Rabu, 21 Desember 2011

Hallyu: A Wave Beyond Drama




Selama lebih dari satu dekade terakhir, Korea Selatan dengan penduduk hanya sekitar 50 juta orang telah menginvasi dunia melalui serial drama, musik pop, dance dan filmnya. Yang menarik, konsumsi dunia terhadap produk budaya pop negara ginseng ini juga mempengaruhi preferensi terhadap produk gaya hidup Korea seperti elektronika, telepon seluler, mobil dan destinasi wisata. Bagaimana gelombang dahsyat ini bisa terjadi?


“I’ll make great efforts so that I will be as popular as Yon-sama and be called Jun-sama.”

Kata-kata diatas diucapkan oleh mantan Perdana Menteri Jepang Junichiro Koizumi yang merespon kekecewaan rakyatnya pada suatu hari di tahun 2004 lalu. Pada waktu itu serial drama korea “Winter Sonata” sedang berada di puncak ketenarannya sejak pertama kali di tayangkan oleh stasiun TV Jepang, NHK pada tahun 2003. Serial tersebut melahirkan sebuah fenomena budaya dan perubahan perilaku masyarakat yang sebelumnya tak pernah terjadi di negara matahari terbit, melalui sebuah sindrom yang dikenal sebagai The Yon-sama Syndrome.

Yon-sama adalah nama yang diberikan penonton Jepang terhadap aktor utama “Winter Sonata”, Bae Yong-joon. Saking populernya Yon-sama dan “Winter Sonata” sampai ketika NHK tidak menayangkan serial tersebut dan menggantinya dengan siaran kunjungan PM Junichiro Koizumi ke Korea Utara, terdapat lebih dari 3000 telepon yang memprotes pembatalan tayangan tersebut.


Yon-sama syndrome diikuti dengan fenomena “agama” Yon-sama sampai “penyakit” Yon-sama, yang umumnya “diidap” oleh wanita kelas menengah berusia sekitar 30 tahun, bahkan termasuk istri PM Jepang sendiri. Banyak sosiolog dan psikolog yang menganalisis fenomena ini, dan melahirkan teori bahwa aktor Korea digila-gilai karena memiliki karisma romantic yang jarang ada di TV Jepang: mereka sopan, dan bisa membuat wanita merasa nyaman. Kecuali mengubah persepsi rakyat Jepang terhadap orang Korea, “Winter Sonata” juga mendatangkan turis Jepang ke Korea senilai 84 juta won, sementara penjualan DVD-nya sendiri menghasilkan angka 3 triliun won.

Namun sebenarnya, “hallyu” (yang artinya gelombang Korea, dalam bahasa Korea), sudah terjadi sejak tujuh tahun sebelumnya, tepatnya pada tahun 1997 di China. Pada saat itu, stasiun TV China, CCTV menayangkan drama keluarga, berjudul “What is Love”. Serial ini adalah produk Korea pertama yang ditayangkan televisi nasional China yang mampu menjangkau seluruh daratan China, menandai perubahan perilaku konsumsi penonton TV China yang sebelumnya mengkonsumsi opera sabun dari Eropa, Amerika, Hongkong dan Taiwan. Setelah “What is Love”, China jatuh cinta drama Korea seolah-olah mereka benar-benar menemukan sebuah dunia baru.

Seperti perubahan perilaku penonton yang terjadi di Jepang, demam Korea di China juga menyebabkan hal yang sama. Pada tahun 1998, remaja di China mengecat rambut mereka mengikuti grup musik Korea, H.O.T. “Pada tahun 1999, pusat perbelanjaan di Beijing mulai menjual produk-produk Korea, bahkan pada tahun 2003, Hyundai Motor mulai menjual mobil dan menjadi salah satu merek besar di China,” kata Hong Qingbo, editor majalah Dangdai, China.

Selain Jepang dan China, demam Korea juga menginvasi negara lain termasuk Iran, Saudi Arabia, Yordania, Thailand, Peru, Kanada, Australia, dan Perancis. Di beberapa negara muslim seperti di kawasan Timur Tengah, drama Korea diterima dengan baik mengingat content-nya yang dianggap ‘sopan’. Lucunya, drama Korea di beberapa negara tujuan ekspornya, seolah menjadi bagian dari strategi diplomasi, seperti yang terjadi di Iran. Baru-baru ini, ketika drama “Dae Jang Geum” mengakhiri masa tayangnya, sekitar 100 pejabat tinggi Iran berkumpul di Kedutaan Korea untuk merayakan episode terakhir ini. Sumber menyebutkan inilah untuk pertama kalinya begitu banyak pejabat tinggi Iran bisa menghadiri suatu acara bersama-sama.

Kecuali didorong oleh produk drama serialnya, dunia juga merayakan gelombang Korea melalui penikmatan terhadap apa yang disebut sebagai Korean Pop. Pada bulan Juni lalu, sekitar 7000 penonton memadati Le Zenith de Paris, salah satu venue terbesar di Paris yang biasa digunakan untuk konser-konser besar. Anak-anak muda dari kota teromantis di dunia itu berdesak-desakan untuk menyaksikan penampilan band-band yang mengusung genre K-Pop, salah satunya adalah Super Junior.

Penonton yang rata-rata berusia remaja atau 20 tahunan, menggila ketika mereka untuk pertama kalinya menonton secara langsung band yang sebelumnya hanya mereka nikmati melalui YouTube. Even dua hari ini otomatis menjadi sensasi media karena penerimaan tak terkirakan fans Eropa terhadap musik Korea, dan menjadi headline dari media Eropa, termasuk harian Perancis, Le Monde.

Terkait dengan pemanfaatan YouTube, K-Pop memang tak tertandingi. Seperti konser di Paris yang di-posting secara real time di situs video terbesar tersebut, hampir semua band K-Pop telah menggunakan YouTube untuk promosi musiknya. Popularitas K-Pop bisa lebih dulu terjadi di dunia maya jauh sebelum band tersebut mengadakan promosi offline.

Harian Korea Joongbang, pada Januari 2011 menurunkan laporan mengenai 923 video musik Korea yang diunggah ke YouTube. Menurut analisisnya, pengguna internet dari 229 negara di dunia telah menonton video tersebut sebanyak 793,57 juta sepanjang tahun 2010 lalu. Berdasarkan benua, penonton terbanyak berasal dari Asia, diikuti oleh Amerika Utara, dan Eropa. Sedangkan berdasarkan negara, penonton terbanyak berasal dari Jepang, Thailand, dan Amerika Serikat. “The rise of the United States as a major Korean Wave market was remarkable,” tulis laporan tersebut.


K-Pop menandai apa yang disebut sebagai The Neo Korean Wave, dengan pemanfaatan social media secara masif dan keterlibatan fans sebagai salah satu cirinya. Gelombang baru ini dipermudah dengan adanya internet, interkonektivitas, dan perkembangan teknologi bergerak, selain maraknya Facebook, Twitter dan YouTube. Semua ini yang kemudian mempengaruhi cara produk budaya pop disajikan, dikonsumsi dan didistribusikan.

Selain YouTube yang membuat penyaji dan fans terkoneksi dengan cara baru, gelombang Korea yang baru juga merayakan terciptanya level keterlibatan yang tinggi. “The Cover Dance” adalah salah satu fenomena yang sedang hangat, dimana fans mengimitasi (terutama) gaya joget idolanya dan lalu mengunggahnya ke YouTube. Video kadang memperlihatkan fans yang ‘lebih’ jago dari idolanya, bahkan termasuk interpretasi baru terhadap koreografi yang sudah terperagakan di video aslinya.

Tak cukup sampai disini, pelaku industri budaya pop Korea juga cepat tanggap dengan mengadakan “International Cover Dance Festival”, yang diikuti peserta dari 38 negara. Stasiun TV Korea MBC bekerjasama dengan YouTube mengadakan audisi dengan menilai video buatan rumah yang diunggah ke YouTube. Penilaian dilakukan secara online voting, dan melibatkan seluruh penggemar K-Pop di seluruh dunia—menyiratkan terjalinnya suatu hubungan consumer to consumer (C to C).

Penyaji K-Pop juga cerdik memanfaatkan digital media, yang membuat biaya dan usaha promosi mancanegara menurun drastis. Pada bulan Februari lalu, Big Bang meluncurkan mini album yang pada bulan berikutnya, menduduki posisi 7 Billboard’s Heartseekers Album—tanpa banyak promosi offline di negara tersebut. Digital channel juga digunakan secara ekstensif, terutama iTunes. Selain itu, Twitter dan Facebook juga dimanfaatkan, termasuk website yang secara organic dibentuk oleh fans, misalnya Allkpop, Soompi, dan PopSeoul. Bahkan bagi penggemar drama Korea, jarak kini tidak menjadi penghalang. Beberapa situs menawarkan layanan streaming drama Korea seperti dramafever, dan hulu.com, situs steaming utama dunia hasil kolaborasi stasiun TV Amerika seperti NBC, FOX, dan ABC.

Selain serial drama, musik, dan K-dance, demam Korea juga merambah pada sektor perfilmannya. Dengan kecanggihan dari segi visual, musik dan elemen pendukung genre film, film Korea dikenal sebagai salah satu film dengan originalitas yang tinggi. Fakta bahwa Korea adalah salah satu negara dimana Hollywood tidak bisa mendominasi adalah bukti bahwa film Korea pada umumnya bisa berbicara di negaranya sendiri, sebelum merambah negara lain.

Contoh terbaru adalah suksesnya The Priest, yang secara global menghasilkan 66,4 juta dolar. The Priest adalah film berdasarkan komik Korea namun bersetting koboy Amerika dan diberi sentuhan vampire. Penulisnya, Hyung Min Woo mengatakan bahwa film Korea memiliki plot yang kuat, dan membuat penonton memahami budaya luar dan mampu berkomunikasi dengan emosi dan sensitifitas Korea.

Seorang profesor yang meneliti gelombang Korea, Prof. Jian Cai dari Universitas Fudan, China, mengatakan bahwa industri budaya Korea merupakan model industri yang mampu bergabung dengan arus modernisme sekaligus mempertahankan budaya tradisionalnya. “Budaya pop Korea meminjam budaya populer barat dan melakukan penciptaan ulang berdasarkan cita rasa Korea,” kata Jian.

(dimuat di Majalah MIX Marketing Communication, Desember 2011)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar