Selasa, 15 Februari 2011

Sit besides Lake Burley Griffin... It's you

Biasanya saya selalu memiliki prejudice mengenai pelayan public Indonesia yang sering hanya seadanya, menyebalkan, dan tidak professional. Tapi kemarin, saya datang ke kantor pos, dan mendapati petugas yang ramah, sebenarnya tidak murah senyum, tapi sangat convincing.
Saya memutuskan untuk menggunakan layanan pos biasa, bukan tiki, atau DHL, atau FedEx, karena alasan budget. Saya telah bertanya, tarifnya seharga Rp. 600.000 something untuk jasa swasta. Saya pikir dengan uang segitu saya bisa ke Jogja, ke prawirotaman, dimana kita menghabiskan dua setengah hari disana. Atau ke borobudur untuk mengambil beberapa pose asana lagi. (Tapi saya tidak akan melakukannya, karena itu akan menjadi terlalu menyakitkan).
Maka saya akan meminta kamu menunggu maksimal 10 hari sampai Saman dan Laskar Pelangi bisa berada di tangan kamu. Mbak petugas kantor pos yang membuat saya bangga (karena berlainan dengan petugas layanan public lainnya, dia tampak memahami apa yang ia kerjakan. Meski kamu bukan WNI, saya rasa kamu tahu maksud saya) menganggukkan kepala ketika saya bertanya apakah paket ini akan benar-benar sampai ke alamat yang saya tulis disana. (Dulu kita sempat membahas kalau Laskar Pelangi mirip dengan Not One Less-nya Zhang Yimou. Saya rasa kamu yang selalu underestimate pada saya, dan pada orang Indonesia pada umumnya, saat itu cukup takjub kalau saya tahu film dengan setting pelosok Cina daratan itu. dan beberapa waktu sesudahnya, kamu bilang saya exceptional, tapi saya tetap merasa itu bukan rayuan).
Saya harap paling lambat minggu depan kamu sudah mulai bisa membaca Saman. Saya sebenarnya tidak yakin kamu akan bisa memahami isi Saman dalam bahasa, karena bahasa itu beda dengan Malay. Tapi kamu menolak untuk edisi bahasa Inggrisnya. (Saya pikir saya juga harus membeli untuk diri saya sendiri, karena saya sudah demikian terpesona pada penulisnya: Ayu Utami. Saya sedih karena mungkin dia ignore saya di Facebook).
Barangkali sesudah buku itu kamu terima, kamu bisa membacanya di tengah hangatnya matahari musim semi di tepi danau yang katamu indah itu. Betapa menyenangkan, seperti bule-bule di Bali yang setelah melalui penerbangan separuh bumi, akan tenggelam membaca buku dimana-mana: dipantai, di kolam renang, dan di Perama Boat (kamu masih ingat? Saya masih mengingat semua detail yang terjadi, seakan-akan baru kemarin terjadi. Dan juga bekas gigitan kepitang di lengan kanan, setelah snorkeling, menyisakan sesuatu seperti bekas terkena cacar air—sebagai sebuah suvenir dari Nusa Lembongan).
Disini saya hanya bisa berpesan, janganlah kamu terlalu banyak berpikir. Penting untuk menuangkannya dalam sesuatu, yang penting sesuatu itu bisa keluar dari kamu. Asal kamu tidak memendamnya untuk kemudian meledak di kelak kemudian hari. Ada orang-orang yang hidup di dunia yang kita jalani sekarang, tapi ada juga yang hidup di dunianya sendiri. Mungkin, saya, kamu dan beberapa orang yang tidak kita tahu, juga hidup di dunia tersendiri (kamu tahu, saya sempat dijuluki autis, karena hal ini). Tapi jika kita merasa bahagia di dalamnya, tidak ada lagi yang akan lebih penting dibandingkan kebahagiaan itu. Seseorang tidak kita butuhkan untuk menjadi pelengkap kita, tapi adalah dunia lain yang dimilikinya yang bisa menjadi inspirasi kita. Karena itu, kita patut harus selalu berbahagia meski sendiri, karena kita tak akan pernah sendiri. Yang sesungguhnya adalah karena kita ada dalam diri kita masing-masing, maka tak pernah sedikitpun kita berpisah. Tidak satu detikpun. Jadi ketika kamu disana menikmati langit biru, seperti yang selalu kamu sukai, maka saya juga sedang menikmatinya. Bersama kamu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar