Selasa, 15 Februari 2011

Tuhan, Adakah seseorang untukku?

Beberapa minggu terakhir tagihan kartu kreditnya meningkat tajam. Sesuatu menginspirasinya untuk mengunjungi mal saat sale dan membelanjakan limitnya untuk sesuatu yang diinginkan, tapi sebenarnya tidak dibutuhkannya: blus aneka warna, rok, sepatu, sampai make up merek mahal.
Pagi ini, ia berdiri beberapa lama di depan cermin kamarnya sambil untuk kesekian kalinya mengecek ulang penampilannya yang berbalutkan busana lebih berwarna-warni, sangat lain dari yang biasa dikenakannya. Ia bertanya-tanya dalam hati, sudah cukup cantikkah saya? Jika cantik terlalu jauh dari gapaiannya, pertanyaan itu diralatnya menjadi: sudah cukup menarikkah saya?
Perempuan itu lalu keluar dari rumah dengan seulas senyum yang mencoba dibentangkan dengan alamiah, tidak hanya untuk (setidaknya menurut ukurannya sendiri) membuat dirinya lebih memancarkan aura positif, tapi siapa tahu dengan senyum itu, ada seseorang yang jatuh cinta padanya. Jika jatuh cinta terlalu jauh dari gapaiannya, mungkin harapan itu diralatnya menjadi: seseorang terpikat padanya. Tapi jika terpikat masih terlalu jauh, harapannya adalah seseorang laki-laki memandangnya lebih lama dari sekedar menatap sekilas lalu memalingkan muka seakan memandangnya untuk lebih dari lima detik adalah sebuah kejahatan. (ia masih menerapkan nasihat seorang teman di masa lalu untuk tidak pernah merengut, karena kita tidak akan pernah tahu siapa yang akan jatuh cinta pada senyum kita, atau dimana, atau kapan).
Namun di perjalanan ia melamun, karena tersenyum sendiri adalah fatal akibatnya jika kamu sedang menggunakan fasilitas publik. Ia malah melamun dan teringat pada Nayla, seseorang yang pernah didengarnya menderita kanker rahim stadium empat, dan akan segera meninggal kapan saja. Sebab kisah itu dengan suatu cara sangat menyentuhnya, terutama ketika yang dilakukan Nayla adalah menghitung berapa banyak waktu yang dimilikinya sebelum jam tangannya berubah jadi sapu, mobil sedannya berubah jadi labu, dan dirinya berubah jadi abu. (Catatan penulis: Djenar Maesa Ayu menulis “Waktu Nayla” tahun 2002 yang kemudian terpilih sebagai cerpen terbaik kompas tahun 2003).
` Sebab ia serupa Nayla, meski tak sedang menghadapi maut. Jam biologisnya terus berdetak hingga menderingkan pertanyaan yang berulang-ulang mengenai laki-laki yang seharusnya sudah mendampinginya dalam suka dan duka, dalam senang dan susah, tentang anak yang seharusnya telah membangunkannya di tengah malam karena pipis, atau merengek padanya untuk mainan model terbaru di Toys R Us.

“Kamu nggak update banget sih!” kata Flo pada Koko.
Koko melakukan skimming pada naskah yang baru saja selesai ditulisnya, sebenarnya belum selesai karena pacarnya itu berkeras membaca cerpen Koko setiap selesai satu segmen, atau sewaktu-waktu ketika Koko berhenti sejenak. Koko tidak menemukan apa yang disebut gadis yang setia menemaninya menulis itu sebagai sesuatu yang tidak update.
“Masak nggak tahu,” kata Flo ketika dilihatnya wajah Koko yang bingung.
“Toys R Us are so decades ago,” kata Flo kemudian. “Anak-anak nggak beli mainan di Toys R Us lagi.”
Koko menimbang-nimbang. “Iya gampanglah, kita kan lagi mal. Nanti abis dari Starbucks ini kita jalan-jalan nyari toko mainan apa yang lagi happening.”
Koko menyeruput ice green tea-nya. “Udah deh, belum apa-apa udah bawel, perasaan belum dapat sehalaman gue nulis.”
“Wait. Next kalau kamu mau masukin hal kayak Nayla itu, nggak usah kamu sebutin sumbernya. Ketahuan dong kalau Nayla itu cuma rekaan si Mbak Djenar yang galak itu. Biarin aja begitu, jadi fiksi rekaan kamu sekaan se-alam dengan fiksi rekaan penulis lain.
Koko tersenyum. Ia memang beruntung punya pacar seperti Flo, yang ide-idenya seperti setetes air di padang pasir atau apa gitu...(Koko tidak pandai mencari perumpamaan untuk hidupnya sendiri).
Dan ia mulai menulis kembali.

Ia telah sampai di kantornya kini. Tersenyum lebar, dan ramah seperti biasa. Moral tidak tercela, tidak sombong, suka menolong, tapi sekali lagi ini menurut pandangannya sendiri.
Ia tak mengerti apa yang sedang terjadi dengan dunia ketika dilihatnya semakin hari, dunia meninggalkannya, dan ketika ia seperti berada dalam dunia sendiri. Sebuah dunia berisi dia dan khayalan-khayalan yang hanya menjadi khayalan-khayalan saja karena ia gagal mewujud pada hidup, karena ia berhenti di tahap harapan, ketika asa menjadi sekedar slogan, namun kesukaran yang nyata yaitu melakukan apapun yang tak bisa dilewatinya.
Ia menjadi bingung, memang berlebihan untuk berkata hidupnya seperti di neraka, dan ia tak pernah membayangkan untuk bunuh diri yang akan membawanya ke neraka juga, tapi ada sesuatu yang tidak beres dalam hidupnya, sesuatu yang kurang, sesuatu yang ia tahu persis apa, tapi tak tahu bagaimana ia bisa mendapatkannya.
Ini tentang laki-laki. Ia mendengar tentang Ingrid Kamil yang selalu jatuh cinta pada laki-laki yang tidak bisa mencintai perempuan, cerita itu berakhir bahagia ketika Ingrid kawin dengan laki-laki yang bisa mencintainya, namun dengan syarat Ingrid harus pacaran dulu sebelum menikahi cowok yang pernah ada affair dengan seorang programmer film bernama Ben Harsono.
Bagaimana rasanya pacaran? Itulah masalahnya. Ia belum pernah dekat dengan pria sampai kemudian tahu kepribadiannya, semua lahir dari dugaan yang berasal dari keterbatasan pengalaman, pengetahuan, dan pandangan, yang betapa sempit semua itu kalau hanya dari sudut pandang seorang manusia. Betapa subyektif dan sembrono.
Namun, toh manusia tetap membutuhkan penyaluran, atau pelarian lebih tepatnya, maka prejudice itu tetap dilakukannya. Sebab seseorang butuh pembenaran untuk melakukan sesuatu, betapa salahpun hal itu. Maka, ia diam-diam menuduh rekan cowok yang ditaksirnya sebagai seorang pecinta sesama jenis, ketika laki-laki itu tak meliriknya sama sekali. Untuk kemudian, si tertuduh menikah, dan ia dengan naif masih berpikir kalau pernikahan itu hanya sandiwara.
Betapa banyak pengorbanan untuk membuat orang lain terkesan. Bahkan hanya sekedar melirik lebih dari lima detik. Untuk siapakah manusia hidup? Untuk dirinya atau untuk orang lain yang akan melabelinya sebagai cantik, pintar, berwawasan luas, atau menarik, atau berkarakter? Tak pedulilah ia pada pertanyaan itu, karena ia sudah menjadwalkan salon, spa, menicure, pedicure, pijat, apapun untuk membangunkan inner beauty yang ia yakin ia punya. Hasilnya, entahlah.
Ia berkeras untuk berpegang pada proses dibanding hasil, sekali lagi sebagai pelarian, karena dalam proses itu, ia tak pernah benar-benar keluar dari struktur pikiran yang selama ini terbelenggu dengan rutinitas. Jadi yang ia lakukan adalah menunggu. Berdoa, semoga ada pangeran berkuda putih datang membawanya menuju pelaminan. Ralat, bukan kuda putih, karena kuda meninggalkan kotoran, tapi BMW putih. Diralatnya lagi doa itu, karena ia takut disebut material girl. Tuhan apa sajalah. Yang penting secepatnya!
Tapi bagaimana kalau yang datang adalah penjahat, lebih parahnya penjahat kelamin? Untuk berdoa saja kok jadi ribet.
Di depan komputer, selagi membuka-buka facebook, ia menjadi bingung.
Lalu ia ingat persahabatan Yasmin, Laila, Cok dan Shakuntala yang erat yang mengingatkannya pada persahabatan cewek-cewek di Sex and The City. Andai saja ia bisa menjadi seperti Cok yang sangat berpengalaman dengan laki-laki (dan juga seks). Cok yang tak pernah bermasalah untuk mendapatkan laki-laki, meski diasingkan orangtuanya ke Bali dan membuatnya menjalani hubungan jarak jauh. Ia ingat Cok pernah mengatakan bahwa ia tidak tahan pacaran jarak jauh, tapi ia juga tidak tahan untuk tidak pacaran.

“Hold it there.” Flo menyeringai. “Aku suka kamu mengutip Saman,” katanya.
“Aku tahu kamu akan suka,” kata Koko. Mereka bertatapan dan ada pijaran disana.
Diam sejenak.
“Ada sesuatu yang ingin aku tanyakan,” kata Flo.
“Apa itu sayang?” Koko tersenyum karena merasa kali ini bagian cerita yang ia tulis di netbooknya lolos dari kritik Flo.
“Apakah menurutmu aku mencoba membuatmu terkesan?”
Koko merasa geli dan ingin tertawa terbahak-bahak, tapi ditahannya. Untuk gadis seperti Flo, pertanyaan itu menjadi konyol. Bagaimana ia bisa merasa kalau cerita fiksi telah menyindirnya?
“Nggak,” jawab Koko mantap.
“Justru karena kamu nggak mencoba membuat aku terkesan, maka aku menjadi terkesan padamu.”
Wajah Flo bersemu merah.
Namun Koko kembali melanjutkan dengan amat serius, seolah-olah ia tidak sedang mencoba merayu Koko.
“Kamu pintar, tapi kamu nggak dengan sengaja memilih kata-kata tertentu agar orang menganggapmu pintar. Kamu sebetulnya tidak cantik tapi kamu bersikap seolah-olah tidak peduli, atau berusaha membuat kamu terlalu cantik. Kamu seperti cewek cuek yang nggak peduli dengan cowok. Kamu seperti memiliki dunia sendiri yang membuat orang penasaran untuk memasukinya atau mengundang kamu untuk memasuki dunianya. Dengan cara kamu sendiri, kamu sudah membuat orang menginginkanmu.
“Wow,” kata Flo, ketika akhirnya Koko menyudahi pidato singkatnya.
Flo, se-independent woman apapun, tetap merasa terbang dengan pujian yang datang dari cowok sekeren Koko.
“Kita kembali ke cerpen kamu ya?”
Koko tersenyum. Ia tahu apa yang sedang coba dilakukan Flo.
“Emang kamu nggak bisa ya nambahin karakter cowok dalam hidup perempuan itu? Tapi kayaknya kamu harus ngasih nama deh, biar lebih berjiwa? Jadi nggak cuma ‘ia’ atau ‘perempuan itu’.
Namun Koko tidak setuju dengan ide itu. Menurutnya, jika dinamai, maka nuansa cerpen akan sama sekali berbeda, dan akan jatuh. “Aku pengen buat cerpen yang nggak benar-benar realis, ada di tengah-tengah, tapi nggak abstrak banget,” kata Koko.
“Kamu masih kepengaruh Iwan Simatupang?”
“Mungkin. Nggak tahu,” kata Koko. Ia ingat pertanyaan Flo tentang karakter cowok.
“Sebetulnya perempuan itu memang nggak pernah bersinggungan dengan cowok yang benar-benar menjadi dekat dengannya,” kata Koko.
“Kasihan sekali dia, kalau ia benar-benar ada, aku bersedia menjadi temannya, dengan catatan ia nggak boleh bau dan atau membosankan.”
“Hehehe, syarat yang aneh,” kata Koko.
Namun Flo menanggapinya dengan serius.
”Aku paling nggak tahan dengan orang bau,” kata Flo. Wajahnya memang tidak tampak seperti orang yang sedang becanda. “Kalau orangnya boring juga nggak deh. Malah jadinya bete nggak sih, nggak nyambung gitu.”
“Tapi kira-kira apa yang membuat orang menjadi membosankan?” Koko terbawa serius.
“Mungkin karena ia dungu!” kali ini Flo malah becanda.
“Bisa jadi,” kata Koko serius. “Kurang wawasan membuat orang menjadi membosankan. Pasti salah satunya karena itu,” tambahnya.
“Kita kok malah diskusi kayak gini mengenai orang yang nggak ada?”
“Sebenarnya sih penting,” kata Koko. “Biar karakternya kuat.”
“Jangan-jangan karena itulah perempuan dalam cerita kamu tidak dilirik cowok. Karena ia membosankan? Atau ia bau?”
“Sejujurnya aku nggak tahu.”
“Kalau begitu, mari kita lanjutkan ceritanya.”

Perempuan itu jatuh cinta pada laki-laki bernama Parang Jati namun ia lalu meninggal di Gunung berbatu, dan sahabatnya Sandi Yudha tak henti-hentinya menyalahkan diri. Ia yakin ia bisa tahan dengan laki-laki berjari dua belas. Namun, yang hebat dari perempuan itu adalah meski ia sering melamun, tak ada pekerjaan yang tak terselesaikannya dengan baik. Ini barangkali adalah sebuah trade off yang tak sengaja dibuatnya, harus ada sesuatu dalam hidupnya yang berjalan dengan baik, kan?
Waktu berjalan begitu cepat, dan ketika sore tiba, ia menjadi bingung karena pulang ke rumah terlalu membosankan, sementara tak ada yang mengajaknya makan di EX atau MCD atau Jalan Sabang atau Benhil, atau nonton di Jakter atau di Blitz atau dimana saja.
Ketika pergi sendiri menjadi begitu menyakitkan, karena dalam pikiran naifnya semua orang begitu mempedulikan mengapa seseorang bisa sendiri ketika nonton atau makan fastfood. Sambil mungkin menatap penuh iba. Ia ingin sekali seperti nenek Olga yang selalu pergi keman hati membawanya. Va’ dove ti porta il cuore. Tapi kemana hati membawanya dalam senja yang kerap basah, gerimis, dan menggelisahkan. Tidak tahu. Tidak ada jawaban pasti.
Dan entah sampai kapan hidupnya akan seperti ini,

“Kasihan sekali ya?”
Koko tidak berkomentar.
“Aku tahu ada perempuan yang sendiri karena memang memutuskan demikian, tapi ada perempuan yang sendiri karena menjadi korban budaya patrineal dimana mereka harus selamanya menunggu. Bukan menjadi pihak yang memutuskan.”
“Tapi menarik juga meletakkan ini dalam perspektif rejeki. Seperti uang, teman, atau pacar termasuk rejeki yang katanya rahasia Tuhan.”
“Kalau begitu, kenapa ia tidak mengusahakannya seperti ia bekerja untuk mendapatkan uang.”
“Entahlah, dan aku merasa kamu mulai menganggap hal ini terlalu serius,” kata Koko.
“Mungkin karena aku sama-sama perempuan,” kata Flo.
“Oh no!!” kata Koko panik.
“Ada apa?”
“Netbooknya lowbat, aku nggak bawa colokannya,” kata Koko. Ia merasa bodoh karena harus menyelesaikan cerita ditengah jalan, ketika masih ada mood untuk menulis.
“Ya udah kamu masukin aja dulu ke FB, nanti bisa disambung lagi.”
“Thanks, sayang. Udah nemenin aku,”
“Its, oke.”
Koko memposting naskah setengah jadi itu ke facebook dan menutup laptopnya. Flo memandang Koko dengan penuh perhatian.
“Ko,”
“Ya?”
“I love you.”


Koko has commmented on your notes on facebook:

Iski.... kurang ajar! Lo pakai nama gue dan Flo buat cerpen lo. Trus lo tag buat orang-orang?

Flo has commented on your notes on facebook:

Iya tuh. Apaan pakai i love you segala. Enak di koko, gue yang rugi dong!

Iskandar also commented on his own notes on facebook:
Biarin aja! Biar lo berdua pada digosipin. Abisnya Koko nraktir Flo ke Hongkong, gue kagak!!! Gue disini aja belajar pincha ama Slamet!!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar