Selasa, 15 Februari 2011

SYARAT UTAMA: PENAMPILAN MENARIK

“God! Kenapa harus ada persyaratan demikian di iklan lowongan kerja!” sesal Adi. Ia sedang berteduh di bawah pohon mangga bersama sahabatnya, Chandra. “Trus, orang-orang yang merasa penampilannya nggak menarik gimana? Nggak boleh ikutan? Belum tentu juga kan orang-orang dengan penampilan menarik akan bekerja dengan lebih baik dibandingkan orang yang dianggap berpenampilan tidak menarik!”
“Nggaklah bro, lo jangan minderisme gitu dong! Lo nggak jelek kok!’ kata Chandra sahabat Adi, pura-pura menghibur. Tapi Adi protes karena Chandra begitu saja menyamakan penampilan tidak menarik sebagai ‘jelek’. “Beda dong!” menurut Adi, orang dengan penampilan tidak menarik bukan berarti jelek, tapi orang jelek pasti penampilannya tidak menarik.
Chandra malah nggak setuju. Ia mengambil contoh Tukul. “Tukul kan jelek, tapi penampilannya menarik.” Adi mengelak,’iya, secara lo sih ngefans ama dia, tapi yang nggak suka nggak akan mungkin bilang Tukul itu menarik secara penampilan!”
Mendengar jawaban Adi, Chandra mencoba menarik kesimpulan. “Wah kalau ukuran suka atau nggak suka jadi susah dong. Jadi subyektif, karena kalau seseorang dibilang nggak menarik, belum tentu sisa dunia yang lain bilang yang sama.”
“Makanya bro, ini harus kita protes!”, kata Adi lagi. Menurut Adi, perusahaan harus menghapus syarat itu dalam requirements mereka, karena berpotensi menjadi tidak objektif. “Tapi... kalau jelek kan mutlak,” Adi tiba-tiba teringat kata-kata itu.
Hening sejenak. Mungkin keduanya merasa tersindir dengan kata-kata Adi itu.
“Makanya mereka pake kata berpenampilan menarik. Itu secara halus menggantikan kata tidak jelek,” kata Chandra.
Adi menjadi teringat pengalamannya yang beberapa kali ditolak bekerja dengan alasan penampilannya kurang menarik. “Sakit hati gue dibilang begitu,” kata Adi.
Chandra diam saja meski memiliki pengalaman yang sama. “Memang pasti nyebelin banget ya. IPK udah 3,75, cumlaude, lulus psikotest, kesehatan oke, tapi nggak diterima kerja cuman gara-gara tampang! A****G!
“Gue setuju! Ini namanya diskriminasi bagi orang-orang berpenampilan tidak menarik! Kita harus lapor ke KOMNAS HAM! Yuk! Sekarang!” Adi menarik tangan Chandra yang lalu menepisnya.
“Tenang bos. Lo ngomong jangan kebanyakan tanda seru! Justru lo yang gegabah. Kalau lapor ke komnas HAM, berarti secara tidak langsung lo mengaku udah jadi bagian dari mereka yang berpenampilan tidak menarik. Apa emang lo ngerasa diri lo nggak menarik?”
“Nggak mungkinlah,” sahut Adi kali ini dengan lebih kalem. “Kalau bukan gue sendiri yang bilang kalau gue ganteng, siapa lagi...”
“Itu maksud gue. Perjuangan harus selalu dimulai dari dalam diri sendiri. Coba kita terapin ke diri kita, untuk nggak superficial. Untuk nggak nilai orang dari luarnya aja. Padahal siapa tahu mereka punya kualitas-kualitas yang nggak dimiliki oleh orang-orang yang masuk kategori berpenampilan menarik,” kata Chandra panjang lebar.
Tapi wajah Adi merengut. “Tapi gimana cara untuk mengetahui kualitas-kualitas itu kalau dari awalnya scanning pertama adalah penampilan, atau pasfoto. Seleksi berdasarkan penampilan, yang nggak memenuhi kriteria dibuang ke tempat sampah, tanpa diberi kesempatan untuk memberi tahu dunia tentang isi hati atau isi otaknya...”
“This is what i am talking about man!” kata Chandra meniru gaya bicara karakter nigger di film hollywood. “Ini dia yang mesti kita perjuangkan, men! Sebab kalau nggak, bisa-bisa orang-orang berpenampilan nggak menarik jadi punah. Nggak punya tempat lagi di dunia. Diasingkan, ditinggalkan oleh roda kehidupan yang terus berjalan. Mereka jadi nggak bisa berkiprah dimana-mana.”
Adi diam saja, tiba-tiba ada imajinasi melesat di otak kanannya; ia jadi penguasa zalim yang melakukan pemisahan terhadap golongan orang berpenampilan tidak menarik dan orang berpenampilan menarik. Dalam fantasi itu, Adi, firaun dengan penampilan tidak menarik memenjarakan orang-orang yang berpenampilan menarik, bangsanya model-model ganteng atau cantik dalam kamp konsentrazie seperti yang dilakukan Hitler. Hollocaust.
“Napa lo diam aja?” kata Chandra.
“Iya gue setuju.” Sahut Adi asal.
“Setuju apa?”
“Mari kita melestarikan golongan orang-orang berpenampilan tidak menarik, biar mereka bisa kerja, kawin, dan punya anak.”
Chandra nggak bisa nggak setuju.
“Galang persatuan buat Gestapu (gerakan standarisasi tampang publik)!” kata Adi. Ia kembali bersemangat, dan berseru.
“Atau kita buat serikat pekerja atau apa gitu yang menggabungkan karyawan dengan penampilan tidak menarik. Dari kita, oleh kita untuk kita. Laiknya demokrasi.”
“Justru lo sekarang yang sembrono. Ekslusifitas itu ibarat bom waktu. Dunia bisa berputar karena ada pasangan-pasangan. Pria dan wanita, malam dan siang, utara dan selatan, kiri dan kanan, cakep dan...”
“Jelek,” kata Chandra. Ia diam, merasa ada yang janggal dari tatapan mata Adi, tapi tak bisa merumuskan apa.
“Pemisahan itu hanya akan mempertajam dikotomi antara dua kelompok itu,” tandas Adi.
“Tapi maksud gue, bagaimana kalau...”
Pembicaraan mereka terhenti. Tak jauh dari mereka seorang wanita membaca plang ‘pangkalan ojek’ dibawah sebuah pohon mangga. Wanita itu menuju Adi dan Chandra.
“Ada sewa tuh, Di.”
“Males gue. Tampangnya demek gitu.”
“Gue juga ogah. Gue nungguin si Neng caem langganan aja.”

1 komentar: