Selasa, 15 Februari 2011

READ ME!

Sudah beberapa hari ini, Ana membaca majalah “Cerita”, ia sudah melahap habis hampir semua cerita pendek yang ada di majalah teenlit itu, kecuali cerita yang berjudul “Bacalah Aku”. Ini karena pada kalimat pertama ia harus berkenalan dengan tokoh utama bernama Rafael. Nama itu adalah nama yang membuat hatinya berdarah-darah! Ana tidak mau melanjutkan membacanya.
Padahal Rafael dalam cerita itu pastinya bukanlah Rafael dalam kehidupan nyata Ana: seorang Rafael yang berkenalan dengannya di mal, Rafael yang sejak awal bertatapan mata dengan Ana, telah mampu membuat Ana merasa nyaman, tenang, dan membuat Ana percaya bahwa cinta pada pandangan pertama itu ada.
“Aku akan segera menikah,” kata Rafael beberapa bulan yang lalu.
“Tidak sekarang, aku masih kelas dua SMA,” kata Ana, dengan hidung kembang kempis karena bahagia. Perasaan cinta yang meluap-luap membuat Ana tidak mampu menyimak dengan benar apa yang dikatakan Rafael.
“Tapi, tidak dengan kamu,” kata Rafael, sambil melihat ke arah lain; anak-anak muda, berpasang-pasangan berjalan dengan berpegangan tangan, hilir mudik di luar kafe itu, pada suatu malam minggu yang adalah malam pameran cinta, di koridor mal, di restauran atau kafe dimana pasangan duduk berdua sambil makan malam berdua, seperti ia dan Ana.
Rafael juga tidak melihat ini: wajah Ana yang seperti karet dimasukkan dalam lahar yang berpijar mendengar apa yang dikatakannya.
“Jadi?”
“Maafkan aku untuk tidak mengatakannya dengan cara yang benar, my Ana,” kata Rafael. “Tapi, sesungguhnya kita tidak bisa bersatu, aku sudah dimiliki wanita lain. Kami akan menikah segera sesudah aku lulus S2-ku. Aku tidak merencanakan untuk juga jatuh cinta pada kamu, tapi...”
Cara yang benar?
Dan sekarang Ana sedang memikirkannya. Tidak ada cara yang benar, jika itu menyangkut cinta. Cinta seperti jelangkung, ia datang tak diantar, pulang tak dijemput. Ana benci sekali pada perumpamaan yang norak sekali itu, dan bertambah benci ketika ia sendiri yang mengalaminya.

Bacalah Aku! Bacalah Aku!
Tapi judul cerpen itu terngiang terus di kepala Ana. Bukan karena ceritanya yang bagus—ia malah belum sempat membaca lebih jauh dari paragraf pertama. Tapi karena pada paragraf pertama itu, ada nama Rafael. Rafael yang begitu dirindukannya, dan akan segera pulang ke Jakarta, dalam beberapa minggu lagi. Tapi hati Ana terasa perih. Ana tahu, ia akan kembali untuk Rosy, tunangannya, bukan untuk Ana. Rafael akan menikah dengan Rosy, dan bukan dengan Ana.
Malam itu, seperti malam-malam yang lain, Ana sukar memejamkan mata. Ia merasa menyesal telah membeli majalah “Cerita” dan menemukan nama Rafael. Kini ‘Rafael’ ada di sebelahnya, sinar lampu dari luar jendela yang samar menyinari cover majalah itu—dan didalamnya ada nama Rafael yang melahirkan keresahan melebihi malam-malam sebelumnya. Padahal Ana tidak memiliki apapun yang memunculkan kenangan akan Rafael di kamarnya, tidak selembar foto, tidak sehelai surat. Biar saja, toh Rafael memang tidak akan pernah menjadi miliknya!
Ana menyalakan lampu meja, dan membuka laci. Ia mengambil gunting dan memegangi empat halaman cerpen “Bacalah Aku”, gunting itu sudah siap mengoyak majalah itu, tapi tangan Ana berhenti di udara. Ia membalik beberapa halaman, menarik nafas panjang dan akhirnya mengambil steples dan men-staples empat halaman yang diisi cerita itu. Dan sebelum tidur, ia mengetik pesan pendek. Good nite, babe.
Sebuah sms masuk ke HPnya beberapa menit kemudian. Nite, sleep tight, my Ana.

“Gue udah gila ya, Re?”
Rea tersenyum. “Bisa jadi”.
Ana mendesah lemah.
“Lupain Rafael,” kata Rea sambil menyeruput juice alpukat di kantin sekolah mereka.
Ana menarik nafas berat, dan ketika menghembuskannya, ada rasa sakit yang mengiringinya nafasnya. “Gue nggak pernah dicintai dan mencintai dengan cara seperti itu,” kata Ana.
“Ana, jangan terus menerus melukai hati lo sendiri, Rafael bukan milik lo. Lo tahu itu kan?”
“Iya, tapi kan...”
“Tapi apa lagi? Lo mau bilang dia cinta ama lo? Dia nggak bisa lupain lo? So what? Lo akan terus punya alasan untuk menyangkal kalau sebenarnya hubungan lo ama Rafael itu sudah nggak ada.”
“Tega banget sih lo, Re!”
Ana berdiri dan berlari keluar kantin, air mata berderai di pipinya. Ana menabrak seorang pelayan yang membawa piring-piring kotor, dan piring itu berjatuhan di lantai. Suara genderangnya terdengar nyaring, kantin sunyi senyap untuk sesaat ketika murid-murid SMU yang sedang beristirahat itu menghentikan obrolan mereka dan melihat apa yang telah terjadi.
Rea memegang kepalanya dengan dua tangannya. Kasihan sekali Ana, pikirnya.

Gue udah gila ya Re?
Mungkin.
Ini adalah malam yang lain lagi. Namun dengan ritual yang sama yang selalu dilakukannya: mengirim sms pada kekasih. Babe lagi apa?
Ana menunggu. Dan menunggu. Terus menunggu. Lima menit, sepuluh menit. Setengah jam. Hatinya sakit, jiwanya terlukai ketika tidak ada bunyi sms masuk atau getar di HPnya.
Lalu pikirannya mulai membayangkan banyak hal. Bahwa Rafael akan meninggalkannya saat ini, tidak ada sms sama sekali, tidak ada email. Tidak ada pemberitahuan apapun. Seperti dulu ketika laki-laki itu memberitahunya bahwa ia sesungguhnya punya tunangan.
Ana melempar majalah “Cerita” ke tembok. Braaak! Biarlah amarahnya sedikit terlampiaskan malam ini. Ana lalu menatap langit-langit, mencoba mencari-cari ingatan yang manis, untuk meredakan gundah hatinya.
“Nama saya Ana. Mas namanya siapa?” tanya Ana sambil menggenggam erat tangan seorang laki-laki muda dengan senyum yang membuatnya terlihat seperti laki-laki pemalu. Laki-laki itu mengajaknya berkenalan.
“Saya Rafael. Saya sedang bingung karena ini pertama kalinya saya ke mal ini. Asyik juga ya suasananya.”
“Kok bisa? Ini kan mal terbesar di Jakarta.”
“Sudah setahun saya kuliah di Australia,” kata Rafael. “Sekarang lagi balik ke Indonesia untuk penelitian.”
Keduanya sedang duduk bersandingan di bangku sebuah mal. Tidak ada percakapan apapun sampai lima menit kemudian, tapi kemudian Rafael mengajak Ana makan di sebuah kafe. Seminggu kemudian, mereka makan malam bersama di kafe yang lain, lalu Ana dan Rafael menghabiskan malam minggu berjalan-jalan di Alun-alun Indonesia, lalu nonton di Blitz, makan eskrim di Ragusa, makan malam di Kafe Pisa, makan siang di Bakmi GM, jalan-jalan ke TIM malam-malam, memilih batik di Batik Keris. Batik itu berwarna pink, dan kelak ketika Ana lewat sendirian di depan Batik Keris, ia akan melongok ke dalam toko itu, melihat kembali batik yang sudah pernah dibelinya bersama Rafael.
Dalam waktu yang singkat itu, tidak sulit bagi Ana untuk jatuh cinta pada Rafael yang pintar, sensitif, dan agak kikuk. Meski demikian, Rafael adalah tipe cowok matang yang mampu menghilangkan perasaan Ana yang sering merasa tidak nyaman dengan dirinya sendiri. Rafael yang berwawasan luas, tidak ada bandingannya dengan teman-teman SMA Ana.
Ana mengambil majalah “Cerita” yang tergeletak di lantai. Sudah dua jam di atas tempat tidur, berbaring ke kanan dan ke kiri, namun mata Ana tak juga terpejam. Ana menyalakan lampu meja, duduk, lalu meletakkan majalah itu di pahanya, membuka lembar demi lembar sampai pada cerpen yang berjudul “Bacalah Aku”—halaman yang ia steples rupanya sedikit terbuka. Ada sebuah paragraf mengintip disitu, Ana mau tak mau membacanya, dan bersama karakter Rafael dalam cerpen itu, ia mengenang Rafael, sang pujaan hati. Rafael yang lusa akan pulang ke Jakarta, Rafael yang dicintainya dengan secinta-cintanya.
....Lalu ada masa ketika Rafael menjadi begitu lelah. Ia menjadi begitu lelah atas hati dan perasaan sendiri, seperti juga kekasihnya. Tidak ada orang yang bisa begitu kuat menjalani semua ini, tidak manusia biasa seperti Rafael dan dia. Maka, ketika Rafael menginginkannya hanya untuk makan malam yang sederhana, ia tak ada. Dan ketika Rafael menginginkannya pada sebuah sore, untuk dilalui menyusuri deretan pepohonan besar di kota yang selalu disebutnya membosankan, diapun tak ada. Rafael dan dia hanya ada dalam pikiran satu sama lain, namun anehnya, Rafael tak bisa lupa, ia tak bisa lupa.
Perasaan apakah ini?
Lalu mendadak Rafael begitu rindu, hidup terasa teramat pahit, ketika Rafael dan dia dengan kompak merasa tersesat dalam keterpisahan ini. Tangisan. Ada janji-janji, kata-kata manis, senyuman. Dan jikalau satu sama lain lebih berani, mereka akan meninggalkan dunia masing-masing, untuk bergabung dalam satu dunia. Namun ternyata tidak bisa begitu, tidak lebih banyak kemudahan dibandingkan yang Rafael kira. Hidup itu mahal, seperti kata ‘selamanya’...

“Hari ini kamu tidak usah pergi sekolah. Mama akan bawa kamu ke dokter,”
Ana mendelik ke arah Mamanya. “Ana baik-baik saja kok, Ma!”
Mama memotong-motong roti bakar dengan pisau, sambil mendengus ke arah Ana, merasa terganggu dengan nada bicara anaknya yang sedikit menantang.
“Oke, kamu tunggu Parmin. Ia sedang mengantar Papamu ke kantor. Parmin akan mengantar jemput kamu ke sekolah.
“Papa? Itu suami mama, bukan Papaku.”
“Oke, Mama sudah bosan kita bertengkar tentang hal ini. Tapi, Mama minta kamu hapus riasan kamu.”
“Riasan apa?”
“Apa yang kamu pakai di matamu sampai seperti ada lingkaran hitam seperti itu? Kamu seperti pecandu narkoba, Ana! ”

“Re, Mama nuduh gue nge-drug. Apa gue emang kelihatan seperti itu?”
Rea menatap sahabatnya. “Gue nggak tahu seberapa parah keadaan lo, tapi ANA, DEMI TUHAN, LUPAKAN RAFAEL!”
“Re, kok lo gitu sih?”
Ana mulai menangis. Untung saja saat itu mereka saat itu sedang berada di rumah Rea yang sepi sehingga Rea bisa berteriak kencang dan Ana bisa menangis sejadi-jadinya. Rea sebenarnya merasa bersalah melihat Ana menangis, tapi ia hanya berdiam diri saja. Ana mengambil tas yang diletakkan tak jauh dari tempat tidur dan mengobrak-abrik isinya. Ia lalu mengeluarkan semua isinya, buku-buku pelajaran, handphone, dompet, majalah “Cerita” yang kelihatan sudah sangat lecek, pembalut wanita, sebelum menemukan apa yang dicarinya: tisu.
Ana menghapus ingus dari hidungnya dengan tisu itu, sementara Rea hanya bisa melihat ranjangnya yang dipenuhi barang-barang dari tas Ana. Rea mengambil majalah “Cerita” dan membuka lembar demi lembar halamannya dan menemukan beberapa halaman yang disteples. Ia baru berusaha melepas halaman itu satu persatu ketika tiba-tiba Ana merebut majalah itu.
“Pengarang macam apa yang memberi judul ‘Bacalah Aku’ pada cerita karangannya. Seperti tidak ada judul lain saja! Pengarang itu seperti pengamen yang bernyanyi dengan buruk di bis kota dan meminta uang pada para penumpang atas suara sengaunya itu!” teriak Ana sambil memasukkan majalah itu ke dalam tasnya. Air mata Ana sudah tidak mengalir lagi, tapi sebagai gantinya, wajah Ana seperti matahari yang merah dan membakar.
“Ana, lo nggak apa-apa kan?”
“Gue suka majalah ini! Tapi kenapa cerpen jelek ini harus masuk? Editornya sedang mabuk atau apa?”
“Na, sumpah deh lo nyeremin banget. Gue anter lo pulang ya?”
Ana lalu mulai menangis kembali. Rea memeluk Ana pelan dan menepuk-nepuk punggungnya.

“Na, ini Miky, cowok paling ganteng di sekolah kita. Katanya dia mau jalan-jalan ama lo abis pulang sekolah.”
Ana menatap orang yang diperkenalkan sebagai Miky itu. Miky tersenyum lebar, dan dengan pandangan matanya yang teduh, menatap Ana yang sedang mengaduk-aduk minumannya dengan kasar,
“Na, lo mau kan? Lo mau ya!” Rea mengulangi permintaannya.
“Gue mau. Kita jalan-jalan ke Alun-Alun Indonesia ya? terus nonton di Blitz, makan siang di Bakmi GM, terus ke Ragusa, beli batik warna pink di Batik Keris, jalan-jalan ke TIM, pulangnya makan malam di Kafe Pisa!”
“Na, udah deh Na. Ini Miky Na, bukan Rafael.”
“Oh Miky ya? Hai Miky tapi aku bukan Mini.”
Miky mundur perlahan. Wajah itu menampakkan ekspresi bingung. “Sorry ya Re, gue nggak bisa.”

“Na, lo masih waras kan?”
Ana tidak menjawab. Ia merebahkan dirinya di atas ranjang besar di kamarnya, masih mengenakan seragam putih abu-abu. Perutnya kembang kempis, nafasnya mengalun dengan lembut. Ana menatap langit-langit, terlihat sangat letih.
“Rafael udah ada di Jakarta, Re. My Rafael. Minggu depan dia akan menikah dengan Rosy. Dia masih sms gue semalam. Gue masih sayang ama dia. Gue masih cinta. Gue masih sayang. Gue cinta...”
Tak lama kemudian, Ana tertidur. Rea diam-diam membuka tas Ana dan mengambil majalah “Cerita”, membuka halaman yang di-steples dan menemukan cerpen berjudul “Bacalah Aku”.
....Setiap hari Rafael terbangun lebih dulu, lalu ia mengirimkan pesan singkat, ketika dia masih tertidur. Pesan-pesan itu lalu tak sempat terjawab, meluluhlantakkan dunia, menghancurkan rasa. Rafael merasa begitu tersakiti. Diapun merasa begitu tersakiti.
Rafael masih menyimpan sms-sms itu, dan masih merasa begitu menyayanginya, setiap detik, setiap menit, hari-hari berganti, namun ikatan antara Rafael dan dia, ternyata makin kuat. Entah bisa terlepas atau tidak, Rafael tak mau memikirkan ini. Mungkin waktu juga tidak akan bisa menjawabnya..
Namun, Rafael diam-diam bersyukur pada Tuhan. Sudah menemukan seseorang untuk dicintai, dan juga mencintainya. Itulah perasaan terhebat. Rasa itu, perjalanan itu, nama itu, negara itu, kalimat-kalimat bernada sayang, kecemburuan, takut kehilangan, dan diinginkan. Rafael merasa berarti. Barangkali untuk pertama kalinya sepanjang hidupnya.
Ada pula masa-masa ketika dia menjadi terang dalam gelap dunianya. Ketika dia menjadi huruf-huruf yang Rafael tulis dalam cerita cinta, ketika dia menjelma imajinasi dan bayangan yang ideal tentang kebahagiaan, memenuhi kepala Rafael untuk dituangkannya dalam bentuk cerita cinta. Ketika Rafael ingin orang tahu, Rafael ingin manusia membaca kisah pilunya dan ikut merasakan: Bacalah Aku. Bacalah.

Sesudah membaca cerita itu, Rea membangunkan Ana. Ia mengguncangkan tubuh Ana. Ana menggeliat dan dengan malas membuka matanya.
“Na, bangun. Lo nggak sendiri.”
Ana menatap Rea sambil masih berbaring. Ana menggelengkan kepalanya pelan. Rea mengacungkan majalah “Cerita”. Ana menutup wajahnya dengan bantal. Rea merebut bantal berwarna pink itu.
“Na. lo harus dengarin gue! Gue udah baca cerpen ini. Aneh memang, tapi secara kebetulan Rafael dalam cerita ini juga mengalami long distance. Itu artinya lo nggak sendiri Na. Jangan bersedih terus. Atau lo mungkin benar-benar harus masuk ke rumah sakit jiwa.”
“Re, kalau lo mau menghibur gue, bukan begini caranya.”
“Maksud gue, cinta memang nggak harus selalu indah dan happy ending, Na. Baik di kehidupan nyata maupun di dunia fiksi, selalu ada penderitaan karena cinta. Tapi begitulah hidup Na. Sudah digariskan. Ana, lo sahabat gue, dan gue tahu lo orang yang nggak selemah itu. Lupakan Rafael, Na. Masih banyak cowok yang lain.”
Ana bangun dan menyandarkan punggungnya di ujung tempat tidur. “Lo mau tahu kenapa gue nggak mau lupain Rafael?”
Rea mengangguk. “Ya, please. Cerita.”
“Rafael itu cinta pertama gue. Gue takut kalau gue melepaskan Rafael, tidak akan ada lagi orang yang akan bisa mencintai gue lagi...”
“Na, lo salah banget. Lo pikir Rafael akan senang ngelihat lo kayak gini. Please Na, jangan pernah berpikiran seperti itu lagi.”
Ana menatap sahabatnya erat-erat.
“Ana, cerita Rafael dalam cerpen ini endingnya emang sedih, tapi yang membuatnya jadi seperti itu kan pengarangnya! Coba deh Na, lo pikir.”
Hening sejenak.
“Kalau lo sendiri mau happy ending atau sad ending buat hidup lo?”
Pandangan Ana menerawang ke luar jendela kamarnya. “Mungkin happy ending.”
“Kok mungkin? Harus happy ending dong! Ana, kita ini kan manusia, bukan karakter dalam cerita yang bisa dimenderitakan pengarang, jadi kita harus bisa dong menentukan ending hidup kita sendiri?”
Mendengar kata-kata itu, Ana spontan memeluk Rea. Rea membalas dengan sama eratnya.

Sopir mengemudikan mobil Ana dengan terlalu lambat. Ana dan Rea duduk di kursi belakang. Ana membuka pesan singkat di Hpnya. Maafkan aku My Ana.
Ana menghela nafas panjang.
“Rafael sms lo lagi?” tanya Rea.
Ana mengangguk.
“Ubahlah konteks komunikasi lo,” kata Rea. “Dia telah menjadi suami seseorang, tapi dia mungkin masih bisa menjadi orang yang istimewa buat lo, seperti banyak orang istimewa lain yang akan datang dalam hidup lo.”
Ana menatap keluar jendela, masih terlihat murung.
“Na, lo bisa ya?”
Ana kembali mengangguk. Dan setengah jam kemudian mereka sudah berada di gedung resepsi dimana Rafael dan Rosy bersanding dalam pakaian adat, berada di pelaminan, didampingi orangtua masing-masing, tampak cocok dan serasi.
Di barisan yang sedang mengantri itu, Rea membisiki Ana. “Na, lo harus bisa. Gue di belakang lo.”
Barisan terus berjalan. Ana akhirnya sampai di depan Rafael.
“Selamat ya.”
Ana memeluk Rafael. “Terima kasih, Ana,” bisik Rafael di teling Ana.

“Re, 'Bacalah Aku' ceritanya tentang apa sih?” tanya Ana dalam perjalanan pulang.
“Baca aja sendiri. Udah bisa kan sekarang?”
“Mungkin.” Ana tersenyum.

Jakarta, 11 November 2009.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar