Jumat, 01 Mei 2015

Mencari Wajah Utuh Buruh Migran Indonesia

Di mygoodmaid.com.my, seseorang di Malaysia bisa memilih pembantu rumah tangga seperti sedang berbelanja di toko online.  Ada empat kolom di halaman muka website itu yang bisa digunakan calon majikan untuk menemukan pembantu rumah tangga yang sesuai dengan keinginannya. Kolom tersebut adalah nationality, gender, religion dan marital status.  Setelah itu, mereka tinggal klik ‘search’, lalu akan muncul foto-foto calon pembantu rumah tangga yang tersedia saat itu untuk mereka pilih dan pekerjakan di rumah mereka.

Jika kita mengklik “Indonesia”, “Female”, “Muslim”, dan “Married”, besar kemungkinan kita akan melihat ini: maid list dimana para TKW asal Indonesia tersebut berfoto dengan latar belakang kain berwarna merah, memakai kaus putih berkerah biru dan bercelemek hijau. Mereka kelihatan awkward dengan ekspresi wajah yang kaku, dan kedua tangan diletakkan sedikit di atas perut.


Diberi kode "ERS 0154" di www.mygoodmaid.com.my, perempuan Indonesia ini bernama Nurhasanah,  berusia 34 tahun dan berasal dari Karawang.

Sampai tahap ini, calon majikan belum tahu nama mereka, sebab hanya kode tertentu yang tertera di bawah foto masing-masing calon PRT disertai asal negara, agama dan status. Jadi kita akan melihat entah siapa yang diberi kode ERS 0154, ERS 0172, ERS 0183, dan sebagainya. Nama dan detail lainnya baru akan ditampilkan jika kita mengklik foto mereka. 

Setelah menemukan yang cocok, calon majikan bisa menghubungi maid agency tersebut, untuk kemudian membayar sejumlah biaya termasuk agency fee. Besarnya bisa mencapai MYR 16000 (sekitar Rp 57 juta), termasuk untuk membuat working permit. Lalu setelah semua proses selesai, pembantu terpilih akan diantarkan ke rumah majikan tersebut, dan bisa mulai bekerja.

Namun pada prakteknya, menjadi seorang pembantu rumah tangga bisa menjadi sebuah proses hidup yang panjang, berliku, bahkan menyakitkan. Tak jarang, banyak orang Indonesia yang rela menjadi “orang kosong”, istilah untuk mereka yang bekerja kasar di Malaysia tanpa mengantongi working permit, alias hanya berbekal visa turis, dengan masa berlaku hanya 30 hari. Mereka dapat ditemukan sedang berkumpul di KLCC (Kuala Lumpur City Centre) Park pada Minggu sore yang sering kali hujan, terutama di musim pancaroba seperti sekarang ini. Di sana mereka akan berbagi cerita mengenai benang kusut kehidupan masing-masing dan bagaimana mereka berusaha sekuat tenaga menyikapinya.

Meski sering dituduh sebagai kaum dengan bargaining position yang lemah, tinggal jauh dari keluarga tidak hanya membuat perempuan-perempuan itu menjadi tough, tapi juga kreatif. Mereka misalnya akan lebih memilih bekerja freelance daripada menetap di rumah majikan tanpa bisa melakukan apa-apa lagi. "Freelance" adalah istilah mereka untuk bekerja di lebih dari satu tempat dengan masing-masing waktu bekerja yang pendek. Misalnya di rumah Mr. A selama 4 jam, dan di rumah Encik B untuk 4 jam lainnya, pada hari yang sama. Dengan cara ini, mereka yakin bisa mengirim Rupiah lebih banyak untuk sang anak yang sedang menunggak uang sekolah atau suami yang ingin mencicil sepeda motor di kampung.



Inilah tempat tinggal buruh migran, termasuk dari Indonesia yang didominasi pekerja pabrik di Relau, Penang, Malaysia. Banyaknya pabrik yang berlokasi di Penang menjadi incaran TKI/TKW yang ingin bekerja pada sektor formal. Foto: Dok. Pribadi.


Di Malaysia, selain bekerja sebagai pembantu rumah tangga, buruh migran Indonesia juga banyak bekerja sebagai kuli bangunan, menjadi pelayan restoran, bekerja di pabrik, dan lain-lainnya yang dikategorikan sebagai pekerjaan 3D. Ini bukan singkatan untuk 3 Dimensi, tapi Dirty, Dangerous, dan Demeaning. Hal ini membuat mereka terancam resiko ganda, tidak hanya di tempat mereka tinggal, tapi juga di tempat kerjanya.

Tak ada habis-habisnya kita mendengar bermacam-macam derita yang yang dialami buruh migran Indonesia. Banyak kasus terjadi seperti penipuan, ancaman disertai kekerasan fisik dan psikologis, penganiayaan, pemerkosaan, terjebak dalam lingkaran prostitusi, bahkan sampai pada pelanggaran HAM yang lebih berat. Di sisi lain, masyarakat dan negara menganggap buruh migran adalah pahlawan devisa, namun tanpa adanya pelayanan menyeluruh demi kehormatan dan martabat mereka. Ini membuat penghargaan tersebut terasa semu.

Studi tentang buruh migran juga dirasa kurang, padahal studi yang layak barangkali bisa mencegah persoalan buruh migran dijadikan komoditas politik musiman, dan memperbaiki paradigma berpikir untuk menyelesaikan isu-isu yang terjadi. Namun, persoalan buruh migran memang kompleks, sehingga upaya untuk memahaminya seperti mengurai benang kusut. Disinilah dibutuhkan gagasan-gagasan kemanusiaan untuk mengembalikan mereka sebagai manusia, apalagi mereka adalah manusia-manusia yang dikelilingi oleh ancaman-ancaman, baik buruh migran yang legal maupun yang "kosong".

"Orang kosong" harus menyiapkan mental lebih untuk menghadapi ancaman-ancaman tersebut. Bagi mereka, gaji yang tidak dibayar bukan satu-satunya yang melahirkan penderitaan, tapi juga ancaman deportasi. Di Malaysia, Rela (ekuivalen dengan Satpol PP di Indonesia), akan mendapat upah RM 80 jika berhasil menangkap seorang tenaga kerja asing ilegal, dan melaporkannya pada Polis Diraja Malaysia. Aparat hukum di Malaysia sendiri, terkenal gencar menangkapi para pekerja yang melanggar aturan keimigrasian, dengan antara lain melakukan razia, terutama di daerah yang dihuni banyak pekerja asing. Namun, banyak kasus terjadi, "orang kosong" diperas oleh oknum-oknum, membuat ‘korban’ harus membayar mahal demi ketenangan hidup mereka di negara ini.


Chowkit di pusat Kuala Lumpur ini dikenal sebagai Javanese Town, karena banyaknya orang Indonesia asal Jawa yang bekerja dan tinggal di daerah ini. Di kawasan ini banyak ditemukan restoran Indonesia, toko emas, sampai agen pengiriman uang. Foto: Dok. Pribadi.


Selain oleh kehadiran para Pendatang Asing Tanpa Izin (PATI) ini, citra buruh migran Indonesia juga kerap tercoreng oleh para kriminal. Mereka yang memang penjahat, sering menyamar sebagai buruh migran, tapi di Malaysia mereka berkomplot, menyewa informan, dan setelah melakukan kejahatan, lalu segera kembali ke Indonesia. Begitu mudahnya orang Indonesia bisa menyeberang ke Malaysia, dan membuat tidak semua pendatang ini bisa dideteksi. Para penjahat kerap memanfaatkan hal ini. Mereka juga tahu, tidak harus dengan pesawat terbang mereka bisa datang ke Malaysia, tapi bisa juga dengan perahu sederhana, yang sebenarnya beresiko tinggi. Warga Indonesia di pesisir pantai yang berbatasan dengan Malaysia kerap menemukan lembaran Ringgit yang terhanyut, yang diduga berasal dari perahu yang terbalik entah di suatu tempat. Perahu tenggelam yang memakan korban jiwa juga bukan berita baru.

Kecuali mengancam keselamatan, buruh migran Indonesia juga terancam tidak lagi menjadi dirinya sendiri setelah tinggal dan bekerja di negara lain. Di Malaysia, hal ini terjadi ketika banyak buruh migran yang beralih menjadi penutur Bahasa Melayu dan harus merelakan Bahasa Indonesia mereka perlahan pupus, baik secara kosa kata, maupun secara aksen. Lalu ketika mereka kembali ke Indonesia, yang terdengar adalah aksen Melayu lengkap dengan kosa kata Bahasa Melayu, menciptakan kebingungan di tengah-tengah keluarga dan teman-teman yang mengenal mereka sebagai orang Jawa, orang Sunda, orang Madura, orang Lombok, dan orang Indonesia. Bagian penting dari identitas mereka kini telah terkikis, baik disengaja atau tidak.


Emmy,  sudah lebih dari dua tahun bekerja di Malaysia. Karena menyesuaikan diri dengan lingkungan pekerjaannya yang menggunakan Bahasa Melayu, aksen Jawanya telah terkikis. Bertemu dengannya, kita akan berbicara dengan "seorang Melayu". Foto: Dok. Pribadi.

Buruh migran Indonesia adalah sekumpulan manusia dengan karakter, nasib maupun ambisi yang berbeda-beda. Namun di Malaysia, semuanya kerap kali dengan sempit diidentifikasi sebagai “Indon”. Mereka bisa bertahun-tahun lamanya tinggal di negara yang bukan tanah air mereka, beranak pinak, dan melahirkan keturunan-keturunan yang karena alasan kepraktisan, lebih memilih paspor merah, dibandingkan paspor berlambang burung garuda. Mereka tidak pernah ambil pusing atau tersinggung jika dipanggil "Indon", sebab tidak ada ruang untuk marah atau sensitif. Jika di Indonesia, mereka bisa cenderung lebih santai, di Malaysia, mereka menjelma pribadi yang tekun, bersemangat, dan menyimpan ambisi yang tak jarang melahirkan keberhasilan dan kemakmuran. 


Jumawi, asal Madura. Ia tidak ingat persis berapa usianya, tapi datang pertama kali ke Malaysia pada tahun 1982. Kini, ia bekerja sebagai buruh bangunan untuk proyek pembangunan sebuah hotel di KL. Foto: Dok. Pribadi.

Di titik ini muncul pertanyaan, kapankah mereka kembali, dan apakah yang membuat seorang buruh migran mau kembali ke tanah air? Kapankah mereka pulang? Atau apakah "pulang" bermakna berbeda bagi mereka? 


Robertus Robet, Dosen Sosiologi Universitas Negeri Jakarta, dalam pengantarnya untuk novel "Pulang" karya Leila S. Chudori menyebut apa yang dikatakan Ernst Bloch dalam "The Principle of Hope". Katanya, ada dua jenis "pulang": pulang sebagai "a return", dan sebagai "exodus". Kita bisa sedikit menghela nafas lega jika bagi mereka pulang ke Indonesia adalah sebuah "a return", dan bukan "an exodus", sebab artinya mereka masih menganggap Indonesia sebagai sebuah rumah, sebuah negara yang menjadi tujuan dan bertemunya harapan-harapan, dan bukan sebaliknya: Malaysia adalah "rumah" dimana mereka menemukan harapan-harapan itu.

Jadi, wajah buruh migran seperti apakah yang kita kenal selama ini? Seorang pejuang? Seorang yang melanggar hukum? Seorang yang mengalami krisis identitas? Seorang pekerja keras yang terdorong oleh keadaan? Seorang yang ingin menemukan kesempatan-kesempatan baru? Seorang dengan posisi tawar lemah? 

Pertanyaan ini tak mudah kita jawab, sebab masih banyak wajah-wajah lainnya yang tersembunyi dalam beragam ekspresi mereka. Namun yang pasti, mereka adalah ayah, ibu dan anak dari seseorang di Indonesia. Ayah, ibu dan anak yang niscaya selalu harap-harap cemas menunggu kabar tentang mereka dari negeri seberang.