Selasa, 15 Februari 2011

Alien, Tabo, and The Missing Sombrero

Kit and Soon

“Jutaan tahun lalu, Alien datang ke Sumatra dan mereka membendung danau dengan daratan, dan jadilah pulau Samosir.

Kit menggelengkan kepala sambil tersenyum tipis. “Orang itu hanya membual. Backpacker Perancis pembual.”
Soon tersenyum bodoh mendengar gerutuan Kit. “Tentu saja ia bergurau. Tapi Toba ternyata melebihi perkiraanku. Disini cukup bagus juga, ternyata.”
“Sure,” putus Kit. “You only know Burley Griffin.”
“Ini seperti laut, dan aku tak pernah tahu kalau ternyata ini adalah dataran tinggi, seperti Genting.” Soon mengedarkan pandang ke sekeliling. Ia melihat bentang alam yang membuat mereka seperti terlingkupi sesuatu. Pulau Sumatera yang dipisahkan Danau Toba, tinggi menjulang, dengan bagian tengah yang membolong seperti kue donat.
Kit ikut-ikut memandang sekeliling. Kedua kakinya menjuntai sampai menyentuh air. Keduanya sedang menikmati air Danau Toba di waktu malam, berjemur tanpa sinar matahari di sebuah Cottage bernama Tabo.
“Mengingatkan pada Grand Canyon,” kata Kit asal.
“Memangnya pernah kesana?” tanya Soon.
Kit mengangkat bahu. “Mungkin,” kata Kit dengan malas.
Soon menghela nafas.

Esoknya, setelah sarapan, Soon memaksa Kit main pingpong yang ada di cottage itu. Kit menolak, namun akhirnya ia mau juga setelah Soon memaksa.
“Untuk apa kita main pingpong?” keluh Kit sambil memukul bola kecil itu.
“Ayolah, sebentar saja,” kata Soon.
Kit terkekeh. “Kamu tidak bisa main!”
Namun Soon tampaknya memang ingin berkeringat. Ia tak peduli kalau sering memukul bola out.
“I am tired, dan olahraga bisa menghilangkan kepegalan.”
“Kita baru sampai, dan kamu sudah letih?” Kit mendelik.
“Kemarin kita terlalu terburu-buru di Medan. It wasn’t a citi tour at all. And it made me tired.”
“Kita tidak punya banyak waktu, yang penting kita sudah mengunjungi banyak tempat di sana, the palace, the mosque, the temple, and everything.” Kit menjawab dan meladeni permainan Soon dengan malas.
“Saya cukup suka dengan Medan. Mirip dengan Penang ya?” tanya Soon.
Kit berpikir sejenak. “Ya, i guess.”
Mereka lalu bermain dengan lebih serius. Tawa terdengar, di hari yang tidak cukup cerah untuk melahirkan langit biru. Beberapa turis sesekali melirik mereka—sepasang sahabat yang tampak dekat dan akrab.

Siang hari, Annette—pemilik Tabo, memberikan mereka peta pulau. Soon dengan naluri petualangannya yang naif, terlihat bergairah. Kit hanya maklum melihat sahabatnya berjalan cepat-cepat di depannya, menunjuk ini dan itu, gereja-gereja, rumah-rumah adat, patung-patung dan kerbau-kerbau—sebelum akhirnya mereka tidak lagi mengerti sedang berada dimana.
Kit merebut peta dari Soon, dan memutuskan bertanya pada seorang penduduk lokal berkulit cokelat. Pria itu dengan logat tak ramah, ternyata seorang yang ramah, ia menawarkan diri untuk mengantar Kit dan Soon ke jalan raya besar, yang bisa membawa mereka ke Tomok, sebuah pelabuhan di Samosir.
Kit menyambut ide itu sebagai sebuah jalan keluar yang cepat.
Di tengah jalan, Kit meminta pria batak berhenti.
Soon mengedarkan pandangnya, di tepi sebuah tebing. Danau Toba tampak seperti lukisan alam, pada sebuah kartu pos. Ia mengerti mengapa Kit minta berhenti, dan mengapa Soon tampak menatap kejauhan dan terdiam. Sebuah perahu kecil tampak bagai titik kecil dari ketinggian.
“Negeri yang indah,”desisnya.
Setengah jam kemudian, mereka naik angkot panas dari jalan utama pulau yang berdebu, sampai tiba di Tomok. Soon mengeluh lapar dan mereka makan siang di Rumah Makan Islam Murni. Kit awalnya ingin makan di Rumah Makan Sederhana, tapi lalu ia urungkan ketika melihat tanda salib di dinding. Kit membayar dan mengeluh karena ia merasa harga makanannya terlalu mahal.
Mereka lalu mengunjungi pasar tradisional yang ada disana, dan Soon yang paling excited.
“Aku merasa seperti berada di Afrika. Di sebuah pasar-pasar kotor dalam film-film pencarian harta karun,” kata Soon. “Eksotik!”
“Dan ini petanya,” Kit menyambut gurauan Soon.
Soon tertawa. Ia memotret sayuran yang diperjualbelikan—cabe, bawang, atau banyak lagi yang tidak ia ketahui namanya, dan tanah becek, yang dimatanya sebagai sesuatu yang eksotik.
Kit tahu persis ini, dan ia menghargai imajinasi Soon.
Setelah berputar-putar selama setengah jam, mereka naik ke tebing dan mengunjungi situs-situs patung batak.
“It was nice,” kata Kit. “Tapi budaya animisme-nya tidak bisa membuat saya merasa relate.”
“Ya, dan sedikit menakutkan juga. Dimana-mana banyak kerbau, apakah kerbau binatang yang disucikan disini?” tanya Soon.
Kit menggeleng. “Saya tidak tahu.”
Mereka meneruskan berjalan-jalan di sepanjang kios-kios penjual cendera mata, kaos-kaos, gantungan kunci, dan ukiran-ukiran. Ada satu yang tidak ditemukan Kit: Garam Mandi aromatheraphy.
“Ini bukan Bali,” kata Soon menghibur.
Kit diam saja. Ia sudah kecewa ketika penjual kaus yang ditawarnya tidak mau menurunkan harga seperti yang dimintanya—tidak seperti Soon, Kit adalah penawar ulung. Entah bagaimana Kit selalu menang, dan penjual selalu merelakan barang dagangan mereka dibayar dengan harga jatuh, dan wajah mereka menjadi masam. Tapi di pulau ini, Kit tidak bisa memamerkan keahliannya pada Soon.
Saat itulah Soon merasa mengenali beberapa wajah yang sedang melihat-lihat kerajinan tradisional di sebuah kios. Soon membisiki Kit. Kit melihat ke arah yang dimaksud Soon.
“Bisa saja,” kata Kit. “Atau barangkali mereka dari Hongkong, atau Singapore.”
“Aku tadi dengar mereka bicara Hokkien,” kata Soon.
Kit sebenarnya ingin tertawa, tapi ditahannya.
“Kamu bahkan nggak bisa makan xiao long pao dengan benar, jangan coba menebak-nebak asal seseorang hanya karena dialeknya,” kata Kit.
Soon tetap memperhatikan ketiga orang yang lalu salah satunya menatap balik.
“Bagaimana kalau kita tanya mereka?” kata Soon.
Kit diam saja.

Ketika mereka memutuskan berjalan menuju cottage, Soon melihat-lihat peta dan berkata pada Kit. “Saya belum menemukan sesuatu yang spektakuler disini,” kata Soon. Ia lalu mengusulkan agar mereka mengunjungi air terjun. “Tapi Annette bilang sedang kering.”
Saat mereka berdebat seperti itu, dua orang tukang ojek menghampiri mereka, dan Kit dengan kemampuan bahasa Indonesia terbatas menanyakan bagaimana caranya untuk mencapai air terjun. Terjadi tawar menawar beberapa lama, sampai mereka setuju mengantar Kit dan Soon dengan tarif 60.000 IDR sampai kembali ke Tabo.
Kit dan Soon menumpang ojek yang berbeda. Mereka dibawa menyusuri jalanan dengan belokan tajam dan berliku-liku dengan pemandangan Danau Toba yang fantastis sebelum akhirnya diturunkan di sebuah tempat yang kemungkinan lokasi air terjun.
Tapi ketika Soon melihat ke atas tebing tinggi, ia tidak melihat apapun. Wajahnya langsung terlihat masam. Kit langsung merasakan kekecewaan Soon.
“Are you ok? You looked dissapointed,” kata Kit.
“No, lah. Pemandangannya bagus kok,” kata Soon. Namun Kit tahu bahwa mata Soon tidak bisa berbohong.
Soon menjadi agak pendiam. Kit sebenarnya berharap bisa melihat air terjun juga, tapi ia tidak mau kelihatan kecewa demi sahabatnya. Dua tukang ojek malah menceritakan legenda tempat itu dan kekeringan yang terjadi sepanjang empat bulan terakhir yang membuat air terjun yang indah mengering.
Karena tak ada yang bisa dilakukan disitu, mereka memutuskan menuruni bukit, mengambil beberapa foto dan kembali ke Tabo. Entah hanya perasaan Soon saja, tapi ia merasa perjalanan pulang menjadi lebih jauh.
“Tukang ojek itu tahu kalau sebenarnya tidak ada air terjun, namun ia tetap membawa kita kesana,” kata Soon setelah mereka duduk santai di lobby. Kit merasa tidak enak hati melihat sikap Soon. “Mereka menipu kita,” tambah Soon.
Kit sangat tahu, dibalik sikap periangnya Soon bisa tiba-tiba diam seperti mati, terutama jika ada yang mengganggu suasana hatinya. Kit memesankan sebuah cake untuk mereka berdua, dan ketika di sore yang mendung itu Mooncake datang, mereka menikmatinya dalam diam.
Kit memiliki ide yang bagus. “Main pingpong yuk!”
Soon berubah antusias.
“Aku akan pura-pura kalah,” kata Kit dalam kegembiraan ketika Soon mulai menemukan moodnya kembali.
“No way!” kata Soon.
Soon tetap kalah dalam permainan yang skornya mereka hitung. Mereka taruhan untuk sesuatu yang akan diputuskan kemudian.
Menjelang senja, Soon dan Kit berlatih Yoga di bawah pohon yang ada di depan lobby—sehingga semua orang bisa melihat mereka. Soon yang lebih jago dari Kit banyak tertawa ketika Kit salah melakukan sebuah gerakan.
Seorang wanita India bersari, beserta suami dan anaknya berada di area itu. Seorang Jepang membawa kamera mondar-mandir di depan mereka—lalu ia memfoto Soon dan Kit tanpa sepengetahuan mereka.
Soon memarahi Kit yang dimatanya tampak tidak serius.
“I am serious,” kata Kit.
“Bagaimana dengan denyut nadi kamu? ada peningkatan?” tanya Soon.
Kit mengangguk.
Mereka telah sampai pada Suryanamaskar B ketika sepasang turis bule mendekati mereka.
“Excuse me. Can we join?” kata si cewek.
Soon menoleh dan lalu melihat Kit yang memejamkan mata dalam posisi Warior 1. Soon mengangguk. Si cewek terlihat senang. Si cowok lalu mengambil matras dan kembali beberapa saat kemudian.
Sesudah mendapat dua tambahan murid baru, Kit kelihatan lebih serius. Soon tersenyum melihat penderitaan sahabatnya.
Sampai empat puluh lima menit kemudian, mereka baru berhenti tanpa a chanting aum. Wanita India bersari, barangkali bangga melihat orang-orang asing mempraktekkan budayanya, sementara turis Jepang dengan kameranya memotret beberapa kali.

Malam terakhir di Samosir, saat mereka makan malam dengan ikan bakar, mereka kembali melihat Francois, backpacker Perancis sedang membaca buku dalam cahaya yang tidak cukup kuat. Soon dan Kit mengambil tempat duduk di sebelah meja yang digunakan Francois, kemudian berpura-pura cuek dan fokus pada makanannya.
Dua orang bule duduk di sebelah Francois—mau tidak mau Francois menoleh dari bukunya dan mereka mengobrol. Kepada bule itu, Francois mengaku sedang menunggu istrinya yang akan datang esok hari. Namun Kit menangkap kalau Francois tidak mau membicarakan hal itu.
Ia malah mempromosikan tempat-tempat lain yang bisa dikunjungi di Indonesia seperti Sulawesi, sampai Gunung Krakatau.
“Kelihatannya ia sangat mencintai negeri ini,” kata Kit.
Soon tersenyum. “Kita juga kan?”
Kit tampak tersenyum tulus. Soon juga ikut-ikutan tersenyum. Kit sekali lagi melihat bebukit yang tampak kelabu di kejauhan, melahirkan aroma mistis yang samar-samar.

Malamnya, Kit tahu Soon akan mengajaknya main pingpong lagi—Kita tidak mengerti mengapa Soon jadi suka main Pingpong. Ia mendengar bebunyian musik di kejauhan, lalu mengajak Soon mencari sumber bunyi itu.
“Aku tahu Kecak di Uluwatu akan sangat sulit untuk dilupakan,” kata Kit.
Soon menyeringai. Ia membayangkan saat senja terindah itu. “Kecak, bisa kita kesana lagi?”
Tapi saat itu mereka berdua sudah sampai di sebuah bar. Kit dan Soon masuk, mengambil tempat duduk, dan mulai menonton sebuah pertunjukan lagu-lagu rakyat Batak.
“We missed the batak dance,” kata Soon.
Seorang pria dengan wajah letih dan mata sayu memperkenalkan tujuh orang laki-laki yang kemudian mulai bernyanyi. Soon melirik ke kiri kanan, dan ke belakang—melihat bagaimana penonton bereaksi.
“Di sini lebih banyak orang dibandingkan dengan di Tabo,” kata Soon.
“Mungkin karena lebih murah,” jawab Kit.
Lagu-lagu diperdengarkan, tidak dengan teknik unison. Tiba-tiba Soon tertawa-tawa.
Kit meliriknya. “Apa yang lucu?”
“Mengapa aku merasa sedang berada di meksiko? Orang-orang itu mirip seperti orang Amerika Latin. Yang kurang hanya sombrero saja,” kata Soon.
Kit mengamati para penampil dengan lagu-lagu yang tidak ia mengerti dan berpikir barangkali Soon benar.
Soon melambaikan tangan pada pelayan, yang kebetulan lewat tak jauh dari mereka membawa nampan berisi botol Bir Bintang.
“Saya mau teh botol,” kata Kit. Ia tahu Soon tidak minum alkohol.
Pelayan menggeleng. “Disini tidak ada teh botol,” kata pelayan itu. Ia lalu meninggalkan Kit dan Soon untik memilih minuman lain.
Soon kembali memperhatikan gaya kocak bapak presenter. Bahunya kembali terguncang, menahan tawa. Kit mendelik pada sahabatnya, sekaligus lega karena mood Soon telah benar-benar kembali.
“Ia mengingatkanku pada droopy,” kata Soon. “Droopy yang nyata.”
Soonn tertawa lagi. Kit menatap laki-laki yang berbicara dengan gaya tidak antusias, mengantuk, dan kelopak mata yang jatuh—setidaknya ia punya kelopak mata.
“Siapa droopy?” tanya Kit.
Soon terus saja tertawa.

Siang itu mendung saat Kit dan Soon check out, dan langit mencurahkan hujan saat mereka berada di ferry. Beberapa bagian terpal bocor, dan diantara para penumpang mereka melihat Francois. Sendirian.
“Sepertinya ia memang datang kesini sendirian,” kata Soon.
“Lalu mengapa ia bilang sedang menunggu istrinya?” tanya Kit.
Soon diam saja. Hujan membuat segalanya terasa ... entahlah. Soon dan Kit tak banyak bicara lagi sesudahnya. Keduanya berbagi earphone dari Ipod Soon, mendengarkan lagu-lagu pop Indonesia yang disukai Soon. Membiarkan angin meniup rerambut, melekatkan imajinasi tentang persahabatan yang tak akan lekang.

Hujan masih turun ketika ferry merapat di Parapat. Kendaraan yang akan membawa mereka ke Medan, sudah menunggu. Perjalanan yang seharusnya empat jam berubah menjadi tujuh jam. Kit beberapa kali terlihat marah, menyumpah dan lain-lain. Sopir travel itu disebutnya 'bodoh'.
“Ternyata lotus itu akan kuncup kalau tidak ada matahari ya?” Soon berusaha mengalihkan pembicaraan.
Kit lalu memilih tidur, sambil mendengarkan lagu-lagu sendu Faye Wong.
Ketika mereka tiba di jalan Sun Yat Sen menjelang jam 8 malam, keduanya langsung check in, membersihkan diri sebentar lalu dengan becak bermotor, mereka menuju Sun Plaza.
“Mengapa kita selalu pergi ke mal?” tanya Soon ketika mereka sudah tiba di mal itu.
“Kamu bilang mau pergi ke mal bersamaku?” kata Kit.
Soon melihat sebuah restoran Chinese dan memiliki sebuah ide. “Akan kutunjukkan bahwa aku bisa makan xiao long pao dengan benar,” kata Soon.

Esok harinya, tepat jam 11.00 mereka tiba di KLIA. Soon dan Kit berpisah dengan taksinya masing-masing. Kit memeluk sahabatnya dan tersenyum. Matanya berbinar-binar membayangkan rencana perjalanan berikutnya. Kit masuk ke Taksi. Soon melambaikan tangan, merasa sedikit kosong.
Soon masuk ke Taksi yang akan membawanya ke kawasan Petaling Jaya. Ia akan menelepon Mei, pacarnya, mengabarkan bahwa ia telah datang. Ia mencari-cari buku agendanya, dalam taksi yang berjalan. Namun ia tak menemukannya. Ia kembali teringat pada Soon yang sangat organized, teratur, dan mr planning diantara mereka berdua.
Bayangan Kit menekuri buku agendanya untuk merencanakan ittinerary mereka terus muncul di kepala Soon.

Francois
Hujan. Hujan lagi, setelah kemarin Aku melintasi Danau Toba dalam sebuah ferry, dan hujan membuat nuansa laut yang kental. Aku terdiam lama, memandang hujan yang jatuh di permukaan laut dan daratan di kejauhan yang dipeluk kabut. Telah kucukupkan masaku di Toba Lake, dan kini kusiapkan perjalanan menuju tempat eksotik lainnya di negara paling eksotik di semesta.
Dengarlah sayang. Ada panggilan untuk maskapai penerbangan kecil di bandara ini. Mereka berangkat ke kota-kota kecil, yang tidak kita tahu namanya, dan mungkin takkan kita temukan di peta. Dalam hujan, kubayangkan adalah warna hijau dedaunan yang seolah bisa kuhirup aromanya, dahan-dahan yang memilin di sebuah hutan lebat, dimana binatang-binatang hidup disana, tanpa perlu merasa khawatir, tanpa perlu merasa takut.
Dan aku disini, dalam kerinduan yang teramat sangat kepadamu, kukirimkan salam untuk negeri yang sedang menyambutmu sekarang, sebuah negeri yang melebihi negeri-negeri terindah di dunia, dan karenanya membuatmu layak berada disana....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar