Selasa, 15 Februari 2011

IS CHINESENESS IDENTITY STILL CONSIDERED AS AN OTHERNESS FOR MANY INDONESIANS?

Suatu hari, teman se-kost gue—asal Bandung, kedatangan kedua orangtuanya. Gue papasan ama mereka di pintu gerbang, lalu menganggukkan kepala pada mereka. Sesudah mereka pulang gue menyempatkan nanya ama teman gue, “itu bokap nyokap lo?”
Teman gue nggak langsung jawab, tapi gue berhasil mencuri jawaban ‘ya’ dari tatapan matanya. Gue bengong kali ya, sampai dia nanya, “kenapa lo? Heran? Gue juga chinese tahu!”
Ingatan gue terus melayang ke tampilan bonyok teman gue itu yang chinese banget: mata sipit, kulit terang. Tapi, teman gue ini nggak ada chinese-chinesenya sama sekali sampai gue nggak kepikiran sama sekali kalau dia chinese, dan selama ini gue pikir dia indo origin (harus diketahui bahwa gue bukan seorang rasis, gue berteman dengan seseorang dengan alasan simpel: are we match to each other?).
Teman gue menjelaskan tanpa diminta, bahwa akibat akulturasi, banyak chinese yang seolah luntur identitas kechineseannya, misalnya warna kulit, sampai mata sipit. Gue percaya karena gue sempat datang ke sebuah acara seminar ‘creative writing”, ada seorang cewek memperkenalkan diri dan sempat bilang:”Gue hitaci”. Di kemudian hari, gue tahu itu artinya adalah hitam tapi chinese.
Maksudnya, sekarang mulai banyak chinese yang sama saja dari segi tampilan dibandingkan orang dari suku manapun, atau sebaliknya ada orang-orang yang bisa lebih terlihat chinese dibandingkan chinese sendiri. Karena, mungkin akulturasi menyebabkan percampuran gen, atau bisa juga ada perlompatan gen, sehingga menyebabkan penampilan fisik yang makin beragam dan berbeda-beda dalam satu keluarga, dalam satu generasi.
Tapi gara-gara menyinggung chineseness identity itu, teman gue malah jadi curhat colongan. Sempat gue menangkap nada resah dalam cerita-ceritanya itu. Seperti yang sudah disebutkan bahwa teman gue adalah seseorang yang tidak akan jelas terlihat kechineseanya dari luar, dan juga bukan seseorang yang jika tidak ditanya akan bercerita, jadi tak ada seorangpun di kantornya yang tahu bahwa dia chinese.
Hal ini ditambah dengan faktor namanya yang tidak berbau chinese sama sekali. Seseorang bernama Wijaya, kemungkinan adalah derivatif dari Oei, seperti Liem yang akibat peraturan tahun 1966 diadaptasi menjadi Salim, atau Halim. (Perihal pergantian nama ini akan sangat menarik untuk menonton film “Sugiharti Halim” karya Ariani Darmawan). Pergantian nama konon menjadi isu tersendiri, karena ternyata berlaku term and condition berbeda untuk tiap daerah. Di Jawa, nama nasional dianjurkan, tetapi di luar jawa, misalnya Sumatera, konon yang dianjurkan adalah nama muslim, entah siapa yang menganjurkan. Oleh karena itu, di beberapa daerah seperti Bangka, atau Palembang bisa ditemukan seseorang bernama Muhammad tapi makan daging babi.
Back to my friend. Paket indonesia origin yang menjadi atributnya—dengan tampilan fisik dan nama, membuatnya diterima dan diperlakukan sebagai Indonesia origin, di tengah komunitas Indonesia origin. (Tetapi, apakah “pribumi” itu? Bukankah sudah sejak ratusan tahun silam, bangsa-bangsa di dunia sudah banyak eksodus kesana kemari? Colombus berlayar separuh bumi, para kafilah, pedagang jalur sutera, dan lain-lain. Tentu saja mereka kemudian mampir ke Indonesia, menetap dan melahirkan generasi-generasi yang menjadi nenek moyang kita sejak berabad-abad lampau. Dengan demikian, otherness harusnya tidak lagi menjadi issue Indonesia modern, mengingat akarnya sudah ada mungkin sejak 4000 tahun sebelum masehi ketika suku Yunan mengembara sampai nusantara dan menjadi nenek moyang bangsa ini).
Anyway, teman gue terus cerita bahwa menurut dia chineseness identity masih dianggap otherness pada sebagian masyarakat Indonesia. Apa buktinya? Dia jawab: “seseorang menganggap lo tidur, padahal lo nggak tidur, dan dia ngomongin lo dengan bebas; lo ikut dengar apa yang dia omongin tentang lo.” Gue menggeleng, nggak ngerti.
Tapi dia bilang itulah yang dia rasakan tiap hari di kantor. Gue menunggu penjelasan lebih lanjut. Dia bercerita bahwa suatu hari kantor kedatangan seseorang yang physically obviously a chinese. Saat itu yang terjadi adalah—menurut pengamatannya, topik obrolan menyangkut ‘chinese’ atau ‘orang-orang chinese’, akan disampaikan dengan hati-hati, bahkan ditiadakan sama sekali. “Karena sedang ada orang chinese disitu,” kata teman gue menambahkan.
“Karena mereka nggak tahu gue chinese, seorang teman—saat mengobrol makan siang, menunjuk foto di sebuah koran, dan bilang kok banyak chinese ya atau kok chinese semua ya?”.
Hening sejenak. Gue membayangkan ada di posisi teman gue saat itu.
Lain waktu, kalau misalnya ada yang bertanya dan merujuk ke seorang figur, gampangnya adalah dengan mengatakan “Oh yang cina itu ya?”. Menurut teman gue, orang-orang di kantornya nggak membicarakan suku-suku lain dengan cara yang sama seperti mereka membicarakan chinese, dan karena inilah ide tentang kesan otherness itu makin subur di benaknya.
Ada kejadian menggelikan yang sempat teman gue alami. Waktu itu di sebuah pertemuan teman kantornya mengobrol dengan seseorang, dan ketika orang itu pergi, dia—si teman sekantor, berbisik pada teman gue:”Chinese tuh.”
Kebayang nggak sih kuping panas tiap hari kayak gitu.
Tapi, sebagai teman, gue mencoba menghibur dengan bilang bahwa mungkin dia terlalu sensitif. Banyak kok orang yang becanda dengan membawa-bawa ras, misalnya: “si batak”, “si jawa”. Tapi gue sendiri lalu menjadi ragu, karena when it comes to chinese, rasanya jadi beda.
Jadi percakapan malam itu ditutup begitu saja, nggak ada kesimpulan atau apa gitu (mungkin karena kami kurang ‘intelek’ untuk mencerna persoalan seperti ini), dan masing-masing kembali ke sikap pragmatis seperti biasa. Sebelum tidur, gue ingat teman gue, seorang WNA yang sempat melakukan penelitian di Indonesia—seseorang yang tergila-gila pada Indonesia. Apa yang paling dirindukannya dari Indonesia? Jawabnya; satu, busway, dan kedua orang-orang Indonesia yang dinamik.
Jika orang luar melihat kita dinamik, maka dinamika itu menjadi milik semua yang berperan di dalamnya. Mereka hanya melihat Indonesia, sebagai Indonesia, tidak ada otherness, jarak, kesan memarginalkan, kesan menempatkan pada tataran yang berbeda baik secara ide maupun secara perbuatan pada semua elemen yang ada.
Di masa dimana bumi tak berbatas seperti sekarang, gue sendiri merasa otherness yang masih terlihat simptomnya menjadi sudah tidak relevan lagi!

1 komentar:

  1. Hi, salam kenal :) aku chinese juga dan artikel ini menginspirasi. Kapan ya, chinese ga dibeda - bedain? hehehe *berharap* Tulisanmu bagus2, iskandar. Keep writing, ya..

    ihearthana.blogspot.com

    BalasHapus