bahwa dunia berputar sedemikian rupa dan peristiwa saling berkelindan. “Sejarah berulang, pertama sebagai tragedi, kedua sebagai olok-olok.”

Tugu Kujang Suatu Ketika

Hujan di kota hujan, dan aku menunggumu di taman koleksi, menikmati turun salju, dari kapas yang berjatuhan, dari pohon-pohon tua yang tidak kita tahu namanya, apalagi usianya.

Sore yang orange, rinai hujan gerimis yang indah, yang tak membasahi, takkan kuyup, hanya air-air yang manja, yang menggenang di pucuk daun tertinggi dan menjadi titik-titik kecil di sekeliling kita. Kuserahkan padamu, untuk membuatku nyaman. Untuk membuatku merasa cukup—hanya dengan kehadiranmu.

Tapi saat ini, kau belum juga datang. Ku sudah menyiapkan sebait puisi yang kutulis ketika kuliah berlangsung di ruang kelas yang bisa menggemakan suara-suara. Suara-suara dari yang ada disana, maupun dari yang sudah tak ada lagi. Ruang kelas yang berbau masa lalu, seperti lelumut yang tumbuh di kost kamar sempitku, di balik jendela dimana daun merambat sampai genting, dan hujan selalu melahirkan embun disana. Kamu tahu, kerap kali aku berdiri, dan membiarkan pikiranku kosong kala menikmatinya. Disana.

Kemanakah kamu saat ini? ingin kubacakan puisi ini saat kamu datang. Puisi sederhana tentang kita. Bagaimana kita bisa lupa akan awalnya kedekatan kita—tiba-tiba menjelma kita. Dan kita hanyalah remaja yang sedang mengembara dalam alam pikiran, dan mengisinya dengan ilmu yang kita tidak tahu apakah kita membutuhkannya atau tidak. Tapi toh kita bertahan, sampai tiba saatnya nanti kita berdiri di podium dengan toga.

Kemanakah kamu saat ini? seseorang yang selalu membuatku bangga, seseorang yang independen. Bebas. Bagimu, hidup adalah menggapai kebahagiaan. Aku selalu terpesona ketika kutahu apa cita-citamu: menjadi bahagia. sementara mereka ingin selalu menjadi ekonom, menjadi pengusaha, manager, bankir, wartawan, produser film, menteri, ahli pangan, dan semua yang bisa dilahirkan di kampus kita. Kelak aku tahu memang pada akhirnya yang manusia inginkan hanyalah menjadi bahagia.

Bersama siapakah kamu saat ini? Aku ingin mendengar cerita kamu tentang Gunung Salak yang kamu daki bersama teman-teman Lawalata. Dan kamu begitu berani. Cerita yang sama, yang tak akan pernah aku bosan mendengarnya. dan kamu selalu bercerita dengan binar mata yang selalu bercahaya.

Hujan telah benar-benar berhenti. Maka kuputuskan berjalan menuju tugu kujang. Kulewati daun-daun perdu yang basah, bau tanah basah yang magis, dan gerimis-gerimis dari pohon-pohon tinggi yang bergoyang terkena angin. Tempat ini tak akan pernah sepi, takkan pernah hilang, ia kekal dalam ingatan.

Kalau tidak percaya tanyakan saja pada angkot-angkot hijau. Mereka memenuhi sudut jalan dengan setianya. Seolah tak ada yang lain. Namun, angkot-angkot itu adalah juga saksi kita. Ia mengantar kita ke Galaxy atau Dewi Sartika setiap senin, melewati kebun raya, dimana kita bersumpah tak akan pernah datang kesana berdua. Ia yang tak pernah mengantar kita sampai depan kos, menyerahkan kita pada hujan yang lalu membasahi kita. Satu payung tak pernah cukup untuk kita berdua, tetap membasahi, dan ini terjadi hari sabtu sore—suatu jam kuliah yang sangat tidak menguntungkan. Tapi, lihat sisi baiknya, semakin banyak hal demikian terjadi, semakin banyak pengetahuan tentang romantisme yang kita dapat. Tentang kita. Bersama kamu.

Aku hanya termenung menatap kujang, dan berpikir mengapa ada orang membuat monumen untuk senjata. Dan kota ini begitu akan selalu terasa damai, atau setidaknya begitulah yang akan kukenang. (karena disinilah aku mengenal, dan belajar menemukan sesuatu).

Tapi lihatlah aspal yang masih basah itu. ia membuat warna jingga yang sempurna, dari pantulan langit. Dan alam melambat saat ini, tetap hiruk-pikuk namun dengan frekuensi yang jauh berbeda.

Air yang menggenang menjadi kaca bagi langit, warna merah restoran fastfood menyumbang harmoni lukisan alam saat itu. kamu ingat pohon-pohon tua yang ada disana? Tiang-tiang telepon umum, ATM, dan resto itu. Banyak memori disana, ketika pengetahuan tentang cinta masih sangat lugu, sederhana, dan seadanya. Dan jika kamu ada di sampingku saat ini, aku ingin mengajakmu kesana, sebuah napak tilas yang melodramatik. Bahwa pada masa itu kita pernah ada, kita berarti setidaknya untuk satu sama lain. Bahwa ada malam-malam dimana aku mendengarkan lagu-lagu cinta, dan yang kubayangkan hanya kamu. Hanya kamu.

Lalu aku memutuskan untuk kembali. Kamu mungkin sudah menungguku. Aku tahu aku akan menemukanmu terpekur dengan buku, dan kau akan tersenyum dari balik bukumu, ketika kau mendengar aku datang. Atau aku akan diam saja, duduk menghadapimu yang serius membaca buku, sampai kau merasa cukup dan meneruskan kembali bacaanmu di kost. Setelah itu kita bicara, tentang apa saja. Tentang pembantu kost-mu yang latah, tentang dosenmu yang flamboyan, tentang buku-buku tua yang masih jadi textbook, tentang rapat senat, tentang segala kegiatan kamu, yang begitu kamu cintai. (akulah cinta ke-sekianmu). Karena bersamamu, aku takkan merasa bosan.

Senja ini akan kukatakan saja bahwa aku sangat berterima kasih padamu. Cinta adalah energi terbesar, dan kamu membawakannya untukku. Kamu adalah api yang senantiasa membakar. Kamu adalah matahari yang selalu membuat duniaku benderang, dan karena itu aku tidak mau hidup dalam dunia yang buram.

Aku membawakanmu rangkaian bunga dari rerumputan—kau selalu suka bunga. Langkah-langkah penuh desir, karena aku akan bertemu... baby.

Lalu kulihat kau disana, membelakangiku. Tapi aku tahu itu kamu, dan kamu bersama seseorang yang lain. Cukup lama bagiku untuk menerima kenyataan kalau kamu sedang bersama seseorang yang lain, dan orang itu bukan aku. Kamu memegang tangannya. Ia memegang tanganmu. Dan aku memegang bunga yang sedianya akan kuberikan padamu. Sesuatu membuatku melepaskannya.

Akulah rumput yang menangis. Akulah daun yang meneteskan air hujan. Akulah desau angin yang berbisik resah. Akulah kabut di kala malam merambat. Akulah batu-batu tua yang hanya bisa menjadi saksi, untuk tak diinginkan lagi.
Senja-senja seperti itu adalah senja dengan kesendirian yang sempurna.

Writer’s note: emotions flowing down on me when i wrote this.

Alien, Tabo, and The Missing Sombrero

Kit and Soon

“Jutaan tahun lalu, Alien datang ke Sumatra dan mereka membendung danau dengan daratan, dan jadilah pulau Samosir.

Kit menggelengkan kepala sambil tersenyum tipis. “Orang itu hanya membual. Backpacker Perancis pembual.”
Soon tersenyum bodoh mendengar gerutuan Kit. “Tentu saja ia bergurau. Tapi Toba ternyata melebihi perkiraanku. Disini cukup bagus juga, ternyata.”
“Sure,” putus Kit. “You only know Burley Griffin.”
“Ini seperti laut, dan aku tak pernah tahu kalau ternyata ini adalah dataran tinggi, seperti Genting.” Soon mengedarkan pandang ke sekeliling. Ia melihat bentang alam yang membuat mereka seperti terlingkupi sesuatu. Pulau Sumatera yang dipisahkan Danau Toba, tinggi menjulang, dengan bagian tengah yang membolong seperti kue donat.
Kit ikut-ikut memandang sekeliling. Kedua kakinya menjuntai sampai menyentuh air. Keduanya sedang menikmati air Danau Toba di waktu malam, berjemur tanpa sinar matahari di sebuah Cottage bernama Tabo.
“Mengingatkan pada Grand Canyon,” kata Kit asal.
“Memangnya pernah kesana?” tanya Soon.
Kit mengangkat bahu. “Mungkin,” kata Kit dengan malas.
Soon menghela nafas.

Esoknya, setelah sarapan, Soon memaksa Kit main pingpong yang ada di cottage itu. Kit menolak, namun akhirnya ia mau juga setelah Soon memaksa.
“Untuk apa kita main pingpong?” keluh Kit sambil memukul bola kecil itu.
“Ayolah, sebentar saja,” kata Soon.
Kit terkekeh. “Kamu tidak bisa main!”
Namun Soon tampaknya memang ingin berkeringat. Ia tak peduli kalau sering memukul bola out.
“I am tired, dan olahraga bisa menghilangkan kepegalan.”
“Kita baru sampai, dan kamu sudah letih?” Kit mendelik.
“Kemarin kita terlalu terburu-buru di Medan. It wasn’t a citi tour at all. And it made me tired.”
“Kita tidak punya banyak waktu, yang penting kita sudah mengunjungi banyak tempat di sana, the palace, the mosque, the temple, and everything.” Kit menjawab dan meladeni permainan Soon dengan malas.
“Saya cukup suka dengan Medan. Mirip dengan Penang ya?” tanya Soon.
Kit berpikir sejenak. “Ya, i guess.”
Mereka lalu bermain dengan lebih serius. Tawa terdengar, di hari yang tidak cukup cerah untuk melahirkan langit biru. Beberapa turis sesekali melirik mereka—sepasang sahabat yang tampak dekat dan akrab.

Siang hari, Annette—pemilik Tabo, memberikan mereka peta pulau. Soon dengan naluri petualangannya yang naif, terlihat bergairah. Kit hanya maklum melihat sahabatnya berjalan cepat-cepat di depannya, menunjuk ini dan itu, gereja-gereja, rumah-rumah adat, patung-patung dan kerbau-kerbau—sebelum akhirnya mereka tidak lagi mengerti sedang berada dimana.
Kit merebut peta dari Soon, dan memutuskan bertanya pada seorang penduduk lokal berkulit cokelat. Pria itu dengan logat tak ramah, ternyata seorang yang ramah, ia menawarkan diri untuk mengantar Kit dan Soon ke jalan raya besar, yang bisa membawa mereka ke Tomok, sebuah pelabuhan di Samosir.
Kit menyambut ide itu sebagai sebuah jalan keluar yang cepat.
Di tengah jalan, Kit meminta pria batak berhenti.
Soon mengedarkan pandangnya, di tepi sebuah tebing. Danau Toba tampak seperti lukisan alam, pada sebuah kartu pos. Ia mengerti mengapa Kit minta berhenti, dan mengapa Soon tampak menatap kejauhan dan terdiam. Sebuah perahu kecil tampak bagai titik kecil dari ketinggian.
“Negeri yang indah,”desisnya.
Setengah jam kemudian, mereka naik angkot panas dari jalan utama pulau yang berdebu, sampai tiba di Tomok. Soon mengeluh lapar dan mereka makan siang di Rumah Makan Islam Murni. Kit awalnya ingin makan di Rumah Makan Sederhana, tapi lalu ia urungkan ketika melihat tanda salib di dinding. Kit membayar dan mengeluh karena ia merasa harga makanannya terlalu mahal.
Mereka lalu mengunjungi pasar tradisional yang ada disana, dan Soon yang paling excited.
“Aku merasa seperti berada di Afrika. Di sebuah pasar-pasar kotor dalam film-film pencarian harta karun,” kata Soon. “Eksotik!”
“Dan ini petanya,” Kit menyambut gurauan Soon.
Soon tertawa. Ia memotret sayuran yang diperjualbelikan—cabe, bawang, atau banyak lagi yang tidak ia ketahui namanya, dan tanah becek, yang dimatanya sebagai sesuatu yang eksotik.
Kit tahu persis ini, dan ia menghargai imajinasi Soon.
Setelah berputar-putar selama setengah jam, mereka naik ke tebing dan mengunjungi situs-situs patung batak.
“It was nice,” kata Kit. “Tapi budaya animisme-nya tidak bisa membuat saya merasa relate.”
“Ya, dan sedikit menakutkan juga. Dimana-mana banyak kerbau, apakah kerbau binatang yang disucikan disini?” tanya Soon.
Kit menggeleng. “Saya tidak tahu.”
Mereka meneruskan berjalan-jalan di sepanjang kios-kios penjual cendera mata, kaos-kaos, gantungan kunci, dan ukiran-ukiran. Ada satu yang tidak ditemukan Kit: Garam Mandi aromatheraphy.
“Ini bukan Bali,” kata Soon menghibur.
Kit diam saja. Ia sudah kecewa ketika penjual kaus yang ditawarnya tidak mau menurunkan harga seperti yang dimintanya—tidak seperti Soon, Kit adalah penawar ulung. Entah bagaimana Kit selalu menang, dan penjual selalu merelakan barang dagangan mereka dibayar dengan harga jatuh, dan wajah mereka menjadi masam. Tapi di pulau ini, Kit tidak bisa memamerkan keahliannya pada Soon.
Saat itulah Soon merasa mengenali beberapa wajah yang sedang melihat-lihat kerajinan tradisional di sebuah kios. Soon membisiki Kit. Kit melihat ke arah yang dimaksud Soon.
“Bisa saja,” kata Kit. “Atau barangkali mereka dari Hongkong, atau Singapore.”
“Aku tadi dengar mereka bicara Hokkien,” kata Soon.
Kit sebenarnya ingin tertawa, tapi ditahannya.
“Kamu bahkan nggak bisa makan xiao long pao dengan benar, jangan coba menebak-nebak asal seseorang hanya karena dialeknya,” kata Kit.
Soon tetap memperhatikan ketiga orang yang lalu salah satunya menatap balik.
“Bagaimana kalau kita tanya mereka?” kata Soon.
Kit diam saja.

Ketika mereka memutuskan berjalan menuju cottage, Soon melihat-lihat peta dan berkata pada Kit. “Saya belum menemukan sesuatu yang spektakuler disini,” kata Soon. Ia lalu mengusulkan agar mereka mengunjungi air terjun. “Tapi Annette bilang sedang kering.”
Saat mereka berdebat seperti itu, dua orang tukang ojek menghampiri mereka, dan Kit dengan kemampuan bahasa Indonesia terbatas menanyakan bagaimana caranya untuk mencapai air terjun. Terjadi tawar menawar beberapa lama, sampai mereka setuju mengantar Kit dan Soon dengan tarif 60.000 IDR sampai kembali ke Tabo.
Kit dan Soon menumpang ojek yang berbeda. Mereka dibawa menyusuri jalanan dengan belokan tajam dan berliku-liku dengan pemandangan Danau Toba yang fantastis sebelum akhirnya diturunkan di sebuah tempat yang kemungkinan lokasi air terjun.
Tapi ketika Soon melihat ke atas tebing tinggi, ia tidak melihat apapun. Wajahnya langsung terlihat masam. Kit langsung merasakan kekecewaan Soon.
“Are you ok? You looked dissapointed,” kata Kit.
“No, lah. Pemandangannya bagus kok,” kata Soon. Namun Kit tahu bahwa mata Soon tidak bisa berbohong.
Soon menjadi agak pendiam. Kit sebenarnya berharap bisa melihat air terjun juga, tapi ia tidak mau kelihatan kecewa demi sahabatnya. Dua tukang ojek malah menceritakan legenda tempat itu dan kekeringan yang terjadi sepanjang empat bulan terakhir yang membuat air terjun yang indah mengering.
Karena tak ada yang bisa dilakukan disitu, mereka memutuskan menuruni bukit, mengambil beberapa foto dan kembali ke Tabo. Entah hanya perasaan Soon saja, tapi ia merasa perjalanan pulang menjadi lebih jauh.
“Tukang ojek itu tahu kalau sebenarnya tidak ada air terjun, namun ia tetap membawa kita kesana,” kata Soon setelah mereka duduk santai di lobby. Kit merasa tidak enak hati melihat sikap Soon. “Mereka menipu kita,” tambah Soon.
Kit sangat tahu, dibalik sikap periangnya Soon bisa tiba-tiba diam seperti mati, terutama jika ada yang mengganggu suasana hatinya. Kit memesankan sebuah cake untuk mereka berdua, dan ketika di sore yang mendung itu Mooncake datang, mereka menikmatinya dalam diam.
Kit memiliki ide yang bagus. “Main pingpong yuk!”
Soon berubah antusias.
“Aku akan pura-pura kalah,” kata Kit dalam kegembiraan ketika Soon mulai menemukan moodnya kembali.
“No way!” kata Soon.
Soon tetap kalah dalam permainan yang skornya mereka hitung. Mereka taruhan untuk sesuatu yang akan diputuskan kemudian.
Menjelang senja, Soon dan Kit berlatih Yoga di bawah pohon yang ada di depan lobby—sehingga semua orang bisa melihat mereka. Soon yang lebih jago dari Kit banyak tertawa ketika Kit salah melakukan sebuah gerakan.
Seorang wanita India bersari, beserta suami dan anaknya berada di area itu. Seorang Jepang membawa kamera mondar-mandir di depan mereka—lalu ia memfoto Soon dan Kit tanpa sepengetahuan mereka.
Soon memarahi Kit yang dimatanya tampak tidak serius.
“I am serious,” kata Kit.
“Bagaimana dengan denyut nadi kamu? ada peningkatan?” tanya Soon.
Kit mengangguk.
Mereka telah sampai pada Suryanamaskar B ketika sepasang turis bule mendekati mereka.
“Excuse me. Can we join?” kata si cewek.
Soon menoleh dan lalu melihat Kit yang memejamkan mata dalam posisi Warior 1. Soon mengangguk. Si cewek terlihat senang. Si cowok lalu mengambil matras dan kembali beberapa saat kemudian.
Sesudah mendapat dua tambahan murid baru, Kit kelihatan lebih serius. Soon tersenyum melihat penderitaan sahabatnya.
Sampai empat puluh lima menit kemudian, mereka baru berhenti tanpa a chanting aum. Wanita India bersari, barangkali bangga melihat orang-orang asing mempraktekkan budayanya, sementara turis Jepang dengan kameranya memotret beberapa kali.

Malam terakhir di Samosir, saat mereka makan malam dengan ikan bakar, mereka kembali melihat Francois, backpacker Perancis sedang membaca buku dalam cahaya yang tidak cukup kuat. Soon dan Kit mengambil tempat duduk di sebelah meja yang digunakan Francois, kemudian berpura-pura cuek dan fokus pada makanannya.
Dua orang bule duduk di sebelah Francois—mau tidak mau Francois menoleh dari bukunya dan mereka mengobrol. Kepada bule itu, Francois mengaku sedang menunggu istrinya yang akan datang esok hari. Namun Kit menangkap kalau Francois tidak mau membicarakan hal itu.
Ia malah mempromosikan tempat-tempat lain yang bisa dikunjungi di Indonesia seperti Sulawesi, sampai Gunung Krakatau.
“Kelihatannya ia sangat mencintai negeri ini,” kata Kit.
Soon tersenyum. “Kita juga kan?”
Kit tampak tersenyum tulus. Soon juga ikut-ikutan tersenyum. Kit sekali lagi melihat bebukit yang tampak kelabu di kejauhan, melahirkan aroma mistis yang samar-samar.

Malamnya, Kit tahu Soon akan mengajaknya main pingpong lagi—Kita tidak mengerti mengapa Soon jadi suka main Pingpong. Ia mendengar bebunyian musik di kejauhan, lalu mengajak Soon mencari sumber bunyi itu.
“Aku tahu Kecak di Uluwatu akan sangat sulit untuk dilupakan,” kata Kit.
Soon menyeringai. Ia membayangkan saat senja terindah itu. “Kecak, bisa kita kesana lagi?”
Tapi saat itu mereka berdua sudah sampai di sebuah bar. Kit dan Soon masuk, mengambil tempat duduk, dan mulai menonton sebuah pertunjukan lagu-lagu rakyat Batak.
“We missed the batak dance,” kata Soon.
Seorang pria dengan wajah letih dan mata sayu memperkenalkan tujuh orang laki-laki yang kemudian mulai bernyanyi. Soon melirik ke kiri kanan, dan ke belakang—melihat bagaimana penonton bereaksi.
“Di sini lebih banyak orang dibandingkan dengan di Tabo,” kata Soon.
“Mungkin karena lebih murah,” jawab Kit.
Lagu-lagu diperdengarkan, tidak dengan teknik unison. Tiba-tiba Soon tertawa-tawa.
Kit meliriknya. “Apa yang lucu?”
“Mengapa aku merasa sedang berada di meksiko? Orang-orang itu mirip seperti orang Amerika Latin. Yang kurang hanya sombrero saja,” kata Soon.
Kit mengamati para penampil dengan lagu-lagu yang tidak ia mengerti dan berpikir barangkali Soon benar.
Soon melambaikan tangan pada pelayan, yang kebetulan lewat tak jauh dari mereka membawa nampan berisi botol Bir Bintang.
“Saya mau teh botol,” kata Kit. Ia tahu Soon tidak minum alkohol.
Pelayan menggeleng. “Disini tidak ada teh botol,” kata pelayan itu. Ia lalu meninggalkan Kit dan Soon untik memilih minuman lain.
Soon kembali memperhatikan gaya kocak bapak presenter. Bahunya kembali terguncang, menahan tawa. Kit mendelik pada sahabatnya, sekaligus lega karena mood Soon telah benar-benar kembali.
“Ia mengingatkanku pada droopy,” kata Soon. “Droopy yang nyata.”
Soonn tertawa lagi. Kit menatap laki-laki yang berbicara dengan gaya tidak antusias, mengantuk, dan kelopak mata yang jatuh—setidaknya ia punya kelopak mata.
“Siapa droopy?” tanya Kit.
Soon terus saja tertawa.

Siang itu mendung saat Kit dan Soon check out, dan langit mencurahkan hujan saat mereka berada di ferry. Beberapa bagian terpal bocor, dan diantara para penumpang mereka melihat Francois. Sendirian.
“Sepertinya ia memang datang kesini sendirian,” kata Soon.
“Lalu mengapa ia bilang sedang menunggu istrinya?” tanya Kit.
Soon diam saja. Hujan membuat segalanya terasa ... entahlah. Soon dan Kit tak banyak bicara lagi sesudahnya. Keduanya berbagi earphone dari Ipod Soon, mendengarkan lagu-lagu pop Indonesia yang disukai Soon. Membiarkan angin meniup rerambut, melekatkan imajinasi tentang persahabatan yang tak akan lekang.

Hujan masih turun ketika ferry merapat di Parapat. Kendaraan yang akan membawa mereka ke Medan, sudah menunggu. Perjalanan yang seharusnya empat jam berubah menjadi tujuh jam. Kit beberapa kali terlihat marah, menyumpah dan lain-lain. Sopir travel itu disebutnya 'bodoh'.
“Ternyata lotus itu akan kuncup kalau tidak ada matahari ya?” Soon berusaha mengalihkan pembicaraan.
Kit lalu memilih tidur, sambil mendengarkan lagu-lagu sendu Faye Wong.
Ketika mereka tiba di jalan Sun Yat Sen menjelang jam 8 malam, keduanya langsung check in, membersihkan diri sebentar lalu dengan becak bermotor, mereka menuju Sun Plaza.
“Mengapa kita selalu pergi ke mal?” tanya Soon ketika mereka sudah tiba di mal itu.
“Kamu bilang mau pergi ke mal bersamaku?” kata Kit.
Soon melihat sebuah restoran Chinese dan memiliki sebuah ide. “Akan kutunjukkan bahwa aku bisa makan xiao long pao dengan benar,” kata Soon.

Esok harinya, tepat jam 11.00 mereka tiba di KLIA. Soon dan Kit berpisah dengan taksinya masing-masing. Kit memeluk sahabatnya dan tersenyum. Matanya berbinar-binar membayangkan rencana perjalanan berikutnya. Kit masuk ke Taksi. Soon melambaikan tangan, merasa sedikit kosong.
Soon masuk ke Taksi yang akan membawanya ke kawasan Petaling Jaya. Ia akan menelepon Mei, pacarnya, mengabarkan bahwa ia telah datang. Ia mencari-cari buku agendanya, dalam taksi yang berjalan. Namun ia tak menemukannya. Ia kembali teringat pada Soon yang sangat organized, teratur, dan mr planning diantara mereka berdua.
Bayangan Kit menekuri buku agendanya untuk merencanakan ittinerary mereka terus muncul di kepala Soon.

Francois
Hujan. Hujan lagi, setelah kemarin Aku melintasi Danau Toba dalam sebuah ferry, dan hujan membuat nuansa laut yang kental. Aku terdiam lama, memandang hujan yang jatuh di permukaan laut dan daratan di kejauhan yang dipeluk kabut. Telah kucukupkan masaku di Toba Lake, dan kini kusiapkan perjalanan menuju tempat eksotik lainnya di negara paling eksotik di semesta.
Dengarlah sayang. Ada panggilan untuk maskapai penerbangan kecil di bandara ini. Mereka berangkat ke kota-kota kecil, yang tidak kita tahu namanya, dan mungkin takkan kita temukan di peta. Dalam hujan, kubayangkan adalah warna hijau dedaunan yang seolah bisa kuhirup aromanya, dahan-dahan yang memilin di sebuah hutan lebat, dimana binatang-binatang hidup disana, tanpa perlu merasa khawatir, tanpa perlu merasa takut.
Dan aku disini, dalam kerinduan yang teramat sangat kepadamu, kukirimkan salam untuk negeri yang sedang menyambutmu sekarang, sebuah negeri yang melebihi negeri-negeri terindah di dunia, dan karenanya membuatmu layak berada disana....

READ ME!

Sudah beberapa hari ini, Ana membaca majalah “Cerita”, ia sudah melahap habis hampir semua cerita pendek yang ada di majalah teenlit itu, kecuali cerita yang berjudul “Bacalah Aku”. Ini karena pada kalimat pertama ia harus berkenalan dengan tokoh utama bernama Rafael. Nama itu adalah nama yang membuat hatinya berdarah-darah! Ana tidak mau melanjutkan membacanya.
Padahal Rafael dalam cerita itu pastinya bukanlah Rafael dalam kehidupan nyata Ana: seorang Rafael yang berkenalan dengannya di mal, Rafael yang sejak awal bertatapan mata dengan Ana, telah mampu membuat Ana merasa nyaman, tenang, dan membuat Ana percaya bahwa cinta pada pandangan pertama itu ada.
“Aku akan segera menikah,” kata Rafael beberapa bulan yang lalu.
“Tidak sekarang, aku masih kelas dua SMA,” kata Ana, dengan hidung kembang kempis karena bahagia. Perasaan cinta yang meluap-luap membuat Ana tidak mampu menyimak dengan benar apa yang dikatakan Rafael.
“Tapi, tidak dengan kamu,” kata Rafael, sambil melihat ke arah lain; anak-anak muda, berpasang-pasangan berjalan dengan berpegangan tangan, hilir mudik di luar kafe itu, pada suatu malam minggu yang adalah malam pameran cinta, di koridor mal, di restauran atau kafe dimana pasangan duduk berdua sambil makan malam berdua, seperti ia dan Ana.
Rafael juga tidak melihat ini: wajah Ana yang seperti karet dimasukkan dalam lahar yang berpijar mendengar apa yang dikatakannya.
“Jadi?”
“Maafkan aku untuk tidak mengatakannya dengan cara yang benar, my Ana,” kata Rafael. “Tapi, sesungguhnya kita tidak bisa bersatu, aku sudah dimiliki wanita lain. Kami akan menikah segera sesudah aku lulus S2-ku. Aku tidak merencanakan untuk juga jatuh cinta pada kamu, tapi...”
Cara yang benar?
Dan sekarang Ana sedang memikirkannya. Tidak ada cara yang benar, jika itu menyangkut cinta. Cinta seperti jelangkung, ia datang tak diantar, pulang tak dijemput. Ana benci sekali pada perumpamaan yang norak sekali itu, dan bertambah benci ketika ia sendiri yang mengalaminya.

Bacalah Aku! Bacalah Aku!
Tapi judul cerpen itu terngiang terus di kepala Ana. Bukan karena ceritanya yang bagus—ia malah belum sempat membaca lebih jauh dari paragraf pertama. Tapi karena pada paragraf pertama itu, ada nama Rafael. Rafael yang begitu dirindukannya, dan akan segera pulang ke Jakarta, dalam beberapa minggu lagi. Tapi hati Ana terasa perih. Ana tahu, ia akan kembali untuk Rosy, tunangannya, bukan untuk Ana. Rafael akan menikah dengan Rosy, dan bukan dengan Ana.
Malam itu, seperti malam-malam yang lain, Ana sukar memejamkan mata. Ia merasa menyesal telah membeli majalah “Cerita” dan menemukan nama Rafael. Kini ‘Rafael’ ada di sebelahnya, sinar lampu dari luar jendela yang samar menyinari cover majalah itu—dan didalamnya ada nama Rafael yang melahirkan keresahan melebihi malam-malam sebelumnya. Padahal Ana tidak memiliki apapun yang memunculkan kenangan akan Rafael di kamarnya, tidak selembar foto, tidak sehelai surat. Biar saja, toh Rafael memang tidak akan pernah menjadi miliknya!
Ana menyalakan lampu meja, dan membuka laci. Ia mengambil gunting dan memegangi empat halaman cerpen “Bacalah Aku”, gunting itu sudah siap mengoyak majalah itu, tapi tangan Ana berhenti di udara. Ia membalik beberapa halaman, menarik nafas panjang dan akhirnya mengambil steples dan men-staples empat halaman yang diisi cerita itu. Dan sebelum tidur, ia mengetik pesan pendek. Good nite, babe.
Sebuah sms masuk ke HPnya beberapa menit kemudian. Nite, sleep tight, my Ana.

“Gue udah gila ya, Re?”
Rea tersenyum. “Bisa jadi”.
Ana mendesah lemah.
“Lupain Rafael,” kata Rea sambil menyeruput juice alpukat di kantin sekolah mereka.
Ana menarik nafas berat, dan ketika menghembuskannya, ada rasa sakit yang mengiringinya nafasnya. “Gue nggak pernah dicintai dan mencintai dengan cara seperti itu,” kata Ana.
“Ana, jangan terus menerus melukai hati lo sendiri, Rafael bukan milik lo. Lo tahu itu kan?”
“Iya, tapi kan...”
“Tapi apa lagi? Lo mau bilang dia cinta ama lo? Dia nggak bisa lupain lo? So what? Lo akan terus punya alasan untuk menyangkal kalau sebenarnya hubungan lo ama Rafael itu sudah nggak ada.”
“Tega banget sih lo, Re!”
Ana berdiri dan berlari keluar kantin, air mata berderai di pipinya. Ana menabrak seorang pelayan yang membawa piring-piring kotor, dan piring itu berjatuhan di lantai. Suara genderangnya terdengar nyaring, kantin sunyi senyap untuk sesaat ketika murid-murid SMU yang sedang beristirahat itu menghentikan obrolan mereka dan melihat apa yang telah terjadi.
Rea memegang kepalanya dengan dua tangannya. Kasihan sekali Ana, pikirnya.

Gue udah gila ya Re?
Mungkin.
Ini adalah malam yang lain lagi. Namun dengan ritual yang sama yang selalu dilakukannya: mengirim sms pada kekasih. Babe lagi apa?
Ana menunggu. Dan menunggu. Terus menunggu. Lima menit, sepuluh menit. Setengah jam. Hatinya sakit, jiwanya terlukai ketika tidak ada bunyi sms masuk atau getar di HPnya.
Lalu pikirannya mulai membayangkan banyak hal. Bahwa Rafael akan meninggalkannya saat ini, tidak ada sms sama sekali, tidak ada email. Tidak ada pemberitahuan apapun. Seperti dulu ketika laki-laki itu memberitahunya bahwa ia sesungguhnya punya tunangan.
Ana melempar majalah “Cerita” ke tembok. Braaak! Biarlah amarahnya sedikit terlampiaskan malam ini. Ana lalu menatap langit-langit, mencoba mencari-cari ingatan yang manis, untuk meredakan gundah hatinya.
“Nama saya Ana. Mas namanya siapa?” tanya Ana sambil menggenggam erat tangan seorang laki-laki muda dengan senyum yang membuatnya terlihat seperti laki-laki pemalu. Laki-laki itu mengajaknya berkenalan.
“Saya Rafael. Saya sedang bingung karena ini pertama kalinya saya ke mal ini. Asyik juga ya suasananya.”
“Kok bisa? Ini kan mal terbesar di Jakarta.”
“Sudah setahun saya kuliah di Australia,” kata Rafael. “Sekarang lagi balik ke Indonesia untuk penelitian.”
Keduanya sedang duduk bersandingan di bangku sebuah mal. Tidak ada percakapan apapun sampai lima menit kemudian, tapi kemudian Rafael mengajak Ana makan di sebuah kafe. Seminggu kemudian, mereka makan malam bersama di kafe yang lain, lalu Ana dan Rafael menghabiskan malam minggu berjalan-jalan di Alun-alun Indonesia, lalu nonton di Blitz, makan eskrim di Ragusa, makan malam di Kafe Pisa, makan siang di Bakmi GM, jalan-jalan ke TIM malam-malam, memilih batik di Batik Keris. Batik itu berwarna pink, dan kelak ketika Ana lewat sendirian di depan Batik Keris, ia akan melongok ke dalam toko itu, melihat kembali batik yang sudah pernah dibelinya bersama Rafael.
Dalam waktu yang singkat itu, tidak sulit bagi Ana untuk jatuh cinta pada Rafael yang pintar, sensitif, dan agak kikuk. Meski demikian, Rafael adalah tipe cowok matang yang mampu menghilangkan perasaan Ana yang sering merasa tidak nyaman dengan dirinya sendiri. Rafael yang berwawasan luas, tidak ada bandingannya dengan teman-teman SMA Ana.
Ana mengambil majalah “Cerita” yang tergeletak di lantai. Sudah dua jam di atas tempat tidur, berbaring ke kanan dan ke kiri, namun mata Ana tak juga terpejam. Ana menyalakan lampu meja, duduk, lalu meletakkan majalah itu di pahanya, membuka lembar demi lembar sampai pada cerpen yang berjudul “Bacalah Aku”—halaman yang ia steples rupanya sedikit terbuka. Ada sebuah paragraf mengintip disitu, Ana mau tak mau membacanya, dan bersama karakter Rafael dalam cerpen itu, ia mengenang Rafael, sang pujaan hati. Rafael yang lusa akan pulang ke Jakarta, Rafael yang dicintainya dengan secinta-cintanya.
....Lalu ada masa ketika Rafael menjadi begitu lelah. Ia menjadi begitu lelah atas hati dan perasaan sendiri, seperti juga kekasihnya. Tidak ada orang yang bisa begitu kuat menjalani semua ini, tidak manusia biasa seperti Rafael dan dia. Maka, ketika Rafael menginginkannya hanya untuk makan malam yang sederhana, ia tak ada. Dan ketika Rafael menginginkannya pada sebuah sore, untuk dilalui menyusuri deretan pepohonan besar di kota yang selalu disebutnya membosankan, diapun tak ada. Rafael dan dia hanya ada dalam pikiran satu sama lain, namun anehnya, Rafael tak bisa lupa, ia tak bisa lupa.
Perasaan apakah ini?
Lalu mendadak Rafael begitu rindu, hidup terasa teramat pahit, ketika Rafael dan dia dengan kompak merasa tersesat dalam keterpisahan ini. Tangisan. Ada janji-janji, kata-kata manis, senyuman. Dan jikalau satu sama lain lebih berani, mereka akan meninggalkan dunia masing-masing, untuk bergabung dalam satu dunia. Namun ternyata tidak bisa begitu, tidak lebih banyak kemudahan dibandingkan yang Rafael kira. Hidup itu mahal, seperti kata ‘selamanya’...

“Hari ini kamu tidak usah pergi sekolah. Mama akan bawa kamu ke dokter,”
Ana mendelik ke arah Mamanya. “Ana baik-baik saja kok, Ma!”
Mama memotong-motong roti bakar dengan pisau, sambil mendengus ke arah Ana, merasa terganggu dengan nada bicara anaknya yang sedikit menantang.
“Oke, kamu tunggu Parmin. Ia sedang mengantar Papamu ke kantor. Parmin akan mengantar jemput kamu ke sekolah.
“Papa? Itu suami mama, bukan Papaku.”
“Oke, Mama sudah bosan kita bertengkar tentang hal ini. Tapi, Mama minta kamu hapus riasan kamu.”
“Riasan apa?”
“Apa yang kamu pakai di matamu sampai seperti ada lingkaran hitam seperti itu? Kamu seperti pecandu narkoba, Ana! ”

“Re, Mama nuduh gue nge-drug. Apa gue emang kelihatan seperti itu?”
Rea menatap sahabatnya. “Gue nggak tahu seberapa parah keadaan lo, tapi ANA, DEMI TUHAN, LUPAKAN RAFAEL!”
“Re, kok lo gitu sih?”
Ana mulai menangis. Untung saja saat itu mereka saat itu sedang berada di rumah Rea yang sepi sehingga Rea bisa berteriak kencang dan Ana bisa menangis sejadi-jadinya. Rea sebenarnya merasa bersalah melihat Ana menangis, tapi ia hanya berdiam diri saja. Ana mengambil tas yang diletakkan tak jauh dari tempat tidur dan mengobrak-abrik isinya. Ia lalu mengeluarkan semua isinya, buku-buku pelajaran, handphone, dompet, majalah “Cerita” yang kelihatan sudah sangat lecek, pembalut wanita, sebelum menemukan apa yang dicarinya: tisu.
Ana menghapus ingus dari hidungnya dengan tisu itu, sementara Rea hanya bisa melihat ranjangnya yang dipenuhi barang-barang dari tas Ana. Rea mengambil majalah “Cerita” dan membuka lembar demi lembar halamannya dan menemukan beberapa halaman yang disteples. Ia baru berusaha melepas halaman itu satu persatu ketika tiba-tiba Ana merebut majalah itu.
“Pengarang macam apa yang memberi judul ‘Bacalah Aku’ pada cerita karangannya. Seperti tidak ada judul lain saja! Pengarang itu seperti pengamen yang bernyanyi dengan buruk di bis kota dan meminta uang pada para penumpang atas suara sengaunya itu!” teriak Ana sambil memasukkan majalah itu ke dalam tasnya. Air mata Ana sudah tidak mengalir lagi, tapi sebagai gantinya, wajah Ana seperti matahari yang merah dan membakar.
“Ana, lo nggak apa-apa kan?”
“Gue suka majalah ini! Tapi kenapa cerpen jelek ini harus masuk? Editornya sedang mabuk atau apa?”
“Na, sumpah deh lo nyeremin banget. Gue anter lo pulang ya?”
Ana lalu mulai menangis kembali. Rea memeluk Ana pelan dan menepuk-nepuk punggungnya.

“Na, ini Miky, cowok paling ganteng di sekolah kita. Katanya dia mau jalan-jalan ama lo abis pulang sekolah.”
Ana menatap orang yang diperkenalkan sebagai Miky itu. Miky tersenyum lebar, dan dengan pandangan matanya yang teduh, menatap Ana yang sedang mengaduk-aduk minumannya dengan kasar,
“Na, lo mau kan? Lo mau ya!” Rea mengulangi permintaannya.
“Gue mau. Kita jalan-jalan ke Alun-Alun Indonesia ya? terus nonton di Blitz, makan siang di Bakmi GM, terus ke Ragusa, beli batik warna pink di Batik Keris, jalan-jalan ke TIM, pulangnya makan malam di Kafe Pisa!”
“Na, udah deh Na. Ini Miky Na, bukan Rafael.”
“Oh Miky ya? Hai Miky tapi aku bukan Mini.”
Miky mundur perlahan. Wajah itu menampakkan ekspresi bingung. “Sorry ya Re, gue nggak bisa.”

“Na, lo masih waras kan?”
Ana tidak menjawab. Ia merebahkan dirinya di atas ranjang besar di kamarnya, masih mengenakan seragam putih abu-abu. Perutnya kembang kempis, nafasnya mengalun dengan lembut. Ana menatap langit-langit, terlihat sangat letih.
“Rafael udah ada di Jakarta, Re. My Rafael. Minggu depan dia akan menikah dengan Rosy. Dia masih sms gue semalam. Gue masih sayang ama dia. Gue masih cinta. Gue masih sayang. Gue cinta...”
Tak lama kemudian, Ana tertidur. Rea diam-diam membuka tas Ana dan mengambil majalah “Cerita”, membuka halaman yang di-steples dan menemukan cerpen berjudul “Bacalah Aku”.
....Setiap hari Rafael terbangun lebih dulu, lalu ia mengirimkan pesan singkat, ketika dia masih tertidur. Pesan-pesan itu lalu tak sempat terjawab, meluluhlantakkan dunia, menghancurkan rasa. Rafael merasa begitu tersakiti. Diapun merasa begitu tersakiti.
Rafael masih menyimpan sms-sms itu, dan masih merasa begitu menyayanginya, setiap detik, setiap menit, hari-hari berganti, namun ikatan antara Rafael dan dia, ternyata makin kuat. Entah bisa terlepas atau tidak, Rafael tak mau memikirkan ini. Mungkin waktu juga tidak akan bisa menjawabnya..
Namun, Rafael diam-diam bersyukur pada Tuhan. Sudah menemukan seseorang untuk dicintai, dan juga mencintainya. Itulah perasaan terhebat. Rasa itu, perjalanan itu, nama itu, negara itu, kalimat-kalimat bernada sayang, kecemburuan, takut kehilangan, dan diinginkan. Rafael merasa berarti. Barangkali untuk pertama kalinya sepanjang hidupnya.
Ada pula masa-masa ketika dia menjadi terang dalam gelap dunianya. Ketika dia menjadi huruf-huruf yang Rafael tulis dalam cerita cinta, ketika dia menjelma imajinasi dan bayangan yang ideal tentang kebahagiaan, memenuhi kepala Rafael untuk dituangkannya dalam bentuk cerita cinta. Ketika Rafael ingin orang tahu, Rafael ingin manusia membaca kisah pilunya dan ikut merasakan: Bacalah Aku. Bacalah.

Sesudah membaca cerita itu, Rea membangunkan Ana. Ia mengguncangkan tubuh Ana. Ana menggeliat dan dengan malas membuka matanya.
“Na, bangun. Lo nggak sendiri.”
Ana menatap Rea sambil masih berbaring. Ana menggelengkan kepalanya pelan. Rea mengacungkan majalah “Cerita”. Ana menutup wajahnya dengan bantal. Rea merebut bantal berwarna pink itu.
“Na. lo harus dengarin gue! Gue udah baca cerpen ini. Aneh memang, tapi secara kebetulan Rafael dalam cerita ini juga mengalami long distance. Itu artinya lo nggak sendiri Na. Jangan bersedih terus. Atau lo mungkin benar-benar harus masuk ke rumah sakit jiwa.”
“Re, kalau lo mau menghibur gue, bukan begini caranya.”
“Maksud gue, cinta memang nggak harus selalu indah dan happy ending, Na. Baik di kehidupan nyata maupun di dunia fiksi, selalu ada penderitaan karena cinta. Tapi begitulah hidup Na. Sudah digariskan. Ana, lo sahabat gue, dan gue tahu lo orang yang nggak selemah itu. Lupakan Rafael, Na. Masih banyak cowok yang lain.”
Ana bangun dan menyandarkan punggungnya di ujung tempat tidur. “Lo mau tahu kenapa gue nggak mau lupain Rafael?”
Rea mengangguk. “Ya, please. Cerita.”
“Rafael itu cinta pertama gue. Gue takut kalau gue melepaskan Rafael, tidak akan ada lagi orang yang akan bisa mencintai gue lagi...”
“Na, lo salah banget. Lo pikir Rafael akan senang ngelihat lo kayak gini. Please Na, jangan pernah berpikiran seperti itu lagi.”
Ana menatap sahabatnya erat-erat.
“Ana, cerita Rafael dalam cerpen ini endingnya emang sedih, tapi yang membuatnya jadi seperti itu kan pengarangnya! Coba deh Na, lo pikir.”
Hening sejenak.
“Kalau lo sendiri mau happy ending atau sad ending buat hidup lo?”
Pandangan Ana menerawang ke luar jendela kamarnya. “Mungkin happy ending.”
“Kok mungkin? Harus happy ending dong! Ana, kita ini kan manusia, bukan karakter dalam cerita yang bisa dimenderitakan pengarang, jadi kita harus bisa dong menentukan ending hidup kita sendiri?”
Mendengar kata-kata itu, Ana spontan memeluk Rea. Rea membalas dengan sama eratnya.

Sopir mengemudikan mobil Ana dengan terlalu lambat. Ana dan Rea duduk di kursi belakang. Ana membuka pesan singkat di Hpnya. Maafkan aku My Ana.
Ana menghela nafas panjang.
“Rafael sms lo lagi?” tanya Rea.
Ana mengangguk.
“Ubahlah konteks komunikasi lo,” kata Rea. “Dia telah menjadi suami seseorang, tapi dia mungkin masih bisa menjadi orang yang istimewa buat lo, seperti banyak orang istimewa lain yang akan datang dalam hidup lo.”
Ana menatap keluar jendela, masih terlihat murung.
“Na, lo bisa ya?”
Ana kembali mengangguk. Dan setengah jam kemudian mereka sudah berada di gedung resepsi dimana Rafael dan Rosy bersanding dalam pakaian adat, berada di pelaminan, didampingi orangtua masing-masing, tampak cocok dan serasi.
Di barisan yang sedang mengantri itu, Rea membisiki Ana. “Na, lo harus bisa. Gue di belakang lo.”
Barisan terus berjalan. Ana akhirnya sampai di depan Rafael.
“Selamat ya.”
Ana memeluk Rafael. “Terima kasih, Ana,” bisik Rafael di teling Ana.

“Re, 'Bacalah Aku' ceritanya tentang apa sih?” tanya Ana dalam perjalanan pulang.
“Baca aja sendiri. Udah bisa kan sekarang?”
“Mungkin.” Ana tersenyum.

Jakarta, 11 November 2009.

Sit besides Lake Burley Griffin... It's you

Biasanya saya selalu memiliki prejudice mengenai pelayan public Indonesia yang sering hanya seadanya, menyebalkan, dan tidak professional. Tapi kemarin, saya datang ke kantor pos, dan mendapati petugas yang ramah, sebenarnya tidak murah senyum, tapi sangat convincing.
Saya memutuskan untuk menggunakan layanan pos biasa, bukan tiki, atau DHL, atau FedEx, karena alasan budget. Saya telah bertanya, tarifnya seharga Rp. 600.000 something untuk jasa swasta. Saya pikir dengan uang segitu saya bisa ke Jogja, ke prawirotaman, dimana kita menghabiskan dua setengah hari disana. Atau ke borobudur untuk mengambil beberapa pose asana lagi. (Tapi saya tidak akan melakukannya, karena itu akan menjadi terlalu menyakitkan).
Maka saya akan meminta kamu menunggu maksimal 10 hari sampai Saman dan Laskar Pelangi bisa berada di tangan kamu. Mbak petugas kantor pos yang membuat saya bangga (karena berlainan dengan petugas layanan public lainnya, dia tampak memahami apa yang ia kerjakan. Meski kamu bukan WNI, saya rasa kamu tahu maksud saya) menganggukkan kepala ketika saya bertanya apakah paket ini akan benar-benar sampai ke alamat yang saya tulis disana. (Dulu kita sempat membahas kalau Laskar Pelangi mirip dengan Not One Less-nya Zhang Yimou. Saya rasa kamu yang selalu underestimate pada saya, dan pada orang Indonesia pada umumnya, saat itu cukup takjub kalau saya tahu film dengan setting pelosok Cina daratan itu. dan beberapa waktu sesudahnya, kamu bilang saya exceptional, tapi saya tetap merasa itu bukan rayuan).
Saya harap paling lambat minggu depan kamu sudah mulai bisa membaca Saman. Saya sebenarnya tidak yakin kamu akan bisa memahami isi Saman dalam bahasa, karena bahasa itu beda dengan Malay. Tapi kamu menolak untuk edisi bahasa Inggrisnya. (Saya pikir saya juga harus membeli untuk diri saya sendiri, karena saya sudah demikian terpesona pada penulisnya: Ayu Utami. Saya sedih karena mungkin dia ignore saya di Facebook).
Barangkali sesudah buku itu kamu terima, kamu bisa membacanya di tengah hangatnya matahari musim semi di tepi danau yang katamu indah itu. Betapa menyenangkan, seperti bule-bule di Bali yang setelah melalui penerbangan separuh bumi, akan tenggelam membaca buku dimana-mana: dipantai, di kolam renang, dan di Perama Boat (kamu masih ingat? Saya masih mengingat semua detail yang terjadi, seakan-akan baru kemarin terjadi. Dan juga bekas gigitan kepitang di lengan kanan, setelah snorkeling, menyisakan sesuatu seperti bekas terkena cacar air—sebagai sebuah suvenir dari Nusa Lembongan).
Disini saya hanya bisa berpesan, janganlah kamu terlalu banyak berpikir. Penting untuk menuangkannya dalam sesuatu, yang penting sesuatu itu bisa keluar dari kamu. Asal kamu tidak memendamnya untuk kemudian meledak di kelak kemudian hari. Ada orang-orang yang hidup di dunia yang kita jalani sekarang, tapi ada juga yang hidup di dunianya sendiri. Mungkin, saya, kamu dan beberapa orang yang tidak kita tahu, juga hidup di dunia tersendiri (kamu tahu, saya sempat dijuluki autis, karena hal ini). Tapi jika kita merasa bahagia di dalamnya, tidak ada lagi yang akan lebih penting dibandingkan kebahagiaan itu. Seseorang tidak kita butuhkan untuk menjadi pelengkap kita, tapi adalah dunia lain yang dimilikinya yang bisa menjadi inspirasi kita. Karena itu, kita patut harus selalu berbahagia meski sendiri, karena kita tak akan pernah sendiri. Yang sesungguhnya adalah karena kita ada dalam diri kita masing-masing, maka tak pernah sedikitpun kita berpisah. Tidak satu detikpun. Jadi ketika kamu disana menikmati langit biru, seperti yang selalu kamu sukai, maka saya juga sedang menikmatinya. Bersama kamu.

Two Japanese at Nusa Lembongan

“Kamu tidur dengannya?” Bertanya Kinnosuke kepada Yoshikawa. Kinnosuke hampir tak bisa bernafas dengan normal, kemarahan merasuki dirinya. Ia memandang lekat-lekat Yoshikawa yang tidak membalas tatapan itu ataupun sekedar mencondongkan badan padanya—bahasa tubuh yang memperlihatkan kalau kita sedang merespon lawan bicara.
Kinnosuke tidak tahan lagi. Ia meraih kerah baju hawaii Yoshikawa. Kepalan tangannya berada di udara, pada jarak hampir nol ke arah wajah Yoshikawa yang pasrah. Sesaat yang ingin dilakukan Kinnosuke adalah menghantam wajah Yoshikawa dengan kepalan tangan itu. Tidak hanya sekali, tapi berkali-kali agar Kinnosuke bagaimana rasa sakit—seperti rasa sakit yang bersarang di hatinya karena pengkhianatan itu.
Yoshikawa menatap Kinnosuke. Kinnosuke tidak mengerti apa arti tatapan itu. Namun sesuatu dalam tatapan itu membuat Kinnosuke menghempaskan tubuh Yoshikawa ke lantai.
Kinnosuke pergi begitu saja.

Kinnosuke sedang makan malam. Waktu itu senja seharusnya indah di Nusa Lembongan. Warna ungu mengintip dari balik kelam awan yang berkhianat. Ada rasa masygul di dada Kinnosuke—ia ingin melihat dan menikmati matahari terbenam yang sempurna. Disertai detik-detik dimana cahaya memudar, burung-burung terlihat di kejauhan bagai siluet indah dalam lukisan naturalis. Ada perahu nelayan dan alam sedang berpuisi dengan kata-kata yang hanya bisa ditangkap pujangga. Kinnosuke bukan pujangga, tapi ia menghayati nilai-nilai estetika yang menjelma puitis seperti itu.
Dan malam ini, dirasakannya pengkhianatan kedua itu.
Yoshikawa membawa nampan berisi makan malamnya, nasi goreng dan jus alpukat. Ia duduk di sebelah Kinnosuke, di sebuah restoran yang menghadap pantai itu. Kinnosuke hanya sekedar melirik ke arah piring Yoshikawa. Wajahnya masih tampak muram dan marah. Kinnosuke hanya tertawa dalam hati, ia tidak memesan nasi goreng karena ia tahu nasi yang ada di pulau ini tidak dicuci dengan benar. Kemarin ia makan nasi goreng disertai dengan batu-batu kecil, dan barangkali kutu-kutu.
Kinnosuke menyambar kentang gorengnya, berusaha cuek dengan kehadiran Yoshikawa. Kalau resto saat itu sedang kosong, ia pasti sudah pindah tempat duduk. Tapi ia hanya duduk dalam gumun, dan membiarkan keheningan menyelimuti ia dan Yoshikawa.
“Kalau aku mau tidur dengan perempuan, aku bisa mencari geisha kapanpun aku mau,” Yoshikawa memecah keheningan itu. Kinnosuke mendengus. Yoshikawa sama sekali tidak menjawab pertanyaanya.
“Aku mau tahu yang sesungguhnya!” Kinnosuke setengah berteriak.
Pengunjung resto mendongakkan kepala ke arah mereka. Kinnosuke tidak peduli. Ia tahu tak ada seorang Jepangpun di restoran ini, atau seseorang yang bisa mengerti bahasa Jepang, dan kalaupun mereka mengerti apa urusan mereka dengan percakapan ini?
Yoshikawa menyeruput jus alpukatnya.
“Harusnya tidak pernah ada percakapan mengenai Natsumi malam itu,” kata Yoshikawa. Pandangannya menerawang ke ufuk barat yang sudah gelap sempurna saat itu. Untuk pertama kalinya ia terlihat benar-benar menyesal.
“Aku tidak akan pernah memaafkanmu. Aku benar-benar mencintai Natsumi tahu!” kata Kinnosuke dengan ketus.
“Aku tahu.” Yoshikawa menjawab dengan suara beratnya yang tenang.
Kinnosuke terdiam. Ia mengurungkan beberapa pertanyaan yang menggelayut di kepalanya seperti seekor orangutan yang manja.
Kinnosuke lalu mendengar suara Yoshikawa yang tak terlihat—wajahnya berada di luar ambang cahaya, jadi tidak terlihat olehnya. “Natsumi itu gadis yang sangat bebas. Baginya, harajuku hanyalah olok-olok. Kamu tahu apa maksudnya kan?”
Kinnosuke tidak segala menjawab. Ia malu untuk mengakui bahwa ia tidak memiliki pemahaman sedalam itu mengenai pacarnya sendiri.
“Kinnosuke, kamu rindu padanya?”
“Mengapa kamu tanya seperti itu? Apa urusanmu?”
“Kalau kamu sedang memikirkannya, barangkali ia juga sedang memikirkanmu.”
“Omong kosong. Kau tidur dengannya! Kurang ajar!”
“Jangan membuat asumsi sendiri!”
“Sudahlah. Aku lelah!”
Kinnosuke melihat makanan yang telah tandas. Yoshikawa tidak menghabiskan makanannya, barangkali memang betul karena batu dan kutu. Kinnosuke menjadi sedikit senang melihatnya.
Kinnosuke memanggil pelayan.

Mereka berjalan menuju penginapan yang berada di sisi lain pantai. Daerah yang berada di lingkungan petani rumput laut yang hidup dengan teramat sederhana. Jalan menuju ke penginapan itu gelap, terjal, dan berbahaya. Relief yang tidak teratur di bibir pantai dengan kayu-kayu perahu yang teronggok, batu-batu karang, dan keduanya harus berjalan cahaya dari bintang di langit yang tak seberapa—tak ada bulan, dan cahaya dari motel-motel kecil tidak lagi menjangkau jalan itu.
Yoshikawa melihat Kinnosuke berjalan di depannya, masih dengan derap marah. Yoshikawa khawatir kalau Kinnosuke terantuk batu, atau apapun yang membahayakannya. Ia sudah teramat paham dengan watak Kinnosuke yang terlampau gegabah.
Yoshikawa menyusul Kinnosuke. Dengan cahaya HP seadanya, ia berusaha melihat ke arah jalanan di depannya. Cahaya itu tak cukup—hanya bisa mengandalkan insting karena sesungguhnya jalanan itu sudah dilalui mereka tadi siang.
Yoshikawa menggenggam tangan Kinnosuke. Ia ingin melindungi Kinnosuke—jalanan itu hanya setapak, kecil dan berbahaya. Yoshikawa menuntun Kinnosuke yang melangkah di bekas jejak-jejak kaki Yoshikawa di pasir. Kinnosuke tidak melepas genggaman tangan itu sampai mereka melihat plang motel kecil mereka di kejauhan.

Esoknya, Kinnosuke terbangun masih dengan rasa jengkel. Jengkel karena ia ternyata masih merasa sangat marah pada Yoshikawa. Kinnosuke lalu mandi dan bergegas menuju lobby hotel.
Di lobby kecil itu, ia tidak melihat siapa-siapa. Hanya ada Yoshikawa yang sedang sarapan sambil melihat ke arah laut. Kinnosuke mengambil sarapan yang sudah tersedia di meja, toast, telur, dan buah-buahan. Ia lalu duduk di kursi lain, agak menjauh dari Yoshikawa.
“Kinno-san?” Yoshikawa memanggil Kinnosuke. Sesungguhnya Kinnosuke tidak pernah suka dipanggil begitu oleh Yoshikawa. Kinnosuke tidak bergeming. Ia makan dengan acuh.
Yoshikawa bangkit dan menuju luar motel. “Hari yang cerah ya?” katanya. Barangkali pada dirinya sendiri.
Yoshikawa terus berjalan di jalanan setapak, menuju gerbang sederhana, dan menjumpai laut. Yoshikawa menoleh dan memanggil Kinnosuke untuk bergabung dengannya.
“Gunungnya indah sekali!” kata Yoshikawa. Ia lalu mengeluarkan kameranya dan mulai memotret di sana-sini. Ada beberapa anak kecil yang tidak memakai celana mendekatinya. Yoshikawa tampaknya bercanda dengan mereka—anak kecil itu tertawa-tawa. Yoshikawa memotret mereka, dan ikut berlari-lari mengejar ombak-ombak kecil.
Kinnosuke mencibir melihat kelakuan Yoshikawa. Ia sudah kehilangan minat untuk meneruskan liburan kali ini.

Tapi siangnya, Yoshikawa ingin snorkeling dan mengajak Kinnosuke.
“Sore nanti baru kita kembali ke Kuta,” kata Yoshikawa.
“Aku tidak bisa berenang,” timpal Kinnosuke.
“Tidak ada kaitan antara berenang dan snorkeling. Kau hanya perlu mengambang.”
“Tetap saja aku tidak mau”.
Yoshikawa tahu kalau ia tak akan pernah bisa memaksa Kinnosuke. Maka menjelang siang itu, saat Kinnosuke hanya melamun sambil memandang Gunung Agung menjulang di kejauhan, Yoshikawa berangkat sendiri dengan perahu carteran untuk snorkeling di lau sekitar pulau di tenggara Bali itu.
Perahu itu terus membawa Yoshikawa. Yoshikawa tidak menghadap ke depan. Ia terus memandang Kinnosuke yang berdiri mematung di pinggir pantai. Yoshikawa ingin meminta supir perahu kecil bermotor itu untuk berbalik, dan ia ingin memaksa Kinnosuke untuk menemaninya. Jika Kinnosuke tidak suka berbasah-basah, ia bisa tetap tinggal di perahu, menunggu Yoshikawa snorkeling, dan barangkali Kinnosuke akan ikut bergabung, dan mereka bisa snorkeling bersama-sama, dan itu akan menjadi saat-saat yang menyenangkan.
Tapi perahu sudah berjalan jauh, dan Kinnosuke sudah tidak kelihatan lagi. Dalam gemuruh deru angin, dan kecipak ombak, Yoshikawa merasa sangat-sangat kesepian.

Sore itu, Perama Boat sudah menunggu mereka. Kinnosuke tampaknya sudah kehilangan minat mengobrol sama sekali. Mereka naik ke atas perahu yang sudah hampir penuh dengan semua penumpang bule, dan satu dua mungkin orang Indonesia atau Thailand atau Malaysia.
Kinnosuke duduk di pinggir, dan langsung mencondongkan dirinya ke arah laut. Yoshikawa duduk disebelahnya, dan siapapun yang melihat posisi duduk mereka, pasti akan langsung tahu kalau keduanya sedang bermusuhan atau sedang ada masalah.
Yoshikawa beberapa kali mencuri pandang pada Kinnosuke, namun Kinnosuke bahkan seperti tak ingin dilihat. Ia menutupi wajahnya dengan handuk, dan melipat tangannya di dada.
Posisi itu tak berubah sampai mereka tiba di Pantai Sanur.
“Bagaimana kalau kita melihat Kecak di Uluwatu. Pertunjukkan akan dimulai sebelum matahari terbenam. Kita masih ada waktu dengan taksi kesana.” kata Yoshikawa begitu mereka menginjakkan kakinya di Sanur. Ia masih antusias untuk bisa memberikan pengalaman liburan yang menyenangkan untuk Kinnosuke.
Kinnosuke tetap diam. Dalam hati, sesungguhnya ia ingin menikmati sunset yang sempurna di Bali.

Mereka tiba di Uluwatu satu jam kemudian. Kinnosuke dan Yoshikawa masing-masing memakai sarung berwarna biru yang diberikan pengelola tempat itu—yang wanti-wanti untuk waspada dengan monyet-monyet yang sering mengambil kacamata pengunjung. Setelah membeli tiket, mereka berjalan menuju ampiteater yang sudah sangat ramai oleh penonton.
Namun, sesuatu terjadi. Kinnosuke berteriak, memaki. Dan ia memandang dengan marah ke arah Yoshikawa. Saat itu, Yoshikawa melihat kalau Kinnosuke tidak memakai kacamata.
Turis-turis lain makin waspada dengan monyet-monyet pencuri. Kinnosuke menggelangkan kepalanya cepat-cepat.
“Aku benci ini!”
Kinnosuke bukan hanya marah, tapi sudah mau menangis saking kesalnya.
“Sekarang aku tidak bisa melihat apa-apa.”
Yoshikawa kebingungan. Ia merasa Kinnosuke pasti akan makin membenci dirinya. Tapi seseorang lalu memberikan kacamata pada Kinnosuke. Kinnosuke menerima dengan tidak percaya. Orang itu telah menuruni tebing dan merebut kacamata Kinnosuke dari tangan monyet-monyet jahil yang mungkin sudah mendiami pura selama beribu tahun lamanya.
Kinnosuke mengucapkan terima kasih, dan memberikan sejumlah uang pada penolongnya.
“Mari bergegas, pertunjukkannya akan segera dimulai,” kata Yoshikawa dengan wajah cerah.

Dan senja yang indah menjadi background dari pertunjukkan tari dari masa prasejarah. Apa lagi yang lebih indah dari itu? Bukan indah, tapi mistis. Seperti senyum Kinnosuke di akhir pertunjukkan, dan ketika mata mereka bertatapan, Yoshikawa tidak lagi melihat adanya permusuhan di mata itu.
Tapi Yoshikawa ternyata salah. Ketika mereka berjalan menuju taksi dalam gelap, Kinnosuke bukan hanya menolak rangkulan bahu Yoshikawa, tapi ia dengan jelas menghujani Yoshikawa dengan kata-kata pengakhiran.
“Besok, kita hanya akan sampai di Narita. Sesudah itu, kau bukan saudara kembarku lagi,” kata Kinnosuke.
Yoshikawa tertegun. Ia membiarkan Kinnosuke berjalan duluan bersama turis-turis yang bergegas menghindari gelap malam.
Yoshikawa tiba-tiba berteriak dalam hening itu.
“Natsumi sangat mencintaimu,” kata Yoshikawa.
Kinnosuke menoleh, memandang Yoshikawa lalu berjalan kembali.
Yoshikawa mendesis lemah. “Dan saat kita tidur bersama, itu adalah sebuah kesalahan.”

Tuhan, Adakah seseorang untukku?

Beberapa minggu terakhir tagihan kartu kreditnya meningkat tajam. Sesuatu menginspirasinya untuk mengunjungi mal saat sale dan membelanjakan limitnya untuk sesuatu yang diinginkan, tapi sebenarnya tidak dibutuhkannya: blus aneka warna, rok, sepatu, sampai make up merek mahal.
Pagi ini, ia berdiri beberapa lama di depan cermin kamarnya sambil untuk kesekian kalinya mengecek ulang penampilannya yang berbalutkan busana lebih berwarna-warni, sangat lain dari yang biasa dikenakannya. Ia bertanya-tanya dalam hati, sudah cukup cantikkah saya? Jika cantik terlalu jauh dari gapaiannya, pertanyaan itu diralatnya menjadi: sudah cukup menarikkah saya?
Perempuan itu lalu keluar dari rumah dengan seulas senyum yang mencoba dibentangkan dengan alamiah, tidak hanya untuk (setidaknya menurut ukurannya sendiri) membuat dirinya lebih memancarkan aura positif, tapi siapa tahu dengan senyum itu, ada seseorang yang jatuh cinta padanya. Jika jatuh cinta terlalu jauh dari gapaiannya, mungkin harapan itu diralatnya menjadi: seseorang terpikat padanya. Tapi jika terpikat masih terlalu jauh, harapannya adalah seseorang laki-laki memandangnya lebih lama dari sekedar menatap sekilas lalu memalingkan muka seakan memandangnya untuk lebih dari lima detik adalah sebuah kejahatan. (ia masih menerapkan nasihat seorang teman di masa lalu untuk tidak pernah merengut, karena kita tidak akan pernah tahu siapa yang akan jatuh cinta pada senyum kita, atau dimana, atau kapan).
Namun di perjalanan ia melamun, karena tersenyum sendiri adalah fatal akibatnya jika kamu sedang menggunakan fasilitas publik. Ia malah melamun dan teringat pada Nayla, seseorang yang pernah didengarnya menderita kanker rahim stadium empat, dan akan segera meninggal kapan saja. Sebab kisah itu dengan suatu cara sangat menyentuhnya, terutama ketika yang dilakukan Nayla adalah menghitung berapa banyak waktu yang dimilikinya sebelum jam tangannya berubah jadi sapu, mobil sedannya berubah jadi labu, dan dirinya berubah jadi abu. (Catatan penulis: Djenar Maesa Ayu menulis “Waktu Nayla” tahun 2002 yang kemudian terpilih sebagai cerpen terbaik kompas tahun 2003).
` Sebab ia serupa Nayla, meski tak sedang menghadapi maut. Jam biologisnya terus berdetak hingga menderingkan pertanyaan yang berulang-ulang mengenai laki-laki yang seharusnya sudah mendampinginya dalam suka dan duka, dalam senang dan susah, tentang anak yang seharusnya telah membangunkannya di tengah malam karena pipis, atau merengek padanya untuk mainan model terbaru di Toys R Us.

“Kamu nggak update banget sih!” kata Flo pada Koko.
Koko melakukan skimming pada naskah yang baru saja selesai ditulisnya, sebenarnya belum selesai karena pacarnya itu berkeras membaca cerpen Koko setiap selesai satu segmen, atau sewaktu-waktu ketika Koko berhenti sejenak. Koko tidak menemukan apa yang disebut gadis yang setia menemaninya menulis itu sebagai sesuatu yang tidak update.
“Masak nggak tahu,” kata Flo ketika dilihatnya wajah Koko yang bingung.
“Toys R Us are so decades ago,” kata Flo kemudian. “Anak-anak nggak beli mainan di Toys R Us lagi.”
Koko menimbang-nimbang. “Iya gampanglah, kita kan lagi mal. Nanti abis dari Starbucks ini kita jalan-jalan nyari toko mainan apa yang lagi happening.”
Koko menyeruput ice green tea-nya. “Udah deh, belum apa-apa udah bawel, perasaan belum dapat sehalaman gue nulis.”
“Wait. Next kalau kamu mau masukin hal kayak Nayla itu, nggak usah kamu sebutin sumbernya. Ketahuan dong kalau Nayla itu cuma rekaan si Mbak Djenar yang galak itu. Biarin aja begitu, jadi fiksi rekaan kamu sekaan se-alam dengan fiksi rekaan penulis lain.
Koko tersenyum. Ia memang beruntung punya pacar seperti Flo, yang ide-idenya seperti setetes air di padang pasir atau apa gitu...(Koko tidak pandai mencari perumpamaan untuk hidupnya sendiri).
Dan ia mulai menulis kembali.

Ia telah sampai di kantornya kini. Tersenyum lebar, dan ramah seperti biasa. Moral tidak tercela, tidak sombong, suka menolong, tapi sekali lagi ini menurut pandangannya sendiri.
Ia tak mengerti apa yang sedang terjadi dengan dunia ketika dilihatnya semakin hari, dunia meninggalkannya, dan ketika ia seperti berada dalam dunia sendiri. Sebuah dunia berisi dia dan khayalan-khayalan yang hanya menjadi khayalan-khayalan saja karena ia gagal mewujud pada hidup, karena ia berhenti di tahap harapan, ketika asa menjadi sekedar slogan, namun kesukaran yang nyata yaitu melakukan apapun yang tak bisa dilewatinya.
Ia menjadi bingung, memang berlebihan untuk berkata hidupnya seperti di neraka, dan ia tak pernah membayangkan untuk bunuh diri yang akan membawanya ke neraka juga, tapi ada sesuatu yang tidak beres dalam hidupnya, sesuatu yang kurang, sesuatu yang ia tahu persis apa, tapi tak tahu bagaimana ia bisa mendapatkannya.
Ini tentang laki-laki. Ia mendengar tentang Ingrid Kamil yang selalu jatuh cinta pada laki-laki yang tidak bisa mencintai perempuan, cerita itu berakhir bahagia ketika Ingrid kawin dengan laki-laki yang bisa mencintainya, namun dengan syarat Ingrid harus pacaran dulu sebelum menikahi cowok yang pernah ada affair dengan seorang programmer film bernama Ben Harsono.
Bagaimana rasanya pacaran? Itulah masalahnya. Ia belum pernah dekat dengan pria sampai kemudian tahu kepribadiannya, semua lahir dari dugaan yang berasal dari keterbatasan pengalaman, pengetahuan, dan pandangan, yang betapa sempit semua itu kalau hanya dari sudut pandang seorang manusia. Betapa subyektif dan sembrono.
Namun, toh manusia tetap membutuhkan penyaluran, atau pelarian lebih tepatnya, maka prejudice itu tetap dilakukannya. Sebab seseorang butuh pembenaran untuk melakukan sesuatu, betapa salahpun hal itu. Maka, ia diam-diam menuduh rekan cowok yang ditaksirnya sebagai seorang pecinta sesama jenis, ketika laki-laki itu tak meliriknya sama sekali. Untuk kemudian, si tertuduh menikah, dan ia dengan naif masih berpikir kalau pernikahan itu hanya sandiwara.
Betapa banyak pengorbanan untuk membuat orang lain terkesan. Bahkan hanya sekedar melirik lebih dari lima detik. Untuk siapakah manusia hidup? Untuk dirinya atau untuk orang lain yang akan melabelinya sebagai cantik, pintar, berwawasan luas, atau menarik, atau berkarakter? Tak pedulilah ia pada pertanyaan itu, karena ia sudah menjadwalkan salon, spa, menicure, pedicure, pijat, apapun untuk membangunkan inner beauty yang ia yakin ia punya. Hasilnya, entahlah.
Ia berkeras untuk berpegang pada proses dibanding hasil, sekali lagi sebagai pelarian, karena dalam proses itu, ia tak pernah benar-benar keluar dari struktur pikiran yang selama ini terbelenggu dengan rutinitas. Jadi yang ia lakukan adalah menunggu. Berdoa, semoga ada pangeran berkuda putih datang membawanya menuju pelaminan. Ralat, bukan kuda putih, karena kuda meninggalkan kotoran, tapi BMW putih. Diralatnya lagi doa itu, karena ia takut disebut material girl. Tuhan apa sajalah. Yang penting secepatnya!
Tapi bagaimana kalau yang datang adalah penjahat, lebih parahnya penjahat kelamin? Untuk berdoa saja kok jadi ribet.
Di depan komputer, selagi membuka-buka facebook, ia menjadi bingung.
Lalu ia ingat persahabatan Yasmin, Laila, Cok dan Shakuntala yang erat yang mengingatkannya pada persahabatan cewek-cewek di Sex and The City. Andai saja ia bisa menjadi seperti Cok yang sangat berpengalaman dengan laki-laki (dan juga seks). Cok yang tak pernah bermasalah untuk mendapatkan laki-laki, meski diasingkan orangtuanya ke Bali dan membuatnya menjalani hubungan jarak jauh. Ia ingat Cok pernah mengatakan bahwa ia tidak tahan pacaran jarak jauh, tapi ia juga tidak tahan untuk tidak pacaran.

“Hold it there.” Flo menyeringai. “Aku suka kamu mengutip Saman,” katanya.
“Aku tahu kamu akan suka,” kata Koko. Mereka bertatapan dan ada pijaran disana.
Diam sejenak.
“Ada sesuatu yang ingin aku tanyakan,” kata Flo.
“Apa itu sayang?” Koko tersenyum karena merasa kali ini bagian cerita yang ia tulis di netbooknya lolos dari kritik Flo.
“Apakah menurutmu aku mencoba membuatmu terkesan?”
Koko merasa geli dan ingin tertawa terbahak-bahak, tapi ditahannya. Untuk gadis seperti Flo, pertanyaan itu menjadi konyol. Bagaimana ia bisa merasa kalau cerita fiksi telah menyindirnya?
“Nggak,” jawab Koko mantap.
“Justru karena kamu nggak mencoba membuat aku terkesan, maka aku menjadi terkesan padamu.”
Wajah Flo bersemu merah.
Namun Koko kembali melanjutkan dengan amat serius, seolah-olah ia tidak sedang mencoba merayu Koko.
“Kamu pintar, tapi kamu nggak dengan sengaja memilih kata-kata tertentu agar orang menganggapmu pintar. Kamu sebetulnya tidak cantik tapi kamu bersikap seolah-olah tidak peduli, atau berusaha membuat kamu terlalu cantik. Kamu seperti cewek cuek yang nggak peduli dengan cowok. Kamu seperti memiliki dunia sendiri yang membuat orang penasaran untuk memasukinya atau mengundang kamu untuk memasuki dunianya. Dengan cara kamu sendiri, kamu sudah membuat orang menginginkanmu.
“Wow,” kata Flo, ketika akhirnya Koko menyudahi pidato singkatnya.
Flo, se-independent woman apapun, tetap merasa terbang dengan pujian yang datang dari cowok sekeren Koko.
“Kita kembali ke cerpen kamu ya?”
Koko tersenyum. Ia tahu apa yang sedang coba dilakukan Flo.
“Emang kamu nggak bisa ya nambahin karakter cowok dalam hidup perempuan itu? Tapi kayaknya kamu harus ngasih nama deh, biar lebih berjiwa? Jadi nggak cuma ‘ia’ atau ‘perempuan itu’.
Namun Koko tidak setuju dengan ide itu. Menurutnya, jika dinamai, maka nuansa cerpen akan sama sekali berbeda, dan akan jatuh. “Aku pengen buat cerpen yang nggak benar-benar realis, ada di tengah-tengah, tapi nggak abstrak banget,” kata Koko.
“Kamu masih kepengaruh Iwan Simatupang?”
“Mungkin. Nggak tahu,” kata Koko. Ia ingat pertanyaan Flo tentang karakter cowok.
“Sebetulnya perempuan itu memang nggak pernah bersinggungan dengan cowok yang benar-benar menjadi dekat dengannya,” kata Koko.
“Kasihan sekali dia, kalau ia benar-benar ada, aku bersedia menjadi temannya, dengan catatan ia nggak boleh bau dan atau membosankan.”
“Hehehe, syarat yang aneh,” kata Koko.
Namun Flo menanggapinya dengan serius.
”Aku paling nggak tahan dengan orang bau,” kata Flo. Wajahnya memang tidak tampak seperti orang yang sedang becanda. “Kalau orangnya boring juga nggak deh. Malah jadinya bete nggak sih, nggak nyambung gitu.”
“Tapi kira-kira apa yang membuat orang menjadi membosankan?” Koko terbawa serius.
“Mungkin karena ia dungu!” kali ini Flo malah becanda.
“Bisa jadi,” kata Koko serius. “Kurang wawasan membuat orang menjadi membosankan. Pasti salah satunya karena itu,” tambahnya.
“Kita kok malah diskusi kayak gini mengenai orang yang nggak ada?”
“Sebenarnya sih penting,” kata Koko. “Biar karakternya kuat.”
“Jangan-jangan karena itulah perempuan dalam cerita kamu tidak dilirik cowok. Karena ia membosankan? Atau ia bau?”
“Sejujurnya aku nggak tahu.”
“Kalau begitu, mari kita lanjutkan ceritanya.”

Perempuan itu jatuh cinta pada laki-laki bernama Parang Jati namun ia lalu meninggal di Gunung berbatu, dan sahabatnya Sandi Yudha tak henti-hentinya menyalahkan diri. Ia yakin ia bisa tahan dengan laki-laki berjari dua belas. Namun, yang hebat dari perempuan itu adalah meski ia sering melamun, tak ada pekerjaan yang tak terselesaikannya dengan baik. Ini barangkali adalah sebuah trade off yang tak sengaja dibuatnya, harus ada sesuatu dalam hidupnya yang berjalan dengan baik, kan?
Waktu berjalan begitu cepat, dan ketika sore tiba, ia menjadi bingung karena pulang ke rumah terlalu membosankan, sementara tak ada yang mengajaknya makan di EX atau MCD atau Jalan Sabang atau Benhil, atau nonton di Jakter atau di Blitz atau dimana saja.
Ketika pergi sendiri menjadi begitu menyakitkan, karena dalam pikiran naifnya semua orang begitu mempedulikan mengapa seseorang bisa sendiri ketika nonton atau makan fastfood. Sambil mungkin menatap penuh iba. Ia ingin sekali seperti nenek Olga yang selalu pergi keman hati membawanya. Va’ dove ti porta il cuore. Tapi kemana hati membawanya dalam senja yang kerap basah, gerimis, dan menggelisahkan. Tidak tahu. Tidak ada jawaban pasti.
Dan entah sampai kapan hidupnya akan seperti ini,

“Kasihan sekali ya?”
Koko tidak berkomentar.
“Aku tahu ada perempuan yang sendiri karena memang memutuskan demikian, tapi ada perempuan yang sendiri karena menjadi korban budaya patrineal dimana mereka harus selamanya menunggu. Bukan menjadi pihak yang memutuskan.”
“Tapi menarik juga meletakkan ini dalam perspektif rejeki. Seperti uang, teman, atau pacar termasuk rejeki yang katanya rahasia Tuhan.”
“Kalau begitu, kenapa ia tidak mengusahakannya seperti ia bekerja untuk mendapatkan uang.”
“Entahlah, dan aku merasa kamu mulai menganggap hal ini terlalu serius,” kata Koko.
“Mungkin karena aku sama-sama perempuan,” kata Flo.
“Oh no!!” kata Koko panik.
“Ada apa?”
“Netbooknya lowbat, aku nggak bawa colokannya,” kata Koko. Ia merasa bodoh karena harus menyelesaikan cerita ditengah jalan, ketika masih ada mood untuk menulis.
“Ya udah kamu masukin aja dulu ke FB, nanti bisa disambung lagi.”
“Thanks, sayang. Udah nemenin aku,”
“Its, oke.”
Koko memposting naskah setengah jadi itu ke facebook dan menutup laptopnya. Flo memandang Koko dengan penuh perhatian.
“Ko,”
“Ya?”
“I love you.”


Koko has commmented on your notes on facebook:

Iski.... kurang ajar! Lo pakai nama gue dan Flo buat cerpen lo. Trus lo tag buat orang-orang?

Flo has commented on your notes on facebook:

Iya tuh. Apaan pakai i love you segala. Enak di koko, gue yang rugi dong!

Iskandar also commented on his own notes on facebook:
Biarin aja! Biar lo berdua pada digosipin. Abisnya Koko nraktir Flo ke Hongkong, gue kagak!!! Gue disini aja belajar pincha ama Slamet!!

Motivasi yang Samar Dalam “One Day In September”



Tragedi pembunuhan terhadap atlet Israel oleh teroris Palestina pada Olimpiade Munich pada tahun 1972 diceritakan ulang dua puluh tujuh tahun kemudian oleh sutradara Kevin McDonald melalui film “One Day in September” (1999). Dengan mengambil format dokumenter, Kevin berfokus pada krisis penyanderaan, dan adegan pembunuhan lebih daripada berusaha mengungkap apa motivasi terorisme itU.

Barangkali jika McDonald mau ‘menunggu’ dua tahun lagi yaitu pada September 2001, ketika tragedi WTC di Amerika Serikat terjadi, ia barangkali juga akan tertarik untuk mengadaptasi tragedi terhadap rakyat sipil itu menjadi sebuah film. Perisiwa 9/11 telah membunuh lebih banyak ‘korban’ daripada 11 atlet Israel yang terbunuh secara brutal dalam drama penyanderaan yang mengawalinya. Namun, setiap peristiwa terorisme adalah ‘suspense’, ia juga mewartakan adanya keinginan-keinginan tertentu yang coba diungkapkan dengan cara terakhir, yaitu kekerasan.
Namun One Day tidak menjelaskan dengan gamblang apa keinginan-keinginan itu. Penonton diminta memahami sendiri dalam konteks jaman ketika peristiwa itu terjadi, ketika konflik Arab- Israel sedang sangat memanas dan Jerman sebagai tuan rumah olimpiade musim panas itu berusaha menghilangkan stigma akibat propaganda Nazi sewaktu penyelenggaraan Olimpiade 1936. “Film ini hampir tidak menjelaskan siapa orang-orang Palestina itu atau mengapa mereka melakukan penyerbuan,” komentar Roger Ebert, seorang kritikus film terkenal.
One Day memilih untuk secara intense meng-capture 21 jam penyanderaan pada 5 September 1972, yang membawa penonton pada atmosfer penuh kegentingan termasuk kekhawatiran adanya korban yang memang kemudian jatuh. Sejarah lalu mencatat peristiwa Black September dalam lembaran kelabu Olimpiade, dimana antisipasi pengamanan polisi Jerman sangat minim, dan makna luhur penyelenggaraan olimpiade tercederai. (McDonald mengeksekusi adegan montages para korban ini dalam caranya sendiri yaitu dengan scoring music rock.)
One Day menyiratkan bahwa korban yang berjatuhan untuk sebuah perbuatan atas nama keadilan adalah sebuah keniscayaan. Orang-orang seperti Jamal Al-Gashey, satu-satunya teroris yang selamat dari peristiwa itu dan bersembunyi di Afrika, akan terus ada. Dalam film ini. Jamal diinterview—yang lalu menjadi salah satu kekuatan One Day. Pria itu mengenakan topi, kaca mata hitam dan wajahnya diburamkan.
Mereka inilah yang percaya bahwa jalan menuju perdamaian dan keadilan tidak bisa dielakkan dari kekerasan dan tragedi, sebagaimana peristiwa 9/11—yang mencuatkan nama Osama Bin Laden, atau Bom Bali yang melahirkan figure Noordin M Top. Dan bukan sebuah kebetulan jika baik peristiwa 9/11 dan Bom Bali sudah menginspirasi sineas untuk menampilkannya dalam film.

THE BIRTH OF NATION (REVIEW)



Awalnya film bisu karya D.W. Griffith ini berjudul The Clansman. Namun kemudian diganti menjadi The Birth of A Nation yang mencerminkan keyakinan Griffith bahwa Amerika lahir dari Perang Saudara, yang seolah-olah diakhiri oleh Ku Klux Klan, untuk kemudian menjadi bagian dari sejarah kelahiran sebuah negara.

Barangkali Barrack Obama tidak perlu lagi menonton The Birth of A Nation (1915) sebagai refleksi sejarah dan aspirasi publik, sebab ia—yang keturunan Afrika Amerika, sudah menjadi pemimpin tertinggi negara dengan sejarah panjang rasialisme itu, yang oleh karenanya kita bisa menganggap bahwa segala sentimentalisme terhadap kulit hitam (seharusnya) telah runtuh dan semua etnis kini bisa makin hidup dalam harmonisme yang konstruktif.
Sebenarnya perlu diingat bahwa film ini dibuat hanya lima puluh tahun setelah Perang Saudara itu berakhir. Pada saat itu, diskriminasi rasial adalah sesuatu yang tampak galib, setidaknya sampai penghujung abad 20—bahkan sebuah artikel yang muncul di Los Angeles Times, menyebutkan bahwa film ini digunakan Ku Klux Klan sebagai suatu medium perekrutan.
Ku Klux Klan digambarkan dalam film berdasarkan novel Thomas Dixon ini sebagai sebuah tangkisan budaya dan politik. Perang Saudara Amerika yang terjadi pada 1860-an adalah invasi kaum Utara yang menduduki daerah Selatan, yang lalu jatuh sehingga membuat institusi yang menjaga segala pranata sosial di Selatan terhempas, tergantikan pemerintahan yang maha buruk, yang salah satunya mengupayakan kesamaan hak bagi komunitas budak yang baru saja dibebaskan. Dalam kondisi ketika kaum kulit putih merasa dikebiri inilah, Ku Klux Klan lahir. KKK dianggap sebagai keniscayaan bagi kaum kulit putih Selatan untuk menjaga tanah, anak-anak, wanita, dan kehormatan mereka melalui teror, intimidasi, dan propaganda.
Griffith menegaskan pandangan bahwa semua ini bermula ketika Amerika mengenal perbudakan pada Abad 17, sebagaimana dibukanya dengan prolog film: “The bringing of the African to America planted the first seed of disunion.” Tidak hanya itu, jika kulit hitam—umumnya budak, digambarkan secara eksplisit sebagai ‘gila seks’, penuh kekerasan, kekanak-kanakan dan pengacau, maka kulit putih dilukiskan sangat bertolak belakang: bermartabat, terpelajar, dan sophisticated. Hal ini terlihat pada bagian dua film ini “Reconstruction”—bagian pertama memotret era sebelum Perang Saudara, dimana seorang mantan budak bernama Gus mengejar-ngejar seorang gadis, untuk memaksanya menikahi dirinya, sampai gadis bernama Flora itu harus melarikan diri ke hutan, terperangkap dalam batu karang, dan akhirnya tewas. Gus akhirnya diburu dan dibunuh oleh pengikut KKK.
Sikap politically correct yang nyata berpihak ini tetap dipertahankannya sampai dengan akhir film yang memenangkan Ku Klux Klan dalam suatu pertempuran bersenjata, serta dalam happy ending dimana dua pasangan dari keluarga yang menjadi peran utama film ini melakukan double honeymoon.
Mantan Presiden Amerika Serikat, menyebut film ini sebagai sebuah kebenaran yang menyakitkan. “It’s like writing history with lightning, and my only regret is that it is all so terribly true,” kata Wilson dalam “History of The American People”. Seakan menyambut kontroversi muatan sejarahnya, publik menyukai film ini, yang kemudian membuatnya sebagai salah satu film terlaris dan terbaik secara teknis dimasanya.