Selasa, 15 Februari 2011

Tugu Kujang Suatu Ketika

Hujan di kota hujan, dan aku menunggumu di taman koleksi, menikmati turun salju, dari kapas yang berjatuhan, dari pohon-pohon tua yang tidak kita tahu namanya, apalagi usianya.

Sore yang orange, rinai hujan gerimis yang indah, yang tak membasahi, takkan kuyup, hanya air-air yang manja, yang menggenang di pucuk daun tertinggi dan menjadi titik-titik kecil di sekeliling kita. Kuserahkan padamu, untuk membuatku nyaman. Untuk membuatku merasa cukup—hanya dengan kehadiranmu.

Tapi saat ini, kau belum juga datang. Ku sudah menyiapkan sebait puisi yang kutulis ketika kuliah berlangsung di ruang kelas yang bisa menggemakan suara-suara. Suara-suara dari yang ada disana, maupun dari yang sudah tak ada lagi. Ruang kelas yang berbau masa lalu, seperti lelumut yang tumbuh di kost kamar sempitku, di balik jendela dimana daun merambat sampai genting, dan hujan selalu melahirkan embun disana. Kamu tahu, kerap kali aku berdiri, dan membiarkan pikiranku kosong kala menikmatinya. Disana.

Kemanakah kamu saat ini? ingin kubacakan puisi ini saat kamu datang. Puisi sederhana tentang kita. Bagaimana kita bisa lupa akan awalnya kedekatan kita—tiba-tiba menjelma kita. Dan kita hanyalah remaja yang sedang mengembara dalam alam pikiran, dan mengisinya dengan ilmu yang kita tidak tahu apakah kita membutuhkannya atau tidak. Tapi toh kita bertahan, sampai tiba saatnya nanti kita berdiri di podium dengan toga.

Kemanakah kamu saat ini? seseorang yang selalu membuatku bangga, seseorang yang independen. Bebas. Bagimu, hidup adalah menggapai kebahagiaan. Aku selalu terpesona ketika kutahu apa cita-citamu: menjadi bahagia. sementara mereka ingin selalu menjadi ekonom, menjadi pengusaha, manager, bankir, wartawan, produser film, menteri, ahli pangan, dan semua yang bisa dilahirkan di kampus kita. Kelak aku tahu memang pada akhirnya yang manusia inginkan hanyalah menjadi bahagia.

Bersama siapakah kamu saat ini? Aku ingin mendengar cerita kamu tentang Gunung Salak yang kamu daki bersama teman-teman Lawalata. Dan kamu begitu berani. Cerita yang sama, yang tak akan pernah aku bosan mendengarnya. dan kamu selalu bercerita dengan binar mata yang selalu bercahaya.

Hujan telah benar-benar berhenti. Maka kuputuskan berjalan menuju tugu kujang. Kulewati daun-daun perdu yang basah, bau tanah basah yang magis, dan gerimis-gerimis dari pohon-pohon tinggi yang bergoyang terkena angin. Tempat ini tak akan pernah sepi, takkan pernah hilang, ia kekal dalam ingatan.

Kalau tidak percaya tanyakan saja pada angkot-angkot hijau. Mereka memenuhi sudut jalan dengan setianya. Seolah tak ada yang lain. Namun, angkot-angkot itu adalah juga saksi kita. Ia mengantar kita ke Galaxy atau Dewi Sartika setiap senin, melewati kebun raya, dimana kita bersumpah tak akan pernah datang kesana berdua. Ia yang tak pernah mengantar kita sampai depan kos, menyerahkan kita pada hujan yang lalu membasahi kita. Satu payung tak pernah cukup untuk kita berdua, tetap membasahi, dan ini terjadi hari sabtu sore—suatu jam kuliah yang sangat tidak menguntungkan. Tapi, lihat sisi baiknya, semakin banyak hal demikian terjadi, semakin banyak pengetahuan tentang romantisme yang kita dapat. Tentang kita. Bersama kamu.

Aku hanya termenung menatap kujang, dan berpikir mengapa ada orang membuat monumen untuk senjata. Dan kota ini begitu akan selalu terasa damai, atau setidaknya begitulah yang akan kukenang. (karena disinilah aku mengenal, dan belajar menemukan sesuatu).

Tapi lihatlah aspal yang masih basah itu. ia membuat warna jingga yang sempurna, dari pantulan langit. Dan alam melambat saat ini, tetap hiruk-pikuk namun dengan frekuensi yang jauh berbeda.

Air yang menggenang menjadi kaca bagi langit, warna merah restoran fastfood menyumbang harmoni lukisan alam saat itu. kamu ingat pohon-pohon tua yang ada disana? Tiang-tiang telepon umum, ATM, dan resto itu. Banyak memori disana, ketika pengetahuan tentang cinta masih sangat lugu, sederhana, dan seadanya. Dan jika kamu ada di sampingku saat ini, aku ingin mengajakmu kesana, sebuah napak tilas yang melodramatik. Bahwa pada masa itu kita pernah ada, kita berarti setidaknya untuk satu sama lain. Bahwa ada malam-malam dimana aku mendengarkan lagu-lagu cinta, dan yang kubayangkan hanya kamu. Hanya kamu.

Lalu aku memutuskan untuk kembali. Kamu mungkin sudah menungguku. Aku tahu aku akan menemukanmu terpekur dengan buku, dan kau akan tersenyum dari balik bukumu, ketika kau mendengar aku datang. Atau aku akan diam saja, duduk menghadapimu yang serius membaca buku, sampai kau merasa cukup dan meneruskan kembali bacaanmu di kost. Setelah itu kita bicara, tentang apa saja. Tentang pembantu kost-mu yang latah, tentang dosenmu yang flamboyan, tentang buku-buku tua yang masih jadi textbook, tentang rapat senat, tentang segala kegiatan kamu, yang begitu kamu cintai. (akulah cinta ke-sekianmu). Karena bersamamu, aku takkan merasa bosan.

Senja ini akan kukatakan saja bahwa aku sangat berterima kasih padamu. Cinta adalah energi terbesar, dan kamu membawakannya untukku. Kamu adalah api yang senantiasa membakar. Kamu adalah matahari yang selalu membuat duniaku benderang, dan karena itu aku tidak mau hidup dalam dunia yang buram.

Aku membawakanmu rangkaian bunga dari rerumputan—kau selalu suka bunga. Langkah-langkah penuh desir, karena aku akan bertemu... baby.

Lalu kulihat kau disana, membelakangiku. Tapi aku tahu itu kamu, dan kamu bersama seseorang yang lain. Cukup lama bagiku untuk menerima kenyataan kalau kamu sedang bersama seseorang yang lain, dan orang itu bukan aku. Kamu memegang tangannya. Ia memegang tanganmu. Dan aku memegang bunga yang sedianya akan kuberikan padamu. Sesuatu membuatku melepaskannya.

Akulah rumput yang menangis. Akulah daun yang meneteskan air hujan. Akulah desau angin yang berbisik resah. Akulah kabut di kala malam merambat. Akulah batu-batu tua yang hanya bisa menjadi saksi, untuk tak diinginkan lagi.
Senja-senja seperti itu adalah senja dengan kesendirian yang sempurna.

Writer’s note: emotions flowing down on me when i wrote this.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar