Selasa, 15 Februari 2011

Rasa Keterancaman yang terancam pada film The Omen

Tahukah anda bahwa hari minggu dipilih sebagai hari preview film The Omen (1976)? Konon alasannya berhubungan dengan pandangan bernuansa keagamaan. Disisi lain, pilihan untuk menghindari isu aborsi seolah menjadi sebuah usaha penghindaran kesan penghujatan terhadap agama yang terlalu dalam.


Sebab bagi pemeluk kristen yang taat, tentunya hari minggu adalah hari bernilai religius, ketika umat berbondong-bondong mendatangi gereja, mengagungkan kristus. The Omen sendiri, pada original skripnya diberi titel “The Anti-Christ” oleh penulis David Seltzer. Kemudian saat dimulai masa produksi diubah menjadi “The Birthmark”, untuk kemudian berjudul “The Omen”.
Perubahan judul ini seolah menegaskan premise film yang dengan berani menawarkan konsep ramalan akhir jaman dari kristus, seiring kelahiran sang antikristus, pada bocah bernama Damien yang kemudian menjadi pusat konflik film karya Richard Donner ini. Ada sebuah rasa yang melunak disini, judul film yang telah menjadi tidak se-provokatif awalnya, terlihat dari judul yang berubah menjadi “tanda lahir”, sampai hanya menjadi ‘pertanda’—walau bagaimanapun judul “Antikristus” terasa lebih ‘menyengat’.
Namun terlepas dari konten yang bertendensi untuk melahirkan histeria ini, ada segi menarik dari intrepretasi penceritaan kelahiran antikristus, dengan menghindari pilihan aborsi sebagai upaya menggagalkan kelahiran putra asli tokoh utama yang diperankan Gregory Peck, Robert Thorn. Sang putra asli dibunuh sesudah dilahirkan dan oleh pihak-pihak tertentu digantikan dengan bayi Damien.
Kelahiran adalah suatu karunia yang tidak bisa ditepis, sementara aborsi adalah hal yang ditolak agama; setting cerita di Roma seolah memperkuat pandangan itu: bahwa lebih baik membunuh bayi yang baru lahir daripada membunuhnya sejak dalam kandungan. Lagi-lagi, sebuah pilihan yang terasa melunakkan rasa atau esensi keterancaman yang lazim pada sebuah film horor.
Yang menarik, The Omen menggunakan Kitab Wahyu sebagai ‘tinjauan pustaka’ ketika membicarakan kelahiran anak setan—tercermin pada tanda lahir, angka setan: 666. Angka inilah yang kemudian ditemukan Robert tercetak pada batok kepala Damien. Penemuan ini akhirnya membungkam semua keraguan Robert mengenai siapa sesungguhnya Damien, dan Robert kemudian menemukan dirinya pada posisi Ibrahim yang diminta untuk mengorbankan anakNya.
Sampai adegan klimaks ini, The Omen mewujudkan harapan akan keterancaman, mungkinkah kisah yang sebenarnya berfokus pada hubungan konflik ayah dan anak ini menemui titik kulminasinya pada dua peran yang paling hakiki ini? Jadi bukan keterancaman ketika penonton melihat adegan bunuh diri atau adegan terbunuh yang dengan mencekam bertebaran di sepanjang durasi film ini. Namun, ‘sayangnya’ keterancaman itu terobek kembali seketika Robert terbunuh oleh sebutir peluru—penonton dibungkam dari kemungkinan Damien dibunuh oleh Robert, sekaligus menutup adanya sekuel-sekuel.
The Omen bersama-sama dengan The Exorcist dan Rosemary’s Baby adalah dua film yang menyentuh tema perasukan setan yang kelak menjadi klasik. Namun pada The Omen khususnya, kesan keterancaman ini untungnya dikuatkan pada unsur scoring, serta nyanyian gereja yang memuja setan, seolah sebuah pemberontakan pada Kristus, sekaligus memuja antikristus itu sendiri. Jerry Goldsmith—sang composer menulis refrain sebagai berikut: “Sanguis bibimus, corpus edimus, tolle corpus Satani” (Latin, “Kami meminum darah, kami memakan daging, hiduplah Setan”), yang dicampuradukkan dengan teriakan: “Ave Satani!” dan “Ave Versus Christus!” (Latin, “Hidup, Setan!” dan “Hidup, Antikristus!”)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar